Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=brown>Pesan Kematian</font> dari Pazondaung

Jasad ratusan biksu dikremasi secara rahasia untuk menghilangkan jejak. Penangkapan dan pembunuhan biarawan terus berlangsung hingga pekan lalu.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh itu penuh lebam. Secarik kain merah bercampur lumpur terbelit di leher. Punggung dan belakang tubuhnya telanjang. Wa jahnya terbenam di air keruh. Tubuh itu milik seorang biksu yang pada 27 September lalu masih berbaris di jalan an Rangoon, ibu kota Burma, bersama ribuan biarawan lain. Me reka tu run tanah, berdemo secara da mai, me nyenandungkan ”Metta-Sutta...” (cin ta -kasih).

Hari itu tentara junta menaburkan peluru dengan membabi buta ke arah puluhan ribu pengunjuk rasa prodemokrasi. Kaum biksu di garis depan rebah ke tanah, berlumuran darah. Salah satunya adalah jenazah, yang direkam kamera tiga hari setelah pembunuhan massal itu. Mengambang di Sungai Pazondaung yang membelah Rangoon, tubuh tak bernyawa itu mengirim ”pesan” bahwa penguasa militer tak sungkan membunuh siapa pun yang menghalangi mereka, termasuk para biksu yang amat dihormati di Burma.

Penangkapan para biarawan dan biarawati masih berlangsung secara masif hingga pekan lalu. Empat dekade junta berkuasa, inilah kali kedua bangkitnya kaum biarawan melawan—secara damai—penguasa tiran. Pada 1988, sekitar 3.000 mahasiswa, biksu, dan aktivis prodemokrasi tewas dalam aksi serupa.

Sampai pekan ini, pembunuhan dikabarkan masih terus berlangsung walau kian sulit dilaporkan ke dunia luar. Ratusan aktivis prodemokrasi dan partai oposisi dijemput secara paksa dari rumah mereka pada malam hari. Jam malam diberlakukan mulai pukul 10 malam hingga pukul 6 pagi. Yang berada di jalan pada jam-jam itu bisa ditembak langsung. Sekolah ditutup, demikian pula saluran internet.

Penduduk Rangoon bertanya-tanya ke mana jasad kaum biksu yang bersimbah darah di pusat kota. Angka resmi pemerintah: korban tewas hanya 10 orang, tapi aktivis Burma di Eropa telah memiliki 138 nama korban tewas. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah. Anehnya, tak satu pun jenazah ditemukan. ”Tak ada kuburan massal seperti di Yugoslavia. Militer memindahkannya secara sistematis,” kata Shari Villarosa, diplomat Amerika Serikat di Rangoon.

Banyak yang percaya bahwa junta melakukan kremasi massal. Menurut laporan koresponden The Times, sebuah krematorium umum di timur laut kota Rangoon sempat dijaga ekstraketat. Jalan ke sana diblokir saat warga sekitar melihat truk-truk bertutup terpal mondar-mandir di malam hari. Asap terus-menerus menguar dari cerobongnya. Bisa jadi, salah satunya adalah tubuh Win Shwe, 42 tahun.

Dua pekan lalu, junta menghubungi keluarga aktivis partai oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi itu. Mereka mengatakan, Shwe tewas dalam interogasi dan tubuhnya telah dikremasi. ”Tak ada usaha mengenali jenazah, mengembalikan jasad mereka ke keluarga, upacara pemakaman sekadarnya,” kata seorang pekerja asing. Kremasi rahasia ini diduga dilangsungkan 24 jam setelah insiden 27 September selama hampir sepekan.

Lalu, ke mana perginya biarawan yang masih hidup? Sejak tragedi 27 September, ribuan biksu digelandang dari jalan-jalan dan biara mereka menuju tempat tahanan sementara. Menurut junta, jumlah yang ditahan 2.000 orang lebih, tapi aktivis Burma menyatakan: angka yang benar lima kali lipatnya. Sebagian besar tahanan didistribusikan ke penjara-penjara di luar kota.

Menurut Aung Din, aktivis Burma di Amerika Serikat, penangkapan tak hanya terjadi di Rangoon, tapi juga di Mandalay, kota terbesar kedua dengan jumlah biara terbanyak di Burma. Di kota-kota lain seperti Myitkyina, Bhamo, dan Moe Nyin, para biksu dan biksuni juga jadi sasaran tentara. ”Mereka menghancurkan pintu biara lalu menggelandang para penghuninya. Darah ada di mana-mana,” ujar Aung Din.

Ada yang dilepas setelah sepekan dalam tahanan. Seorang biksu 18 tahun dari Biara Mingalar Rama di Rangoon gemetar menceritakan pengalamannya. Ia ditahan bersama ratusan rekannya di kampus Institut Teknologi Pemerintah (GTI) Insein, pinggiran ibu kota. Biksu tua-muda, dari yang beruban sampai yang masih anak-anak, dipaksa duduk berdempetan bergelimang kotoran sendiri karena tak ada kakus atau air untuk mencuci. Sebagian berkukuh mogok makan. Mereka bersumpah menolak makanan dari militer. ”Setelah seminggu, sebagian sudah lemah. Tangan mereka gemetar,” katanya. Tak sedikit dari mereka yang ditangkap di jalan men derita luka-luka. Tak satu pun yang mendapat perawatan.

Bersenjatakan foto-foto demonstrasi yang diunduh pihak junta dari internet, tentara terus menggerebek biara-biara, membekuk para biksu serta aktivis prodemokrasi. Warga biasa yang hanya bertepuk tangan di pinggir jalan sewaktu unjuk rasa juga diciduk. Pengeras suara dari truk-truk militer yang berpa troli di Ra ngoon menyiarkan pesan kematian ini: ”Kami punya foto, kami akan menangkap Anda.” Segelintir biksu yang tersisa bersicepat meninggalkan kota.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus