Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#FF9900>Kuda Hitam</font> dari Uttar Pradesh

Pemilu India menyimpan kuda hitam: Mayawati Kumari dari partai kasta rendah Bahujan Samaj Party. Jika partai berkuasa Kongres—yang mengusung nama besar klan Gandhi—dan oposisi Bharatiya Janata Party gagal meraup suara terbanyak dalam pemilu yang diikuti 700-an juta warga itu, Mayawati bisa saja tampil sebagai calon perdana menteri. Pengamat Barat menyebutnya Obama dari India karena menyuarakan perubahan.

4 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Uttar Pradesh, India, Presiden Barack Obama menemukan teman senasibnya, Mayawati Kumari, chief minister negara bagian terluas dengan penduduk terpadat di India itu. Pada pemilihan umum India yang berlangsung sejak 16 April lalu, Mayawati menjadi sosok yang diperhitungkan di antara ingar-bingar kandidat yang didominasi klan Gandhi.

Mingguan Newsweek menyebut perempuan 53 tahun ini ”anak bawang yang dahsyat” dan ”ancaman terbesar bagi rezim mapan India yang jauh lebih berkuasa daripada yang harus dihadapi Obama.”

Mayawati memang bukan politikus India biasa. Ia memimpin kaum Dalit lewat partai Bahujan Samaj Party, partai yang menghimpun warga berkasta rendah India. Dalam pemilu tahun ini, ia berhadapan dengan tokoh kuat seperti Perdana Menteri Manmohan Singh dan kandidat dari Bharatiya Janata Party, L.K. Advani.

Hingga pekan lalu, India telah memasuki tahap ketiga dari lima putaran. Jutaan suara dari 107 daerah pemilihan di sembilan negara bagian dan dua wilayah federal sudah masuk. Termasuk ibu kota finansial India, Mumbai.

Pemilu India—yang ke-19 sejak 1950—adalah pesta demokrasi terbesar di dunia karena melibatkan lebih dari 700 juta pemilih. Inilah uji coba demokrasi di negara yang terus diguncang isu rasial, sosial, dan terorisme.

Putaran ketiga ini menjadi penting bagi partai Kongres dan Bharatiya karena di sinilah mereka bisa melihat kekuatan masing-masing. Uttar Pradesh dan Delhi baru akan menggelar pemilu Kamis pekan ini. Di dua wilayah inilah partai Mayawati dan dua partai besar itu akan berebut kekuatan.

”Menang atau tamat riwayat,” demikian harian-harian India menulis tentang nasib Bharatiya, yang kini memegang pemerintahan lewat koalisi multinasional Front Nasional Demokrasi (NDA). Sejak 2004, Bharatiya terus dihantam isu rasial dan sosial. Perpecahan serta konflik agama dan sosial terus berlangsung di tengah kepemimpinan Singh.

Sedangkan Kongres, yang memimpin koalisi Aliansi Progresif Bersatu (UPA), diperkirakan juga tak akan mungkin mendapat suara mayoritas. Jika mereka tak mampu menguasai kursi mayoritas, bisa jadi partai Mayawati yang maju memimpin.

Naiknya Mayawati tak pernah diperkirakan. Partai Dalit memang tak masuk hitungan. Belakangan, berkat kebijakannya merangkul pendukung lintas kelompok—termasuk warga muslim—dukungan bagi partai ini diperkirakan naik hingga dua kali lipat.

Publik India yang sudah bosan dengan politikus tua rupanya membuat kans Mayawati kian besar. Usianya jauh di bawah petinggi Kongres dan Bharatiya, yang sudah lewat 70 tahun. Satu-satunya lawan tangguh yang akan dihadapi Mayawati adalah Rahul Gandhi, putra mahkota Kongres, anak pasangan mendiang Rajiv Gandhi dan Sonia Gandhi. Jika Singh berhalangan memimpin, Kongres sudah menyiapkan Rahul sebagai pengganti.

Memimpin Uttar Pradesh di dataran Gangga dengan penduduk berjumlah 190 juta jiwa, Mayawati berada di tengah pembauran keragaman budaya. Uttar Pradesh dikenal sebagai tanah kelahiran Hindu, tapi juga menjadi tempat lahirnya Islam di India. Di sinilah berdiri Taj Mahal yang megah, yang menjadi simbol peradaban Islam di negeri itu.

Putri keluarga pegawai rendahan ini mulai menyentuh dunia politik setelah bergabung dengan Bahujan Samaj Party pada 1984. Pendiri Bahujan, Kanshi Ram, meminta Mayawati bergabung dalam partai yang ia dirikan untuk mewakili penganut Buddha dan kaum kasta rendah, yang dikenal dengan sebutan Dalit. Ketika itu, ia sudah bekerja sebagai guru di Delhi. Mayawati cepat melejit di partai ini. Pada 2001, Kanshi Ram memintanya menjadi pengganti.

Saat bergabung dengan Bahujan, perempuan yang memiliki dua gelar bidang pendidikan dan hukum ini sebenarnya sudah ikut bertarung di pemilu. Pada 1984, ia bertarung mewakili Kairana merebut kursi Lok Sabha (majelis rendah) di Distrik Muzaffarnagar. Setahun kemudian, ia bertarung lagi untuk Bijnor dan pada 1989 untuk Haridwar. Ketika itu, Bahujan kalah, tapi pengalaman ini menjadikan Mayawati belajar bagaimana memiliki basis yang kuat untuk memenangi pemilu.

Pada 1989 itu juga Bahujan berhasil memenangi 13 kursi, dan 11 kursi pada 1991. Karena konstituen Dalit menyebar di berbagai negara, Mayawati kemudian mengadopsi kebijakan menarik sebanyak mungkin kelompok lain ke dalam partai.

Upaya meraup dukungan tanpa berbasis kasta ini terbukti ampuh. Tak hanya meraih kursi di majelis rendah, Mayawati melaju ke majelis tinggi (Rajya Sabha) pada 1995. Jalannya mulus menuju kursi chief minister. Lewat koalisi berumur pendek, tahun itu juga Mayawati memimpin Uttar Pradesh. Setahun setelah itu, ia kembali memenangi kursi chief minister lewat dukungan dua konstituen. Koalisi singkat kembali ia bangun pada 1997. Lima tahun kemudian, Mayawati kembali memimpin Uttar Pradesh lewat koalisi dengan partai oposisi Bharatiya, yang juga hanya bertahan setahun.

Pada 2003, skandal mengguncang partai. Partai oposisi Samajwadi Party mengirimkan kaset dan video ke Gubernur Uttar Pradesh yang mereka klaim berisi rekaman yang menunjukkan Mayawati sedang meminta anggota dewan legislatif menyerahkan dana konstituen tahunan mereka ke partainya.

Tak berapa lama, Mayawati menghadapi lebih dari 140 kasus yang menyerangnya. Meski sempat kerepotan menghadapi serangan itu, pada pemilu negara bagian 2007, Bahujan meraih suara mayoritas. Isu sosial dan keragaman budaya menjadi amunisi bagi partai untuk meraih simpati. Inilah yang memuluskan jalannya menuju puncak. Berapa pun perolehan suara Mayawati kelak, dengan dukungan jutaan pemilih di wilayah yang ia pimpin, Bahujan bakal mengguncang dominasi partai-partai yang dikuasai politikus tua.

Angela Dewi (AFP, AP, BBC, Reuters, Thehindutimes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus