Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Komisi III DPR dan Pemerintah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disetujui menjadi UU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi III DPR RI dan Pemerintah berpandangan bahwa pengesahan UU KUHP merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia, karena merupakan pembaruan hukum pidana nasional dan sebagai upaya untuk terlepas dari peninggalan kolonialisme sepenuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, menyampaikan pembahasan UU KUHP ini telah berlangsung dari periode DPR RI 2014-2019 dan dilanjutkan pada periode ini (carry over). Berbagai kegiatan yang sifatnya menggali seluruh aspirasi masyarakat, diskusi terarah, sosialisasi dan pengayaan materi telah dilakukan.
“Oleh sebab itu, pembahasan terhadap draf UU KUHP telah berlangsung cukup komprehensif dan mendalam, mengingat pentingnya UU KUHP ini sebagai upaya pembaruan hukum pidana nasional,” ujar Bambang Pacul usai Rapat Paripurna DPR RI Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 6 Desember 2022.
UU KUHP, lanjut Bambang Pacul, pada prinsipnya merupakan upaya ‘Rekodifikasi Terbuka’ terhadap seluruh ketentuan pidana yang ada di Indonesia dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini. Dengan begitu, tutur Bambang Pacul, UU KUHP tidak sepenuhnya mengurangi keberlakuan undang-undang di luar UU KUHP (lex specialis), sepanjang asas dan prinsip pemidanaannya mengikuti UU KUHP (lex generali).
UU KUHP membawa misi dekolonisasi, demokratisasi, harmonisasi, dan konsolidasi Hukum Pidana. KUHP lama (Wetboek Van Straftrecht voor Nederlandsch-lndie), kata Bambang, merupakan warisan kolonial Belanda dan telah berlaku lebih dari 76 tahun. KUHP tersebut menjadi salah satu permasalahan yang seringkali timbul di sistem penegakan hukum dan keadilan masyarakat karena sangat kental kolonialisasi maupun bertentangan dengan kehidupan yang demokratis dan penghormatan HAM.
Oleh karenanya, pembaharuan KUHP diperlukan untuk mengakomodir perkembangan hukum pidana sekaligus menciptakan pembangunan hukum nasional yang mencakup pembangunan substansi produk hukum sebagai hasil dari suatu sistem hukum dalam peraturan hukum pidana yang bersifat kultural.
UU KUHP menjadi langkah modernisasi Hukum Pidana Nasional sesuai perkembangan masyarakat dengan sasaran tujuan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan, menciptakan proses pemidanaan yang tidak menderitakan dan merendahkan martabat manusia. “Serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelesaian konflik hukum dengan tetap menegakkan norma-norma hukum, meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai HAM dan memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, UU KUHP ini juga mencerminkan modernisasi hukum pidana nasional dalam hal pergeseran paradigma pemidanaan yang tidak lagi sekedar memberikan efek jera dan pembalasan, tetapi juga memberikan rasa keadilan yang memulihkan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan RUU KUHP merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. Menurut Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP.
“Jika dihitung dari mulai berlakunya KUHP Belanda di Indonesia tahun 1918, sudah 104 tahun sampai saat ini. Indonesia sendiri telah merumuskan pembaruan hukum pidana sejak 1963. Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia. Sementara RUU KUHP sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia," ujarnya. (*)