Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkawinan tak selalu berdasarkan niat suci. Di Kamboja, perkawinan antara perempuan negeri itu dan pria asal Korea Selatan ditengarai merupakan samaran dari praktek perdagangan manusia. Awal bulan ini, pemerintah Kamboja dikejutkan oleh pengakuan seorang mak comblang bahwa dia telah menikahkan 25 wanita asal Phnom Penh melalui biro jodoh yang dibangunnya.
Kepala Bagian Antiperdagangan Manusia Kepolisian Kamboja Bith Kimhong mengatakan broker tersebut menarik bayaran US$ 100 atau setara dengan Rp 950 ribu dari pria Korea Selatan untuk setiap wanita yang akan dinikahinya. ”Mencari komisi dari sebuah pernikahan itu tindakan yang melanggar hukum,” kata Kimhong.
Mei tahun lalu, polisi Kamboja menangkap warga Korea Selatan, Lee Kyung-jun, atas tuduhan pemalsuan sertifikat dan dokumen perkawinan. Selanjutnya, September tahun lalu, pengadilan menjatuhinya hukuman 10 tahun penjara karena dia terbukti menjual wanita Kamboja.
Undang-undang Kamboja mewajibkan orang asing berbicara lebih dulu dengan orang tua calon pasangannya sebelum menikah. ”Dia harus meminta secara adat dan mencatatkan diri di desa dan masyarakat setempat,” Kimhong menambahkan.
Temuan baru praktek perdagangan wanita berbalut perkawinan itu tak urung membuat pemerintah Kamboja gerah. Senin pekan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Kamboja, Koy Kuong, mengumumkan penghentian sementara perkawinan antara perempuan Kamboja dan laki-laki Korea Selatan. Langkah tersebut diambil untuk mencegah meningkatnya perdagangan manusia di negeri tersebut. ”Kami ingin memastikan perkawinan mereka adalah perkawinan asli,” kata Kuong. ”Tidak palsu dan tidak terlibat dengan perdagangan manusia.”
Kuong mengatakan Kedutaan Korea Selatan di Phnom Penh telah diberi tahu mengenai penghentian sementara perkawinan campuran Kamboja-Korea Selatan itu pada 5 Maret lalu. Namun isu perdagangan manusia melalui modus perkawinan itu dibantah oleh pihak Korea Selatan. ”Pernikahan antara pria Korea Selatan dan wanita Kamboja tidak ada hubungannya dengan perdagangan manusia,” kata seorang pejabat kedutaan yang enggan menyebut namanya.
Penghentian sementara perkawinan antarnegara ini merupakan yang kedua kalinya. Pada 2008, Kamboja mengeluarkan larangan perkawinan dengan orang asing, setelah terbit laporan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) yang menyatakan penjualan wanita miskin Kamboja ke Korea Selatan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan para makelar. Kendati ada larangan, jumlah wanita Kamboja yang menikahi pria Korea malah meningkat dua kali lipat dari 551 pada 2008 menjadi 1.372 pada 2009.
Sebuah laporan bahkan menyebutkan 60 persen perempuan Kamboja terlibat perkawinan dengan pria Korea. Bagi orang Korea sendiri, wanita Kamboja menduduki peringkat keempat untuk dinikahi, setelah Cina, Jepang, dan Filipina.
Sejak 2004, Kamboja menjadi salah satu tempat tujuan wisatawan Korea Selatan serta investor di bidang garmen dan teknologi informasi. Penanaman modal dari Korea telah membantu mendorong pertumbuhan ekonomi negara itu menjadi dua digit dalam kurun empat tahun.
Koordinator Proyek IOM John McGeoghan menyambut baik skorsing yang dijatuhkan pemerintah Kamboja. ”Ini langkah positif. Senang melihat pemerintah Kamboja bersikap serius atas masalah ini,” katanya. Dia mengingatkan pentingnya meningkatkan kesadaran akan kehidupan pascaperkawinan di kalangan perempuan Kamboja yang ingin menikah dengan pria Korea Selatan.
Suryani Ika Sari (Xinhua, Korea Times, JoongAng Daily, Yonhap News, Reuters, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo