Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Cina</B></font><BR />Kosmopolis di Jantung Cina

Beijing bersalin rupa menjadi kota modern. Inilah reportase wartawan Tempo dari ibu kota Cina itu.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu matahari sama sekali tak terlihat di langit Beijing. Jutaan butir pasir berderau di udara. Dua hari sebelumnya, badai menerbangkan butir pasir itu dari arah utara, membuat langit ibu kota Cina ini berwarna kekuningan dan bandar udara terpaksa berhenti beroperasi.

Beberapa warga yang berjalan kaki di Jalan Changan di pusat Kota Beijing mengenakan masker untuk menghindari pasir. Jaket dan syal melindungi tubuh mereka dari cuaca dingin yang masih menggigit di akhir Maret. Kaki lima di tepi jalan itu terasa lapang. Lebarnya sekitar tiga meter. Sama sekali tak ada pedagang atau pengendara sepeda motor yang nyelonong ke trotoar untuk pejalan kaki itu seperti di Jakarta.

Sejak sebelum Olimpiade digelar dua tahun lalu, Beijing telah mengharamkan sepeda motor melintas di jalanan. Alasan bahwa sepeda motor kerap menjadi sarana kejahatan—para penjambret melakukan aksinya dari atas sepeda motor dan kemudian menghilang di hutong alias jalan kecil di daerah permukiman penduduk—diajukan untuk membenarkan pelarangan.

Di negeri komunis seperti Cina tak terdengar ada perlawanan atas pelarangan semacam itu. Namun lihat pula bagaimana pemerintah Kota Beijing menyediakan sarana transportasi bagi warganya. Kereta bawah tanah tersedia sejak pukul 5 pagi sampai pukul 1 dinihari untuk mengantar warga yang hendak mengunjungi bagian kota lain.

Kereta api bawah tanah itu tak kalah kelasnya dengan kereta sejenis di negara maju. Sofanya bersih. Penyejuk udara menyembur di musim panas dan angin dari penghangat mengepul di musim dingin. Berapa tarifnya? ”Cuma 2 yuan atau sekitar Rp 2.700,” ujar Iwan Freddy, diplomat Indonesia di Beijing. Dan untuk mengelilingi Beijing yang luasnya 22 kali Jakarta, seorang penumpang cukup membeli tiket dua kali. Berkat Olimpiade Beijing, semua tanda, pengumuman, dan nama stasiun menggunakan bahasa Inggris, selain bahasa Mandarin.

Bukan cuma kereta api bawah tanah, di sana masih ada bus, bus listrik, dan taksi untuk sarana transportasi. Bagi warga yang menggunakan sepeda, tersedia jalur sepeda yang cukup lebar. Untuk jarak dekat, ada pula kendaraan semacam becak yang menggunakan sepeda roda tiga berlistrik atau bertenaga pancal.

Di bawah cuaca dingin, warga Beijing antre menunggu bus dengan tertib. Bila ada warga yang menyerobot antrean, polisi akan datang dan memarahinya. ”Perilaku seperti itu dianggap mengganggu fasilitas umum,” ujar Protus, warga Indonesia di Beijing yang pernah melihat polisi membentak calon penumpang bus yang tak mau antre.

Kebiasaan warga Beijing meludah sembarangan pun sudah jauh berkurang. Tempat sampah tersedia di mana-mana. ”Kebiasaan buruk itu ditertibkan menjelang Olimpiade,” kata Jiang, warga setempat. Hanya orang tua yang terlihat masih suka meludah, tapi itu pun mereka lakukan di dekat tempat sampah.

Olimpiade Beijing memang banyak mengubah wajah ibu kota Cina itu. Seakan untuk menunjukkan kekuatan ekonominya—Cina memiliki cadangan devisa US$ 2.200 miliar dan sekarang menjadi eksportir terbesar di dunia—infrastruktur Beijing dibenahi. Bandar udara dibangun. Jalanan diperlebar. Jalur kereta bawah tanah baru dikebut. Berbagai sarana olahraga dibina, dari stadion sampai tempat penginapan atlet. Semuanya megah.

Dua tempat pelaksanaan Olimpiade, yakni stadion sepak bola yang biasa disebut Bird’s Nest dan stadion renang yang disebut Water Cube, kini bahkan menjadi ikon pariwisata baru. Para wisatawan berduyun melongok ke dua tempat itu, sama antusiasnya seperti mereka melihat bangunan megah peninggalan leluhur: Kota Terlarang dan Tembok Raksasa.

Secara keseluruhan, Beijing seperti bersalin rupa. Gedung jangkung bertebaran di seluruh penjuru kota menggantikan permukiman kumuh. Hutong menuju kampung yang tersisa di tengah kota sekarang menjadi tujuan wisata, setelah rumah warga di sana diperbaiki dan diubah menjadi toko atau kafe. Kebanyakan warga Beijing kini tinggal di apartemen atau rumah susun. ”Padahal di sana mereka cuma memperoleh hak pakai selama 70 tahun,” kata Kusnadi, mahasiswa asal Indonesia.

l l l

Hummer seharga lebih dari Rp 1 miliar itu terparkir di pelataran Hotel Beijing International di Jalan Changan, Beijing. Tak lama, datang sebuah mobil yang tak kalah mewah: Audi seri 8. Petugas hotel bergegas membukakan pintu. Seorang perempuan ramping mengenakan mantel bulu turun dari mobil itu dan melangkah masuk ke hotel.

Di kaca depan Audi 8 itu tertempel sebuah kertas dengan tulisan Mandarin dan simbol bendera Tiongkok. ”Biasanya itu mobil pejabat pemerintah atau partai,” ujar seorang petugas hotel. Cina sudah memproduksi sendiri Audi seri 6 dan 7, tapi seri 8 masih diimpor langsung dari Jerman.

Segala jenis mobil mewah kini amat mudah dijumpai di jalanan Beijing, termasuk limusin. Warga kaya Beijing memang tak menyembunyikan ”kegilaan” mereka akan kendaraan berharga mahal. Uniknya, semakin kaya, semakin besar kendaraan yang mereka pakai. ”Buat mereka, besarnya ukuran mobil menunjukkan jumlah uang yang mereka miliki,” kata Iwan Freddy.

Gaya hidup yang meningkat membuat persaingan memperebutkan tempat tinggal nyaman meningkat pula. Akibatnya, harga rumah di Beijing kini meroket. Marolop Nainggolan, diplomat Indonesia di Beijing, menceritakan harus membayar US$ 3.000 atau hampir Rp 30 juta sebulan untuk sewa rumah. ”Padahal rumah itu tergolong sederhana,” ujarnya.

Tingginya biaya hidup di Beijing juga dikeluhkan Kusnadi dan Albert, mahasiswa asal Indonesia di Universitas Peking. Untuk sewa apartemen mahasiswa yang mesti dibagi berdua, mereka harus membayar 1.300 yuan atau Rp 1,9 juta seorang. Adapun buat makan, mereka harus mengeluarkan duit lagi 1.000-1.500 yuan per bulan.

Perlahan tapi pasti Beijing menjadi kosmopolis yang tak kalah dengan kota modern di negara maju. Kemajuan itu seakan tak terhentikan, sejalan dengan ramalan bahwa Cina yang secara resmi masih menganut ideologi komunis akan menjadi ”penguasa” dunia di abad ke-21. ”Sekarang pun bursa saham dan uang Cina telah menjadi benchmark bagi kawasan Asia,” kata Fauzi Ichsan, ekonom dari Standard Chartered Bank Jakarta.

Kendati tak menyembunyikan rasa bangganya, Menteri Luar Negeri Cina Yang Jiechi tetap memilih rendah hati menjawab pujian tentang kemajuan Beijing. ”Anda juga harus melihat daerah pedalaman, jangan hanya Beijing atau Shanghai. Di sana masih ada ratusan juta warga Cina hidup di bawah garis kemiskinan.” Berbalut jas dan dasi disertai bahasa Inggris yang sempurna, Yang Jiechi menyampaikan jawaban itu di kantornya.

Barangkali satu-satunya kekurangan di balik kemajuan Beijing dan Cina adalah masih tersumbatnya saluran kebebasan. Sampai hari ini, warga Beijing yang semakin maju dan terpelajar itu masih tak bisa mengakses Facebook atau Tweeter secara leluasa. Google pun sudah memindahkan operasinya ke Hong Kong lantaran tak mau terus dipaksa menyensor beritanya. Kemajuan itu tampaknya punya ongkosnya sendiri.

Nugroho Dewanto (Beijing)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus