Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#CC0000>Petaka Pagi Buta</font> di Kunduz

Komandan pasukan Jerman di Afganistan melewati batas kewenangannya dalam mengambil keputusan. Akibatnya, 90 orang tewas, di antaranya warga sipil.

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hati sang jenderal sedang rusuh. Air sebatas lutut itu tak menghalanginya mendekati bangkai truk tangki minyak yang hangus terbakar setelah dihantam bom seberat 250 kilogram. Secara saksama Jenderal Stanley A. McChrystal, komandan pasukan gabungan Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Afganistan itu, mengamati satu dari dua truk yang sempat dibajak kelompok Taliban pada Jumat dua pekan lalu.

Selesai menginspeksi lokasi kejadian, McChrystal menuju rumah sakit Kunduz untuk menengok para korban ledakan, termasuk seorang bocah lelaki berusia 10 tahun yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh. Bocah itu satu dari 15 orang yang selamat. Adapun 90 lainnya tewas mengenaskan setelah pesawat F 15E Strike Eagle milik Amerika memuntahkan bom ke arah truk yang mogok saat mencoba melintasi Sungai Kunduz. Korban tewas rata rata terpanggang akibat ledakan dahsyat.

Menurut Mahboubullah Sayedi, juru bicara pemerintah daerah Provinsi Kunduz, dari 90 orang yang tewas itu, mayoritas diperkirakan personel Tali­ban. Hal itu terbukti dari banyaknya senjata laras panjang jenis Kalashnikov yang berserakan di lokasi kejadian. Meski begitu, ia tak menyangkal ada nya warga sipil yang tewas dalam serangan tersebut.

Dalam sepekan terakhir, insiden ini mendapat perhatian khusus dari para pejabat tinggi Eropa, terutama setelah munculnya protes dan kritik tajam dari pemerintah Afganistan soal ada nya warga sipil yang tewas. Pembahasan khusus digelar di Stockholm, Swedia, pekan lalu. Mereka menyebut insiden ini sebagai ”tragedi” dan ”sebuah ke­salahan besar”.

Yang menjadi perdebatan adalah berapa banyak warga sipil yang tewas dalam insiden berdarah itu. Apakah serangan udara itu melanggar kesepakat­an yang telah disetujui, yakni menghindari jatuhnya korban di pihak sipil. Dan apakah serangan tersebut mengikuti prosedur baku yang telah ditetapkan.

McChrystal baru baru ini melarang penggunaan serangan udara oleh pasukan Sekutu untuk menumpas Taliban bila berakibat warga sipil turut menjadi korban. Menurut dia, pasukan Sekutu bisa menjadi pecundang perang ini bila jumlah warga sipil yang terbunuh tetap tinggi. ”Tak ada yang lebih penting dibandingkan dengan melindungi warga sipil,” katanya.

Untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya, McChrystal membentuk tim investigasi. Mayor Jenderal C.S. Sullivan, direktur operasi gabungan NATO, ditunjuk sebagai kepala tim investigasi International Security Assistance Force atau ISAF. ”Hasilnya akan kami umumkan kepada rakyat Afganistan.”

Presiden Afganistan Hamid Karzai mengaku sangat terpukul atas insiden ini. Menurut dia, tidak seharusnya ada warga sipil yang terbunuh dalam sebuah operasi militer antiteroris. Karzai juga memerintahkan pembentukan tim investigasi khusus yang terdiri atas perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Departemen Keamanan Nasional, dan Departemen Administrasi Provinsi. Hasilnya akan dicocokkan dengan hasil tim investigasi ISAF.

Sedangkan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pasukan gabungan yang bertugas, diduga warga di sekitar lokasi kejadian sengaja dipaksa ­Taliban mengerubungi truk tangki minyak tersebut. Tujuannya: mereka digunakan sebagai tameng hidup agar truk tersebut tidak diserang pasukan NATO.

Menurut seorang saksi mata, Wazir Gul, petani berusia 23 tahun yang menjadi salah satu korban luka bakar, ratusan orang mendatangi truk tersebut membawa jeriken. Mereka berdatangan dari desa desa di sekitar Sungai Kunduz setelah beberapa orang berteriak bahwa ada minyak gratis. ”Mereka mengatakan: ayo, ada banyak minyak gratis,” ucap Gul. Saat warga mencoba menguras truk tangki minyak itulah bom menghantam.

Kunduz, terletak di belahan utara Afganistan, merupakan wilayah yang relatif tenang dari serangan pejuang Taliban dibanding wilayah selatan. Sebagai negara anggota NATO terbesar ketiga yang berkontribusi dalam ope­rasi militer di Afganistan, Jerman bertanggung jawab menjaga keamanan di sana. Tak kurang dari 4.200 tentara Jerman diterjunkan ke Afganistan.

Saat berpatroli, tentara Jerman tahu bahwa dua truk tangki bermuatan penuh minyak milik NATO, yang dirampas pejuang Taliban, ada di wilayah Kunduz. Mereka langsung meminta bantuan serangan udara. ”Kami meminta bantuan pada pukul 02.30 pagi,” ucap seorang pejabat militer Jerman. Baru 40 menit kemudian bom dijatuhkan.

Permintaan serangan udara itu da­tang langsung dari komandan tertinggi pasukan Jerman di Afganistan, Kolonel Georg Klein. Tentara Jerman sendiri baru datang ke lokasi 10 jam setelah serangan dilancarkan. Menurut seorang pejabat militer Jerman, Taliban kemungkinan besar akan menggunakan dua truk tangki itu untuk meledak­kan markas mereka dengan cara aksi bunuh diri.

Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, mengatakan kedua truk pembawa suplai bahan bakar pasukan NATO di Kabul itu mereka rampas dalam perjalanan dari Tajikistan. Ketika truk mogok, banyak warga berdatangan untuk mengambil minyak. Padahal, menurut Mujahid, warga sudah diperi­ngatkan akan adanya bahaya serangan udara. Ia mengaku tak ada pejuang Taliban yang tewas dalam serangan itu.

Kementerian Pertahanan Jerman membantah adanya korban warga sipil dalam serangan udara paling mematikan sejauh ini di wilayah utara Afga­nistan. ”Menurut informasi yang kami terima, tak ada jatuh korban di pihak sipil,” ucap juru bicara Christian Dienst di Berlin. ”Seandainya ada warga sipil di tempat kejadian, pasti kami tidak akan meminta bantuan serangan udara.”

Sedangkan laporan hasil investigasi sementara yang dilakukan ISAF menyebutkan ada kesalahan prosedur yang dilakukan Klein. Menurut ISAF, Klein sudah melebihi kewenangannya dengan meminta bantuan serangan udara. Ia seharusnya melakukan pengecekan ulang ke markas pusat ISAF sebelum mengambil keputusan tersebut. Hasil investigasi lengkap akan diumumkan kemudian.

Bagi Jerman, kasus ini menjadi sangat serius lantaran terjadi hanya empat pekan sebelum dilangsungkannya pemilihan umum pada 27 September mendatang. Pemimpin oposisi Partai Kiri, Oskar Lafontaine, memanfaatkan insiden tersebut untuk menyerang Kanselir Angela Merkel. Menurut Lafontaine, sudah saatnya Jerman menarik pasukannya dari Afganistan.

”Setiap kali jatuh korban sipil dalam serangan yang dilakukan NATO atau Jerman, Taliban justru lebih kuat. Ini menjadi ancaman bagi negara kami,” ucap Lafontaine. Sebuah jajak pendapat yang dirilis pada Juli lalu menyebutkan 61 persen warga Jerman ingin keterlibatan militer mereka di Afga­nistan segera dihentikan. Hanya 33 persen yang mendukung.

Utusan Perserikatan Bangsa Bangsa di Afganistan, Peter W. Galbraith, meng­aku sangat prihatin atas serangan tersebut. ”Harus ada langkah konkret untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa serangan udara dilakukan ketika sulit mendeteksi apakah ada warga sipil atau tidak di wilayah sekitar,” katanya.

Berapa jumlah korban pasti dalam serangan itu sempat simpang siur dan bergantung pada pihak mana yang me­ngeluarkan pernyataan. Pasukan Jerman mengatakan ada 57 pejuang Taliban di lokasi kejadian dan mereka yakin saat serangan tidak ada warga sipil di sana. Namun Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen mengakui adanya warga sipil yang tewas, tapi belum jelas berapa jumlahnya.

Jatuhnya korban warga sipil dalam serangan pasukan gabungan Amerika dan NATO kerap terjadi. Mei lalu, sebuah pesawat tempur milik Amerika menghantam sasaran militer di sebelah barat Provinsi Farah. Dalam serangan itu diperkirakan 60 65 pejuang Taliban tewas. Pemerintah Amerika mengakui ada 20 30 korban warga sipil, tapi pemerintah Afganistan mengklaim 140 warga sipil tewas dalam serangan itu.

Firman Atmakusuma (Telegraph, CNN, Huffington, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus