Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Libanon tak pernah sepi dari amarah. Tapi tidak di hari itu. Beirut, Ahad dua pekan lalu, berubah menjadi sukacita. Penduduk menyalakan kembang api untuk merayakan putusan parlemen, yang dengan suara mayoritas—118 suara dari 128 anggota—memilih Michel Suleiman sebagai Presiden Libanon. ”Ini saat yang bersejarah,” ujar Ketua Parlemen Nabih Berri.
Esoknya, presiden baru itu disambut 21 pasukan kehormatan bersenjata dan drum band militer di istana kepresidenan di kawasan perbukitan di tepi Kota Beirut. ”Saya mohon kepada Tuhan semoga Anda berhasil mengemudikan kapal Libanon ini ke surga yang damai,” ujar Berri, yang juga pemimpin oposisi. ”Hari ini tak satu pun negara di dunia dapat menjungkirkan Libanon menjadi ladang pembantaian.”
Suleiman, 59 tahun, terpilih untuk mengakhiri konflik berdarah antara faksi Syiah, Sunni, dan Kristen. Pemilihan ini merupakan bagian dari kesepakatan yang dicomblangi pemerintah Qatar untuk mengatasi krisis yang mendorong Libanon ke dalam perang sipil. Saat itu, Hizbullah menduduki beberapa bagian Kota Beirut dan membuat kocar-kacir milisi pendukung pemerintah. Sedangkan kursi presiden sudah lama kosong setelah Emile Lahoud menyelesaikan masa jabatannya November tahun lalu.
Parlemen pun bersidang mencari tokoh yang dinilai paling independen. Presiden baru itu harus mendapat restu kelompok Hizbullah dukungan Iran, yang posisi politiknya makin kuat setelah memperoleh hak veto atas kebijakan pemerintah. Pilihan pun menguncup pada nama Suleiman, anggota militer penganut Kristen Maronit. Kebetulan pula Suleiman mendapat restu Presiden George Bush.
Kendati direstui Hizbullah, bukan berarti Suleiman pro-Iran atau Suriah, sebagaimana pendahulunya. Suleiman dikenal sebagai anggota militer yang mempertahankan sikap netral di antara faksi yang bertikai. Sebagai pemimpin tertinggi militer Libanon, ia menjaga agar 56 ribu anggota militer tak ikut campur dalam pertikaian politik. Ia berprinsip: abaikan politik, dengarkan panggilan tugas. Sikap tegas menjaga netralitas itulah yang membuat Perdana Menteri Fuad Siniora, yang didukung Barat, dan pemimpin Hizbullah, Syekh Hassan Nasrallah, yang didukung Iran, menghormatinya.
Suleiman lahir di Kota Amshit pada 1948. Ayah tiga anak ini memperoleh gelar sarjana ilmu politik dan administrasi dari Universitas Libanon. Tapi ia memilih militer, dan kariernya menanjak saat Suriah mencengkeram pengaruhnya di Libanon. Pada pertengahan 1990-an, Suleiman memimpin brigade infanteri dalam konfrontasi berdarah dengan pasukan Israel di Libanon Selatan.
Ketika Emile Lahoud, panglima militer Libanon, menjabat presiden pada 1998, Suleiman terpilih menggantikannya dengan restu Suriah. Saat itulah terjalin kerja sama militer Libanon dengan milisi Hizbullah menghadapi pendudukan Israel di Libanon Selatan. Pasukan Israel hengkang dari wilayah itu pada 2000.
Suleiman mulai menjaga jarak dengan Hizbullah setelah ia menempatkan militer Libanon di sepanjang perbatasan seusai pertempuran habis-habisan Hizbullah-Israel pada 2006. Ia juga menolak melibas demonstrasi besar kelompok anti-Suriah, yang menguasai Beirut pada 2005 setelah kematian Perdana Menteri Rafik Hariri. Gelombang demonstrasi itu memaksa Suriah hengkang dari Beirut. Menurut analis politik, sikap Suleiman ini mengukuhkan sikap independennya terhadap pengaruh Suriah.
Dua tahun kemudian, militer Libanon menggelar operasi menumpas anggota militan Al-Qaidah di kamp pengungsi Palestina di Nahr al-Bared. Empat bulan pertempuran itu memakan korban 420 orang tewas, termasuk 170 anggota militer Libanon. Tapi militer Libanon berhasil menangkap anggota Al-Qaidah.
Pada akhir operasi militer itu, gambar Jenderal Suleiman menghiasi baliho di jalanan Kota Beirut, dengan tulisan: ”Atas perintahmu.” Sejak itu, ia berhasil merebut hati faksi yang bertikai. ”Peran militer adalah memelihara perdamaian dan stabilitas negeri ini, dan bukan mengacaukan politik,” ujar Suleiman. Bagi Suleiman, melibatkan militer dalam konflik politik internal justru menguntungkan kepentingan Israel.
Menurut analis politik Paul Salim, sebagai presiden, Suleiman diharapkan memelihara peran gemulai untuk menghindarkan negeri itu dari perpecahan. ”Ia akan menjadi seorang manajer krisis,” ujar Salim.
Di hadapan anggota parlemen, setelah disumpah sebagai presiden, Suleiman menyerukan persatuan. ”Kita telah membayar mahal persatuan nasional kita. Mari kita pertahankan bersama,” ujarnya.
Raihul Fadjri (BBC, Time, AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo