Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA gambar tak lazim di sebuah nisan di pemakaman Nahalat Yitzhak di Tel Aviv: peta wilayah Israel seperti yang dijanjikan kitab suci. Tercantum pula gambar senapan dan bayonet terhunus, dengan tulisan: ”Harga mati!”
Itulah nisan Eitan Livni, ayah Tzipora Malka Livni, 50 tahun. Sejarah hidup Livni adalah sejarah Israel itu sendiri. Enam dekade berlalu setelah Eitan, pemimpin gerilyawan Zionis Irgun, ikut memproklamasikan Negara Israel di tanah Palestina pada 1948.
Kini, putrinya punya kesempatan memimpin negeri Yahudi itu. Livni memenangi kepemimpinan Partai Kadima, partai pemerintah berkuasa di Israel, Rabu pekan lalu. Livni, yang kini menteri luar negeri dan wakil perdana menteri, telah lama dianggap sebagai pesaing Perdana Menteri Ehud Olmert.
Meski awalnya sejalan, keduanya berkonflik hebat setelah perang Israel dan Libanon pada 2006. Kemudian keduanya berbaikan. Pada November lalu, Olmert menunjuknya sebagai pemimpin perjanjian damai dengan Otoritas Palestina.
Akhirnya, pekan lalu, karier politik Olmert, yang terpuruk ke titik nadir akibat kasus korupsi yang bertubi-tubi, tamat sudah. Livni menang, mengalahkan pesaing terdekatnya, Shaul Mofaz, menteri transportasi, dengan angka yang sungguh tipis: 431 suara.
Kemenangan itu sedikit-banyak ditunjang oleh kenyataan bahwa Livni, yang baru sepuluh tahun terjun ke dunia politik, terkenal bersih korupsi. Pada usia 22 ia sempat menjadi agen Mossad, dinas intelijen luar negeri Israel.
Setelah empat tahun, Livni menolak melanjutkan karier di dunia intelijen. Dia memilih kuliah hukum dan menjadi pengacara. Baru pada 1999 ia menjadi anggota parlemen untuk Partai Likud.
Livni adalah murid politik bekas Perdana Menteri Ariel Sharon. Ia berturut-turut menduduki posisi menteri dalam kabinet Sharon. Livni pula yang ada ”di dalam” ketika Sharon mengambil keputusan kontroversial: menarik pasukan dan pendudukan Israel dari Jalur Gaza.
Livni bisa jadi satu ideologi dengan Sharon, yang mendirikan Kadima pada 2005 agar bisa mengakomodasi negosiasi damai. Livni tahu, mimpi memperoleh wilayah Israel yang melintang dari Laut Mediterania hingga ke Sungai Yordan tak mungkin terwujud tanpa berbagi wilayah dengan Palestina.
Tapi jalan ke situ masih panjang. Untuk mewujudkan janji perdamaian yang didesak Amerika Serikat, Livni mesti lebih dulu membentuk pemerintah pendukung yang kuat. Ia punya 42 hari untuk mendapat suara mayoritas parlemen.
Kadima cuma punya 29 suara di Knesset, yang total kursinya 120. Sekutunya, Partai Buruh, punya 19 suara. Mau tak mau ibu dua anak lelaki ini mesti mendapatkan koalisi baru.
Masalahnya, Partai Shas, yang potensial jadi mitra, sudah jauh-jauh hari menolak negosiasi yang mempertaruhkan masa depan Yerusalem; salah satu isu konflik abadi dalam negosiasi damai Israel-Palestina. Berkoalisi dengan partai kiri Meretz bisa jadi bumerang pula bagi kalangan dalam Kadima.
Bila gagal mendapat dukungan, Livni menghadapi ancaman pemilihan umum baru yang besar kemungkinan dimenangi Benjamin Netanyahu, pemimpin Likud yang antinegosiasi damai.
Untuk Livni, sejarah Israel adalah sejarah dirinya sendiri. Ibunya, Sarah Rosenberg, menyusui anaknya sambil memimpikan Eretz Israel, alias tanah Israel yang dijanjikan kitab suci.
Tapi enam dekade kemudian, Livni-lah yang aktif menyuarakan solusi dua negara sebagai jalan keluar—yakni negara Israel dan Palestina yang hidup berdampingan.
”Ayo, kompromistis,” katanya. ”Palestina bisa merasakan keadilan di sisi mereka, saya bisa merasakan di sisi saya. Tapi ini bukan soal sejarah; kita bicara tentang masa depan.”
Kurie Suditomo (NYTimes, Guardian, Financial Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo