Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Desak Divestasi Perusahaan AMDK Asing

Pemerintah dan DPR perlu segera memikirkan skema divestasi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) untuk memastikan negara masih memegang kendali pengelolaan sumber daya air sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi, kata peneliti FMCG Insights, Achmad Haris Januariansyah.

29 Januari 2022 | 13.27 WIB

Pemerintah dan DPR perlu segera memikirkan skema divestasi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Perbesar
Pemerintah dan DPR perlu segera memikirkan skema divestasi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL - Pemerintah dan DPR perlu segera memikirkan skema divestasi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) untuk memastikan negara masih memegang kendali pengelolaan sumber daya air sebagaimana diamanatkan Mahkamah Konstitusi, kata peneliti FMCG Insights, Achmad Haris Januariansyah.

"Privatisasi air sudah berjalan dan tak bisa dihentikan mendadak, sehingga jalan
tengahnya adalah perbaikan UU Cipta Kerja, dimana pemerintah dan DPR perlu
merumuskan proses divestasi yang diprioritaskan pada perusahaan AMDK yang
modalnya bersumber dari modal asing," kata Haris dalam diskusi daring Ngobrol
@Tempo bertajuk "Refleksi 2 Tahun UU Sumber Daya Air: Kedaulatan Air Mau Dibawa Kemana?".

Menurut Haris, divestasi semacam itu bakal membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan negara dan daerah untuk ikut mencicipi keuntungan besar bisnis air
kemasan.

"Divestasi ini perlu biar negara tak hanya jadi penonton," katanya menyebut penjualan air kemasan, termasuk air isi ulang dan air kemasan bermerek, telah mencapai rekor sedikitnya 65 miliar liter per tahun, dengan Danone-AQUA menguasai sekitar 46% pangsa pasar.

Apalagi, lanjut Haris, masyarakat Indonesia kini kian mengandalkan air minum kemasan. Dia merujuk Studi Kesehatan Air Minum 2020 oleh Kementerian Kesehatan, sebuah kajian air minum yang disebut-sebut terbesar di dunia, yang mencatat sekitar 41,8% penduduk Indonesia rutin mengkonsumsi air minum kemasan, baik itu air isi ulang (31,1%) maupun air kemasan bermerek (10,7%). 

Menurut Haris, negara selama ini praktis jadi penonton lantaran Pasal 50 pada UU Sumber Daya Air secara spesifik mengizinkan BUMN, BUMD dan Badan Usaha Milik Desa untuk terlibat penuh dalam bisnis dan pengelolaan air minum kebutuhan sehari-hari masyarakat -- kecuali bisnis Air Minum Kemasan yang diserahkan kepada swasta. Penjelasan Pasal 50 menggambarkan Air Minum Kemasan sebagai "produk manufaktur untuk memenuhi segmen pasar demi kepraktisan dan gaya hidup".

Padahal, lanjut Haris, konstitusionalitas UU Sumber Daya Air, termasuk seluruh
perubahannya dalam UU Cipta Kerja, berdasarkan putusan monumental Mahkamah Konstitusi pada 2015 ditentukan sepanjang pengusahaan air dimaknai negara masih punya hak dalam mengambil kebijakan, memengang kendali dalam pengurusan, pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan sumber daya air.

"Dikotomi dalam Pasal 50 itu menjadikan kewenangan negara dalam pengelolaan
sumber daya air tidak berjalan penuh, seolah negara takut terlibat dalam pengelolaan air minum kemasan," kata Haris menyebut divestasi perusahaan AMDK bisa dilakukan dengan cara pembagian kepemilikan saham ke perusahaan negara atau perusahaan daerah.

Pemerintah dan DPR perlu segera memikirkan skema divestasi industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).

Kepatuhan Industri AMDK

Berbicara dalam forum yang sama, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Dr. Syaiful Bakhri, mempertanyakan penghapusan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya air pada UU SDA dan perubahannya. Menurutnya, langkah itu bertentangan dengan semangat prinsip otonomi daerah dan desentralisasi.

"Intinya, pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada korporasi untuk melakukan privatisasi usaha air," kata Syaiful.

Padahal, menurutnya, saat Mahkamah membantalkan UU SDA yang lama pada 2015, izin pengusahaan air seharusnya tak berlaku lagi.

"Semuanya seharusnya dicabut mengingat putusan MK kala itu sifatnya ultra petita (membatalkan keseluruhan pasal) dan ultra pires, yakni mencabut Peraturan Pemerintah terkait," katanya.

Lantaran itulah, Syaiful melihat ada problem besar secara konstitusional dalam UU SDA dan perubahannya, yakni UU Cipta Kerja. Yang terakhir belakangan ditetapkan Mahkamah sebagai "inkonstitusional bersyarat" dengan masa tenggang pengajuan revisi selama dua tahun.

Sementara itu, Achmad Haris berpendapat UU SDA dan perubahaannya juga
menyisakan masalah tersendiri karena tidak mengatur secara rigid tentang kewajiban hukum pemegang izin berusaha sumber daya air yang sifatnya komersial.

Padahal pengaturan kewajiban hukum para pelaku usaha AMDK di level undang-undang itu diperlukan sebagai instrument penaatan (compliance). Sehingga apabila kewajiban hukum tidak dijalankan, pemilik izin bakal berhadapan dengan sejumlah konsekuensi baik secara administratif, perdata ataupun pidana.

Menurut Haris, kewajiban hukum para pemegang izin pengusahaan air sejauh ini hanya diatur dalam Peraturan Menteri PUPR No 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Perizinan Pengusahaan Sumber Daya Air dan Penggunaan Sumber Daya Air. Dampaknya, para pelaku usaha bisa seenaknya melalaikan kewajiban hukum yang melekat, seperti kewajiban penyisihan sebagian laba perusahaan untuk konservasi sumber air dan kewajiban distribusi air sebanyak minimal 15 persen dari debit air yang diizinkan untuk digunakan ke masyarakat di sekitar sumber mata air.

"Pengaturan kewajiban sebatas di level Peraturan Menteri itu bertentangan dengan asas 'no punish without representative'," pungkasnya.(*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Tempo.co

Tempo.co

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus