Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mata di balik lensa kacamata itu berkaca-kaca. Sehelai saputangan pun menyeka hidung yang berair. ”Setelah mengenakan seragam ini selama 46 tahun, saya ucapkan selamat tinggal kepada Angkatan Darat,” ujar Jenderal Pervez Musharraf pendek.
Rabu pekan lalu, Musharraf, 64 tahun, menyerahkan tongkat komando Panglima Angkatan Darat Pakistan kepada Jenderal Ashfaq Pervez Kayani, 55 tahun, di stadion hoki yang terletak di depan markas Angkatan Bersenjata Pakistan di Rawalpindi. Sejak penyerahan itu, secara resmi Musharraf melepas seragam militer yang membuat suhu politik terus mendidih di Pakistan sejak ia mengkudeta Perdana Menteri Nawaz Sharif pada 1999.
Bagi Musharraf, seragam militer adalah kulitnya yang kedua; berhiaskan selempang biru, sabuk bewarna keemasan, dan belasan medali. ”Angkatan Darat ini adalah hidup saya. Angkatan Darat adalah gairah saya,” katanya. Dengan kesaktian seragam itu pula Musharraf menetapkan keadaan darurat pada 3 November lalu seraya memecat Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry dan enam hakim agung lainnya. Pasalnya, para hakim agung itu diduga akan menganulir keabsahan Musharraf sebagai presiden hasil pemilihan anggota parlemen pada 6 Oktober lalu, karena konstitusi melarang militer aktif menjabat presiden.
Seragam militer itu pula yang membekukan konstitusi dan memberlakukan undang-undang sementara versi Musharraf. Sang jenderal kemudian menunjuk hakim agung baru dan menghasilkan vonis yang menyenangkan Musharraf: menolak semua gugatan hukum atas hasil pilihan parlemen yang menunjuk Musharraf untuk kedua kalinya sebagai presiden. Berbekal putusan mahkamah agung itulah Musharraf berani mencopot seragamnya sehingga bisa diambil sumpahnya sebagai presiden pada Kamis pekan lalu. ”Mulai besok (Kamis pekan lalu—Red.) hubungan (Musharraf dengan Angkatan Darat) akan tetap, tapi saya tak akan mengenakan seragam lagi,” katanya.
Penyerahan tongkat komando militer tertinggi Pakistan itu adalah buah tekanan gerakan oposisi Pakistan yang semakin keras diteriakkan sejak Musharraf memberlakukan keadaan darurat—dalam istilah lain: kudeta kedua Musharraf. ”Tak elok bagi Musharraf tetap menjabat Panglima Angkatan Darat. Ia mengira dirinya segalanya, tak seorang pun yang dapat ikut campur. Dialah sang raja,” ujar Hafiz Wahab, 20 tahun, mahasiswa administrasi niaga di Lahore.
Bahkan sekutu Musharraf di Washington, Amerika Serikat, Presiden George W. Bush, terbelalak ketika sang raja akhirnya mencopot jubah kebesarannya. ”Banyak orang meragukan hal ini akan terjadi,” ujar Bush. Maklum, Musharraf mengingkari janji akan mencopot seragamnya pada 2004. Walau begitu, Bush tak peduli dan tetap menjadikan Musharraf sebagai ”panglima perang” dalam front terdepan perang melawan terorisme di perbatasan Pakistan-Afganistan untuk menghabisi Taliban dan Al-Qaidah yang kini justru mulai bangkit kembali. ”Ia (Musharraf) mengabdi pada Amerika,” kata Hafiz Wahab.
Kini, setelah seragam warna khaki dan berbagai pernik hiasan kekuasaan militer itu tak lagi menutup tubuh Musharraf, sebagian rakyat Pakistan pun bersorak. ”Dia menguasai Angkatan Darat dan kepresidenan. Dia membuat semua keputusan sendirian. Sebagai orang sipil dia tak akan mampu melakukannya,” ujar Siddiq Akbar, kasir di hotel kota Lahore.
Di istana kepresidenan Aiwan-e-Sadr, Islamabad, bekas jenderal itu mengenakan jubah tradisional Pakistan berwarna hitam, sherwani, saat diambil sumpahnya sebagai presiden sipil oleh Ketua Mahkamah Agung yang sebelumnya ia tunjuk, Abdul Hameed Dogar, Kamis pekan lalu. ”Ini adalah tonggak sejarah dalam transisi Pakistan untuk melengkapi dasar demokrasi,” ujar Musharraf. Ia juga menyampaikan ucapan selamat datang pada dua musuhnya dari pembuangan, bekas perdana menteri Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif. ”Ini bagus untuk rekonsiliasi politik,” katanya.
Sinyal rekonsiliasi dengan oposisi memang sudah disodorkan Musharraf dengan kesediaannya berbagi kekuasaan dengan Benazir Bhutto atas dorongan Amerika Serikat. Tapi kesepakatan itu mentah ketika Musharraf memberlakukan keadaan darurat. Musharraf juga melepas ribuan penentangnya yang ditangkap sebelum dan sesudah keadaan darurat diberlakukan. Ia membiarkan sebagian pengacara dan aktivis hak asasi menggelar demonstrasi menentang Musharraf. Ia juga membiarkan Nawaz Sharif kembali ke Pakistan dari tempat pembuangannya, Arab Saudi, Ahad 25 November lalu. Padahal, dalam kepulangannya yang pertama, Nawaz dihadang di bandara dan dipaksa kembali menjadi orang buangan di Arab Saudi.
Setelah kembali, Nawaz Sharif dan Benazir mencoba menggalang kekuatan menghadapi Musharraf. Keduanya menuntut Musharraf mencopot seragam militernya, mencabut keadaan darurat, bahkan Nawaz juga menuntut Musharraf turun dari kursi kepresidenan. Ketika Musharraf mencopot seragam militernya, Benazir masih bisa menampakkan wajah manis. ”Kami menyambut baik keputusan Musharraf melepas seragamnya,” ujar Benazir. Tapi, katanya, Partai Rakyat Pakistan yang ia pimpin tak akan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk menerima Musharraf sebagai presiden. Sebaliknya Nawaz Sharif dengan lugas menolak keabsahan penobatan Musharraf sebagai presiden.
Nawaz berbicara dengan pendekatan hukumnya. Musharraf dalam sumpahnya sebagai presiden menyebut akan menegakkan konstitusi untuk melanggengkan dan melindungi negara Pakistan. Padahal, konstitusi yang disebut Musharraf itu telah ia bekukan sendiri dengan menyatakan keadaan darurat. Konstitusi itu juga menyebutkan, orang yang sedang menjabat militer aktif tidak bisa dipilih sebagai presiden. Padahal, ketika Musharraf terpilih sebagai presiden oleh parlemen, ia masih menjabat Panglima Angkatan Darat. ”Penabalan (Musharraf) tak punya legitimasi, tak ada dasar hukumnya,” ujar Nawaz.
Menurut analis politik, kebuntuan ini sebenarnya bisa diterobos lewat pemilihan anggota parlemen yang direncanakan Musharraf pada 8 Januari tahun depan. Dengan pemilihan anggota parlemen, akan terbentuk parlemen pilihan rakyat dan pada gilirannya partai pemenang pemilu membentuk pemerintahan. Tapi, siapa pula yang percaya pemilihan umum yang bebas dan jujur bisa berlangsung dalam keadaan darurat. Tak berlebihan, gerakan oposisi menuntut Musharraf mencabut keadaan darurat sebelum pemilu berlangsung. ”Seluruh proses pemilu di bawah undang-undang darurat tidak konstitusional,” kata Nawaz.
Sebenarnya, dari kubu Musharraf sudah muncul sinyal bahwa keadaan darurat akan dicabut. Apalagi Presiden George Bush kembali meminta Musharraf mencabut keadaan darurat. ”Saya tidak dapat memberikan tanggal pasti pencabutan keadaan darurat itu, tapi sekarang saya katakan: akan segera dicabut,” ujar Jaksa Agung Malik Muhammad Qayyum. Sebuah janji yang pasti akan terus ditagih.
Meski begitu, Nawaz masih tetap menyerukan partai politik lain memboikot pemilu kelak. ”Memboikot pemilu adalah satu-satunya solusi atas masalah yang dihadapi negeri ini,” ujar Nawaz. Benazir sejauh ini masih menyatakan ikut pemilu, sedangkan partai lain, khususnya partai Islam, juga cenderung ikut pemilu. Menurut Nawaz, jika gagal meyakinkan partai politik lain untuk memboikot, ia pun terpaksa ikut pemilu dan kemudian menyingkirkan Musharraf lewat parlemen.
Dunia politik Pakistan memang lebih terbuka. Tapi keadaan darurat tetap mengganjal, mengancam, dan terus memancing kecurigaan terhadap Musharraf. Ya, Musharraf yang sangat menyayangi kekuasaan, dan tak begitu hirau akan hal-hal di luar itu. ”Setelah mengangkat sumpahnya sebagai presiden delapan tahun lalu, apa yang dia lakukan? Tak ada,” ujar Ali Imran, 30 tahun, mengenai Musharraf.
Musharraf punya banyak musuh. Di Lahore 250 pengacara menggelar demonstrasi, menentang pentahbisan Musharraf sebagai presiden. ”Kami tak menerima Musharraf meski tanpa seragam. Dia harus pergi,” ujar Malik Mohammad Arshad, salah seorang pengacara.
Raihul Fadjri (The Nation, The Dawn, AFP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo