Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>Cina</font><br />Sepuluh Syarat Cinta dari Uighur

Kerusuhan etnis muslim di Cina menghasilkan tokoh sekelas Dalai Lama. Tempo mewawancarai sang pembangkang, Rebiya Kadeer, di Washington.

20 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pekan setelah kerusuhan etnis di ibu kota Urumqi, wilayah otonomi Xinjiang, Cina, Direktur Festival Film Internasional Melbourne Richard Moore diprotes atase budaya Cina di Melbourne, Chen Chun Mei. Chen mendesak Moore menarik film berjudul Sepuluh Syarat Cinta dari agenda festival. Tapi Moore menolak desakan itu. ”Saya katakan tidak ada alasan kenapa film itu harus ditarik dari festival ini,” ujar Moore, Kamis pekan lalu.

Maklum, film itu berkisah tentang kehidupan Rebiya Kadeer, pemimpin Kongres Uighur Dunia di pengasingan yang memperjuangkan kemerdekaan Uighur dari Cina. Film yang dibuat oleh sutradara Melbourne, Jeff Daniels, itu akan diputar pada 8 Agustus, yang akan dihadiri oleh Rebiya. Tapi Moore tak bisa menjawab pertanyaan Konsul Chen, kenapa film itu harus diputar dalam festival ini. ”Saya tidak perlu mencarikan alasan untuk membenarkan kenapa film itu diputar,” kata Moore, yang kemudian menutup pembicaraan lewat telepon itu dengan Chen.

Pemerintah Beijing menuduh Rebiya Kadeer dan organisasinya, Kongres Uighur Dunia, yang bermarkas di Washington, DC, Amerika Serikat, sebagai biang keladi kerusuhan yang menyebabkan 192 orang tewas, 1.721 luka, 331 kedai dan 627 mobil hangus. Menurut pemerintah Cina, sebagian besar korban adalah etnis Han, yang merupakan etnis pendatang di wilayah Xinjiang. Tapi ibu 11 anak ini membantah. ”Saya berjuang untuk hak asasi dan untuk penentuan nasib sendiri rakyat Uighur,” kata Rebiya kepada Atria Rai, koresponden Tempo di Washington, DC.

Rebiya yang telah berusia 62 tahun kini menjadi bintang dalam isu separatisme Cina, bersanding dengan tokoh perlawanan Tibet Dalai Lama. Bahkan koran pemerintah Cina, Harian Rakyat, menjuluki Rebiya sebagai ”Dalai Lama Uighur”.

Rebiya adalah bekas tukang cuci yang berhasil menjadi salah seorang perempuan pengusaha terkaya di Cina. Ia mengelola 1.000 program keluarga ibu rumah tangga yang membantu perempuan Uighur menjalankan usaha. Penduduk Uighur mengenalnya sebagai miliuner.

Kariernya sebagai pengusaha moncreng sehingga bisa menembus elite politik di Ibu Kota Beijing. Ia ditunjuk sebagai anggota Konferensi Konsultasi Politik Rakyat Cina. Ia bahkan dikirim sebagai salah satu delegasi konferensi PBB tentang perempuan pada 1995.

Tapi nasibnya berubah ketika suaminya yang juga aktivis Sidik Rouzi kabur ke Amerika Serikat pada 1996. Sidik dijebloskan ke penjara karena kampanye melawan perlakuan terhadap etnis Uighur, yang merupakan separuh populasi Provinsi Otonomi Xinjiang. Paspor Rebiya dirampas. Ia dijebloskan ke penjara pada Agustus 1999, ketika akan bertemu dengan delegasi Kongres Amerika untuk mengadukan nasib tahanan politik di Xinjiang. Dakwaannya: membahayakan keamanan nasional. Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan rakyat di Urumqi pada 10 Maret 2000.

Ia mendekam dalam penjara selama enam tahun, dan dibebaskan pada 2005 dengan alasan kesehatan. Tapi dalam memoar berjudul Dragon Fighter (Kales Press) yang terbit pada Mei lalu, Rebiya menyebut ia bebas setelah Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice campur tangan. Ia disekap dalam penjara berukuran 2,5 meter persegi, dan pernah diminta berteriak ”kami tak ingin berpisah dari Cina” sebanyak 50 kali. Pengalaman dari dalam penjara inilah yang membikin Rebiya kian gigih melawan pemerintah Cina.

Rebiya kemudian pindah ke Virginia, Amerika Serikat. Beberapa keluarganya masih di Xinjiang, bahkan dua anaknya masih meringkuk dalam penjara. Dari Virginia itu ia mengelola Kongres Uighur Dunia dan Asosiasi Uighur Amerika untuk memperjuangkan nasib etnis Uighur di Cina. Untuk itu ia sempat dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian pada 2006.

Setelah kerusuhan di Urumqi tersebut, Rebiya menemui komisi pemerintah untuk kebebasan beragama agar mendorong pemerintah Amerika menjatuhkan sanksi pada Cina. Rebiya menuduh Cina menggunakan kekerasan yang menimbulkan korban untuk menghentikan protes damai etnis Uighur. ”Anda dapat membandingkannya dengan pembantaian di Lapangan Tiananmen,” ujar Rebiya.

Setelah Dalai Lama, kini Rebiya muncul, membuat pemerintah Beijing makin direpotkan dengan isu separatisme.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus