Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalibata Residences bukan bangunan kecil, yang nantinya bisa disembunyi kan di antara gedunggedung jangkung. Bangunan itu merupakan proyek rumah susun hak milik (rusunami) sepuluh menara di atas tanah 2,24 hektare di Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata No. 1, Jakarta Selatan. Proyek tersebut diresmikan Menteri Perumahan Rakyat Mohammad Yusuf Asyari dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, karena memang menjadi bagian dari rencana nasional pembangunan 1.000 menara rumah susun.
Tragisnya, proyek yang dibangun di Ibu Kota negara ini sempat disegel pada akhir Maret lalu oleh Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta. Garagaranya, perusahaan pengembang bangunan yang akan berdiri di atas tanah bekas pabrik sepatu Bata itu belum melengkapi izin mendirikan bangunan. Menurut Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan, Hari Sasongko, pengembang hanya memiliki surat izin pemanfaatan penggunaan tanah. Padahal, untuk membangun rumah susun, pengembang harus juga memiliki rencana tata bangunan dan lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan analisis dampak lingkungan.
Semua itu merupakan peraturan baku yang wajib dipatuhi sebelum menjalankan proyek. Apalagi untuk proyek sebesar dan sepenting itu, sudah seharusnya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Menurut Hari, bila rumah susun Kalibata Residences selesai dibangun dan dihuni semuanya, akan ada tambahan sekitar 20 ribu orang penduduk di kawasan itu. Dengan tambahan penghuni sebanyak itu, daya dukung lingkungan yang tersedia di kawasan itu, seperti jalan raya, saluran drainase, dan pasokan air bersih, tidak mencukupi.
Perizinan akhirnya turun pada pertengahan Mei lalu. Namun kejadian tersebut menunjukkan bahwa ”izin” belum menjadi mekanisme yang dipahami dan dituruti setiap orang. Itulah yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan peruntukan wilayah. Seperti dikatakan arsitek lanskap Nirwono Joga, sekitar 80 persen pembangunan tak sesuai dengan tata ruang (lihat kolom ”Agar Jakarta Menjadi Habitat Hijau”).
Menurut Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Nainggolan, izin menjadi syarat penting karena merupakan alat kontrol pembangunan agar selaras dengan rencana tata ruang kota. Jika soal izin diabaikan serta pemerintah tidak tegas menertibkan penyimpangan atau malah membiarkannya wajah Jakarta akan rusak dan semua fungsi kota berantakan karena daya dukung tidak sesuai dengan penggunaan. ”Yang merusak Jakarta adalah pemodal dan aparat pemerintah daerah,” kata Azas Tigor.
Pernyataan Tigor memang keras. Namun, warga kebanyakan pun tahu bahwa izin pembangunan itu bukan aturan main yang baku. Contoh yang besar adalah kawasan Kemang. Sudah banyak ditulis di berbagai media betapa amburadulnya kawasan di Jakarta Selatan tersebut. Maklum, menurut rencana tata ruang dan wilayah yang berlaku, peruntukan kawasan Kemang adalah daerah permukiman, bukan komersial. Tapi membenahinya sama sekali tidak mudah. Pengembangan yang tak sesuai dengan patokan mengakibatkan kemacetan kronis di sana.
Seperti kata Kepala Dinas Tata Kota Jakarta, Wiryatmoko, persoalan tata ruang Kota Jakarta tak semudah membangun dalam ruang atau lahan yang kosong. ”Kondisinya sudah ada seperti ini. Maksudnya, kami mau merencanakan, tapi orang sudah penuh sesak. Jadinya, ketika mau diremajakan, realisasinya sulit,” ujarnya.
Maklum, luas wilayah Jakarta tetap sama, sekitar 650 kilometer persegi, namun jumlah penduduk meledak dua kali lipat. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 20102030 (yang sedang diselesaikan pemerintah daerah) diperkirakan target penduduk 12,5 juta jiwa, sedangkan dalam Rencana Induk 19651985, yang merupakan masterplan pertama Jakarta, penduduk baru 6 juta jiwa. Tapi, tetap saja, pemerintah daerah Jakarta berkewajiban membuat rencana tata ruang wilayah, karena itu merupakan salah satu elemen dari pengaturan kota sebagai tempat hidup bersama.
Nah, masalahnya, masterplan Jakarta tidak pernah terlepas dari tanda tanya. Dalam rencana pertama 19651985, misalnya, Jakarta sudah memiliki konsep ruang terbuka hijau bagus, yaitu green belt semacam ruang terbuka hijau yang melingkari kota ini. Namun, dalam rencana selanjutnya: 19852005, konsep ini hilang. Bahkan soal penanganan banjir dan pembuatan drainase sudah tidak lagi menjadi prioritas utama bagi kota yang secara geografis terletak di dataran rendah dan dilewati 13 sungai ini. Dalam rencana tata kota 19852005, prioritas ada pada pembangunan kawasan untuk menggerakkan roda perekonomian. Perkembangan kawasan baru seperti Kelapa Gading dan Pantai Indah Kapuk terjadi pada masa itu.
Keanehan berlanjut. Pada 2000, lima tahun sebelum masa rencana tata kota habis, pemerintah DKI Jakarta meluncurkan masterplan 20002010. Ada masa lima tahun (20002005) yang dikoreksi pada rencana tata kota 20002010. Namun, rencana tata ruang wilayah yang sekarang, yaitu 20102030, malah terlambat muncul. Hingga lewat pertengahan Juli dan hampir berakhirnya masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 20042009, belum ada rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang baru.
Menurut jadwal, masterplan baru itu seharusnya sudah selesai dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta pada akhir Juni 2009. Kenyataannya, menurut Wakil Ketua Komisi D Bidang Pembangunan DPRD Jakarta, Muhayar, belum ada. ”Nanti, kami serahkan ke anggota legislatif yang baru terpilih,” kata wakil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Menurut dokumen yang didapat Tempo, RTRW 20102030 dijadwalkan oleh pemerintah masuk pembahasan Dewan pada JuliAgustus dan selesai pada SeptemberOktober 2009. Namun, berdasarkan wawancara Tempo dengan Kepala Dinas Tata Kota Jakarta Wiryatmoko dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Jakarta Nurfakih Wiriawan, tampaknya tenggat masterplan 20102030 pada masa jabatan Dewan yang sekarang akan terlewati.
Lalu, bagaimana Jakarta akan direncanakan 20 tahun mendatang? Menurut Nurfakih, pengembangan Ibu Kota akan bertumpu pada pola transportasi terpadu, yang disebut mass rapid transportation, mulai dari kereta api yang menghubungkan daerah sekitar Jakarta, monorail, dan busway. ”Pembangunan permukiman terkonsentrasi di tempattempat tertentu, membentuk struktur baru Kota Jakarta, berbasis pada backbone transportasi, mengikuti pola transportasi massal tersebut,” tuturnya.
Pusat pola transportasi terpadu yang dihubungkan dengan pejalan kaki dan pengguna sepeda itu nantinya berada di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Selatan. Sedangkan untuk lalu lintas pribadi dan barang, menurut Wiryatmoko, dibuat jalan susun yang menghubungkan pusat bisnis penting di Jakarta, seperti Sentra Primer Tanah Abang, Senen, Roxy, dan Pulogadung.
Sedangkan untuk pembangunan yang lebih terkontrol, dibuat pola rancangan pembangunan per kawasan, yang utuh dan serasi. Dia menunjuk contoh Sudirman Centre Business District, di atas tanah 40 hektare. Gedung tak sekadar berupa bangunan individual, tapi terhubung pedestrian, sehingga terbentuk akses lebih baik di antara bangunan satu dan lainnya. Lingkungan juga terintegrasi, sehingga pergerakan orang, barang, dan kendaraan lebih efisien. Kawasan Senen, Kemayoran, Glodok, Mangga Dua, Muara Angke, Kuningan, Blok M, akan mengikuti model seperti itu.
Menurut Nurfakih, langkah terobosan ini dilakukan karena sulit menata Jakarta secara keseluruhan. Kawasan akan menjadi multiguna: komersial, permukiman, fasilitas rekreasi. ”Prinsipnya, orang enggak perlu ke manamana. Lagi pula, menata kelompok demi kelompok, segmen demi segmen, itu bisa terkendali,” ujarnya.
Dalam rencana 20102030 nanti juga tercantum pengendalian banjir dengan penyelesaian proyek Kanal Banjir Timur, penataan sungai dan waduk, reklamasi pantai utara Jakarta, dan pembangunan kawasan ekonomi khusus Marunda untuk menggantikan Pelabuhan Tanjung Priok. ”Bahkan kami merencanakan pembangunan dam sepanjang 40 kilometer dari Banten sampai Bekasi, seperti Kota Petersburg di Rusia,” kata Gubernur Fauzi Bowo.
Ruang terbuka hijau dalam masterplan baru nanti tetap dipertahankan 13,94 persen dari total wilayah Jakarta, meliputi hutan kota, hutan lindung, median jalan, bantaran sungai, makam, lapangan olahraga, taman, dan lainnya. Untuk ruang terbuka hijau, menurut Wiryatmoko, bila diperhitungkan dengan ruang terbuka privat yang terdapat dalam setiap pekarangan perumahan dan peruntukan lainnya melalui penetapan kewajiban penyediaan lahan hijau, akan diperoleh tambahan 20 persen. ”Dengan demikian luas total ruang terbuka hijau yang direncanakan dapat mencapai lebih dari 30 persen. Lebih besar dari syarat perundangundangan,” ujarnya.
Dalam Pasal 29 ayat 2 UndangUndang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 disebutkan, ruang terbuka hijau di sebuah kota paling sedikit 30 persen dari wilayah kota. Menurut Wiryatmoko, nantinya perencanaan tata ruang Jakarta menganut visi ”hidup harmonis berdampingan dengan air”, dengan membuat room for river dan room for water. ”Sekarang, kalau ada orang punya tanah lima sampai sepuluh hektare mau bikin perumahan, kami akan minta dibikinkan danau 10 persen. Karena undangundang mengamanatkan begitu,” katanya.
Ya, kita tunggu saja bentuk fisik Rencana Tata Ruang Wilayah 20102030 yang sah. Lalu, kita lihat saja bagaimana konsistensi pemerintah menerapkan rencana yang keren itu.
Ahmad Taufik, Agung Sedayu, Harun Mahbub, dan Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo