Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - - Pandemi Covid-19 begitu cepat mengubah kondisi tiap negara, termasuk Indonesia. Pemerintah dipaksa merancang ulang pembangunan yang kini memprioritaskan pemulihan sosial di berbagai bidang. Kebijakan yang tepat dan berdasar pada sains agar tak salah langkah, dimungkinkan berkat hasil penelitian yang dilaksanakan dalam waktu cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian cepat atau rapid research menjadi keniscayaan demi menjaga momentum, sehingga kebijakan yang diambil dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pendapat ini dikemukan Mego Pinandito, Plt Sekretaris Menteri Kementerian Riset dan Teknologi/Sekretaris Utama BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbicara dalam acara diskusi interaktif KSIxChange#28 pada Selasa, 29 September 2020, Mego menjelaskan bahwa penelitian cepat telah memberi manfaat pada berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah selama ini. “Dari hasil data rapid research, kita melihat untuk masalah kesehatan ternyata butuh peralatan kesehatan seperti hand sanitizer, lalu butuh baju hazmat, masker, ventilator, obat-obat herbal untuk memperkuat imun, demikian juga sampai nanti kebutuhan akan vaksin,” ujar Mego memaparkan.
Manfaat penelitian cepat juga dirasakan lembaga kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia, yakni Knowledege Sector Initiative (KSI) yang bekerja sama dengan Satgas Covid-19 Bappenas dan lembaga pemerintah lainnya dalam berbagi analisis real-time termasuk kajian cepat tentang Covid-19. Dijelaskan oleh Aedan Whyatt, Counsellor Australian Embassy Jakarta, saat ini ada lebih dari 300 produk pengetahuan yang dihasilkan mitra KSI yang disatukan dalam microsite Covid-19 yang dikembangkan oleh KSI yang didedikasikan untuk merespon pandemic Covid-19. Selain itu pemerintah Australia juga bersinergi dengan program sosial lainnya dalam melakukan kaji cepat seperti program Mahkota yang bekerja sama dengan TNP2K melakukan beberapa survey terkait penerima manfaat, monitoring sembako dan subsidi listrik untuk menentukan pendekatan yang paling efektif dan intervensi yang diperlukan untuk mengatasi dampak Covid-19.
Penelitian cepat, menurut Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan Siswanto, merupakan bagian dari penelitian secara umum. Sebuah penelitian memerlukan metodologi, demikian pula penelitian cepat. “Namun, penelitian cepat biasanya observasional. Sumber data dari mana? Dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden lewat telepon, media sosial, atau paling bagus ya tatap muka langsung. Sedangkan data sekunder misalnya dari rumah sakit, dan lainnya,” kata Siswanto.
Sebagai produk sains, penelitian cepat pada akhirnya tidak absolut. Terdapat dinamika mengikuti perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, maupun sumber informasi dari sumber pengetahuan yang lebih tinggi semacam WHO. Misalnya, di awal pandemi terdapat pernyataan bahwa virus Corona tidak menular melalui udara. Pada perkembangan berikutnya, diketahui virus tersebut bersifat airborne. Sebab itu pemakaian masker dan menjaga jarak menjadi turunan pengetahuan yang diimplementasikan selanjutnya.
Pada hakikatnya, penelitian cepat tetap memerlukan waktu untuk mencapai kesimpulan, terlebih menjadi acuan sebuah kebijakan. Manajer Program Article 33 Agus Pratiwi mengatakan, lembaga yang diampunya melakukan penelitian cepat selama 2-4 bulan cepat terkait peta jalan (roadmap) SMK di DKI Jakarta.
Sedangkan Hasnawati Saleh, Koordinator Riset, Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR) membutuhkan waktu lebih singkat. “Kami luncurkan small rapid research waktunya 12 minggu. Tujuannya untuk men-deliver hasil riset memenuhi kebutuhan kebijakan pemerintah daerah,” ucap peneliti yang kerap disapa Nana.
Selain memanfaatkan koneksi digital, metode penelitian cepat yang dilakukan Nana dan Pratiwi menggunakan agen di wilayah penelitian. Menurut Pratiwi, agen atau peneliti regional berguna pada wilayah dengan konektivitas digital yang rendah. “Pada akhirnya kami membutuhkan pelatihan cepat bagi regional researcher,” kata Pratiwi yang menyebabkan waktu penelitian cukup lama.
Sementara Nana, selain mengandalkan staf peneliti juga memakai instrumen komunikasi yang lazim dipakai masyarakat. “Di desa mereka tidak mengenal Zoom, jadi kita pakai Whatsapp,” katanya.
Bagaimanapun, ia mengingatkan penelitian cepat tidak boleh mengorbankan ketetapan akademik. “Jangan maunya harus cepat banget, nanti data tidak akurat dan tidak qualified,” ujar Nana.
Pendapat ini selaras dengan Siswanto yang mengatakan bahwa penelitian cepat tidak boleh melanggar uji klinis. “Pertama yakni survei, lalu pengembangan dan uji coba. Nah, uji klinis misalnya saat menguji vaksin. Semua itu ada metodologinya,” ujarnya.
Sebab itu, masyarakat yang mempertanyakan sebuah kebijakan tak cepat diberikan harus memahami bahwa perlu kehati-hatian dalam menetapkan keputusan. “Harus diingatkan bahwa penelitian cepat yang didukung pengambil keputusan yang baik, harus didukung data yang valid,” kata Siswanto.
Diskusi interaktif KSIxChange#28 mempertemukan pemangku kebijakan, mitra pembangunan dan Lembaga penelitian kebijakan yang terdiri dari Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Article 33, PAIR, dan dipandu oleh Leonardo Teguh Sambodo, Direktur Industri, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian PPN/Bappenas dengan mengusung tema “Keefektifan Penelitian cepat dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19”. (*)