Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>Australia</font><br />Memberangus dengan Fulus

Koalisi media di Australia mengeluh pemerintah dan pengadilan membatasi akses informasi. Sekalinya dibuka, harganya sangat tinggi.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai pemimpin sebuah geng ”hitam”, nama Carl Williams pernah sedemikian ngetop di Melbourne. Waktu itu, tiga tahun silam, hampir setiap hari media di Negara Bagian Victoria, Australia, menyebut namanya. Tapi semua itu sekonyong-konyong berubah. Williams tertangkap pada 2004, lalu sejenak menghilang dari pemberitaan.

Daya tarik sosok seperti dia terhadap media massa sebenarnya belum pudar. Tapi para wartawan yang terus menyidik sosok dan kasusnya kini harus berbenturan dengan sebuah peraturan yang susah dilawan. Pengadilan sempat melarang media massa memberitakan Williams.

Awal November lalu, laporan audit nasional kebebasan berpendapat di Australia mencatat sikap tertutup pengadilan dalam kasus Carl Williams ini secara khusus. Itulah audit yang dipelopori 12 kelompok media besar yang merasa cemas dengan iklim kebebasan di Negeri Kanguru ini.

Laporan komprehensif setebal 307 halaman ini berbicara tentang kultur serba tertutup dan sensor yang tak lazim di negara demokrasi itu. Apalagi ia muncul setelah akhir Oktober lalu organisasi Reporters Without Borders melaporkan peringkat kebebasan pers di Australia melorot ke tingkat 35 dari 169 negara—prestasi yang tak bagus. Pada 2002, Australia berada pada urutan ke-12.

”Sikap serba tertutup itu sudah menyebar di antara politikus, lingkungan gereja, pemimpin komunal, serta lingkungan bisnis dan militer,” kata Irene Moss, bekas pemimpin Komisi Independen Antikorupsi yang ditunjuk sebagai penulis laporan itu, seperti dikutip Reuters.

Moss bekerja sejak Mei lalu atas permintaan koalisi yang dipimpin News Limited, penerbit The Australian. Selain grup milik konglomerat Rupert Murdoch itu, anggotanya antara lain kelompok Fairfax Media, Radio Komersial Australia, SBS, Australian Associated Press, Sky News, stasiun televisi ABC, stasiun Free TV, serta aliansi media, hiburan, dan seni.

Laporan itu meninjau setidaknya 500 aturan hukum yang menuntut kerahasiaan informasi dan larangan publikasi yang tidak hanya menyangkut soal keamanan, tapi juga komoditas seperti wol, hewan ternak, makanan, dan gandum. Selain itu, ada hampir seribu perintah pengadilan melarang media memberitakan hal tertentu.

Bisa jadi media di Australia kegerahan. Pasalnya, sudah banyak persinggungan yang terjadi antara mereka dan pemegang kekuasaan. Misalnya larangan pengadilan bagi media untuk memberitakan hal tertentu sebagaimana terjadi dalam kasus Williams. Lalu ada kasus wartawan Michael Harvey dan Gerard McManus yang menolak mengungkapkan narasumber saat menulis berita tentang usul pemerintah untuk memangkas tunjangan veteran perang. ”Keduanya lantas didenda A$ 7.000 (sekitar Rp 57 juta),” tulis laporan Moss.

Dan yang tak mudah dilupakan adalah saat surat kabar The Herald Sun menolak membayar A$ 1,25 juta atau sekitar Rp 10 miliar untuk informasi tentang biaya perjalanan politikus yang telah mereka ajukan dua tahun sebelumnya, sesuai dengan UU Kebebasan Informasi. ”Ini gaji seorang pegawai negeri setelah 32 tahun bekerja terus-menerus,” The Age menulis.

Sejauh ini, belum ada tanggapan dari pemerintah—meski, saat laporan Moss sedang dibuat, Jaksa Agung Philip Ruddock sudah mengantisipasinya dengan meminta UU Kebebasan Informasi ditinjau ulang.

Gerakan koalisi ini sendiri bukannya tanpa kritik. David Salter, wartawan paruh waktu yang pernah menjadi pemimpin Media Watch, curiga koalisi ini hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri. Pasalnya, sensor media di Australia bukan hal baru. Sejak 1952, Australia menerapkan sistem D-Notice, sama dengan di Inggris—sang negeri induk. Aturan ini ditujukan langsung kepada pemimpin redaksi agar melakukan sensor sukarela untuk isu-isu yang membahayakan ”kepentingan nasional” seperti pertahanan dan intelijen.

Yang jelas, mahal sekali fulus yang diminta untuk ”kepentingan nasional” seperti biaya perjalanan politikus.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus