Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERLATAR belakang fajar yang sedang merekah, deretan angka mengapung di atas perahu yang meluncur di laut nan biru. Sampul buku matematika kelas tiga sekolah dasar ini cukup menarik, apalagi di mata anak-anak. Kerumitan olah angka dalam matematika diusahakan diredam lewat ilustrasi yang memikat.
Buku matematika yang dikeluarkan sebuah penerbit di Jakarta tersebut biasa digunakan siswa sekolah dasar di Ibu Kota. Anak-anak di daerah lain bisa saja memakai buku terbitan berbeda. Hanya, isinya mirip. Statusnya pun hampir semuanya sama: telah direkomendasi oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sepintas tak ada yang aneh. Rumus-rumus dan contoh-contoh soal yang disajikan lumrah saja dan bisa dipahami para siswa. Yang agak ganjil justru harganya. Di pasaran, buku-buku tersebut dijual dengan harga Rp 20 ribu sampai Rp 40 ribu, bergantung pada penerbitnya. Padahal, untuk buku lain yang sejenis, di luar yang direkomendasi Departemen Pendidikan, harganya hanya separuhnya.
Itulah yang diungkapkan sekaligus dipersoalkan Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Pendidikan Bangsa (LSM P2B) dua pekan lalu. Lembaga pemerhati pendidikan ini menduga terdapat penggelembungan biaya alias mark-up dalam pengadaan buku-buku tersebut. Dugaan itu muncul setelah mereka melakukan investigasi pada 300 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiah di 12 provinsi dan 36 kabupaten.
"Buku matematika yang ditetapkan harganya 50 persen di atas buku terbitan lain," kata Saidin Yusuf, ketua lembaga swadaya itu. Rencananya, lembaga ini akan melaporkan temuannya ke Markas Besar Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Mahalnya harga buku wajib tersebut disebabkan oleh jalur penunjukannya yang panjang dan penuh kolusi. Proyek ini berawal pada adanya dana block grant untuk pengadaan buku sekolah sebesar Rp 150 miliar. Departemen Pendidikan lalu menyaring delapan dari 29 penerbit setelah mereka mengajukan naskah ke Pusat Perbukuan dan tim penilai naskah.
Proses seleksi telah selesai tahun lalu. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Indra Djati Sidi, sebagai Ketua Panitia Nasional Penilaian Buku Pelajaran, kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 358/C/Kep/DS/2003. SK ini menyebutkan buku-buku pelajaran matematika untuk sekolah dasar yang lolos seleksi, yang terdiri atas 72 buku, dari delapan penerbit.
Kali ini Departemen Pendidikan menggunakan cara yang akan berbeda dalam membelanjakan anggaran untuk pengadaan buku. Sementara pada tahun-tahun sebelumnya departemen langsung membayarkannya ke penerbit, kini dana itu disalurkan ke rekening 300 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiah yang ditunjuk di seluruh Indonesia. Sekolah-sekolah inilah yang akan memilih sendiri buku yang mereka pakai.
Saidin Yusuf menuding para penerbit bersaing memberikan diskon ke oknum pegawai dinas pendidikan di tingkat provinsi agar buku buatan mereka dipilih. Ini membuat buku menjadi mahal. Dia memberikan contoh penghitungan. Buku serupa yang dijual bebas di pasar hanya menghabiskan biaya Rp 93,75 hingga Rp 187,50 per halaman, sementara harga buku matematika yang direkomendasi Departemen Pendidikan mencapai Rp 190 hingga Rp 380 per halaman. Bahkan beberapa penerbit menetapkan harga Rp 200 hingga Rp 400 tiap halaman.
Terlambatnya proses pengadaan buku juga membuat negara makin dirugikan. Seharusnya buku-buku tersebut sudah dipakai siswa sejak tahun ajaran baru tahun lalu, Juli 2003. Ternyata sebagian besar buku itu baru sampai ke sekolah-sekolah tujuan pada Februari 2004. "Akibatnya, sebagian buku yang dibeli itu sampai sekarang menumpuk di gudang-gudang," kata Saidin.
Temuan tersebut ditampik para penerbit yang bukunya lolos seleksi. Menurut Direktur Utama Ganeca Group, Suardhana Linggih, mahalnya harga buku itu karena biaya distribusinya cukup tinggi. "Untuk mengirim buku ke Nias atau Papua, tentunya dibutuhkan biaya transportasi yang besar," katanya. Penerbit lain beralasan mahalnya buku itu karena kualitas kertasnya bagus serta penggunaan warna dan ilustrasinya lebih banyak dibandingkan dengan buku lain di pasaran. Soalnya, mereka harus memenuhi kualitas berdasarkan standar yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan.
Salah satu penerbit dari Bandung, PT Remaja Rosdakarya, juga berhasil meloloskan bukunya yang berjudul Tangkas Berhitung. Direktur pemasarannya, Aan Soenendar, mengakui adanya isu "uang pelicin" yang diberikan oleh para penerbit kepada tim seleksi agar buku mereka bisa lolos. "Namun kami tidak melakukannya," ujarnya.
Aan menilai, dibebaskannya sekolah menentukan sendiri buku yang akan mereka pakai bisa mengurangi tingkat penyelewengan di lapangan. Sebab, pembayaran dilakukan sekolah langsung ke rekening penerbit. Namun sistem baru ini juga menyebabkan biaya pemasaran membengkak. "Kami harus mendatangi langsung sekolah-sekolah yang memperoleh dana itu," kata Aan.
Dugaan kolusi dan korupsi buku pelajaran bukan kali ini saja terjadi. Sekitar sembilan tahun lalu, Departemen Pendidikan menjalankan proyek pengadaan buku bernama Pengembangan Buku dan Minat Baca. Setelah proyek yang dibiayai melalui utang dari Bank Dunia sebesar Rp 1,4 triliun ini berjalan sekitar empat tahun, skandal kolusi di dalamnya terbongkar.
Sejak penunjukan penerbit, penilaian dari tim ahli, hingga buku itu siap disebarkan ke sekolah, tercium aroma korupsi yang kuat. Para pakar matematika, bahasa, dan biologi yang diundang TEMPO untuk menilai buku itu menunjuk beberapa kesalahan fatal yang bisa meracuni logika siswa. Namun, hingga kini, kasus ini tidak pernah diusut tuntas.
Kali ini, menanggapi tudingan korupsi dari LSM P2B, Indra Djati Sidi tampak berang. Dia mengancam akan menggugat balik lembaga yang dianggap telah memfitnah departemennya. "Kita tidak main-main. Kalau memang ada unsur KKN dan mark-up di tempat lain, kok, kita dibawa-bawa?" katanya.
Indra memaparkan, Departemen Pendidikan kini tidak lagi menyelenggarakan tender untuk memilih buku pelajaran. Tugas itu diserahkan kepada Panitia Nasional Buku Pelajaran (PNBP), yang terdiri atas para pakar dari universitas, dosen eks IKIP, dan guru. Selama menyeleksi buku, mereka diisolasi. Dia mengatakan, untuk tahun ini ada 29 penerbit yang bukunya dinilai PNBP. Buku yang dinilai tahun ini meliputi buku matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa Indonesia?semuanya buku pelajaran sekolah dasar.
Menurut Indra, dana pengadaan buku sekolah pada tahun anggaran 2003 adalah bantuan pemerintah pusat untuk pemerintah daerah. Pemimpin proyek di setiap daerah bersama kepala dinas pendidikan setempat menentukan sekolah yang berhak menerima dana bantuan pengadaan buku sekolah itu. Departemen hanya mengirimkan daftar delapan seri buku itu ke daerah. "Terserah setiap sekolah memilih buku yang mana. Kami enggak pernah ngatur-ngatur," kata Indra.
Kepala Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, Wukir Ragil, mengakui perlu adanya standardisasi buku pelajaran. Dengan cara ini, kelak tidak lagi diperlukan penunjukan terhadap penerbit yang mengadakan buku. Cara ini akan menghapuskan kemungkinan adanya korupsi dan kolusi.
Masyarakat juga diuntungkan karena mereka bisa menentukan sendiri penerbit yang membuat buku pelajaran sesuai dengan standar. Sedangkan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dan tidak perlu membuat proyek lagi seperti sekarang. "Namun, untuk bisa mencapai standardisasi, dibutuhkan waktu sekitar lima tahun," kata Wukir.
Sebelum konsep ideal itu terlaksana, laporan LSM P2B tidak bisa dibiarkan. Dan reaksi positif datang dari Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar. "Kalau itu memang benar, biar saja diambil langkah pengusutan siapa yang terlibat," katanya dengan nada keras.
Agung Rulianto, Sita Planasari, Rana Akbari (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo