Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang hidupnya, Raja Gyanendra Bir Bikram Shah Dev selalu dihantui ramalan. Rakyat Nepal mengenalnya sebagai orang yang menjunjung tinggi mitologi Hindu dan amat terobsesi pada ramalan astrologi.
Tersebutlah saat Gyanendra lahir pada Juli 1947, seorang ahli nujum kerajaan melarang Putra Mahkota Mahendra dan Putri Indra melihat wajah anak keduanya itu dengan alasan ”bisa memberikan peruntungan buruk”. Gyanendra pun ”dibuang”. Neneknya, yang tinggal di luar Kathmandu, ibu kota kerajaan, kemudian merawatnya.
Kini raja 29,5 juta penduduk Nepal itu mengalami pembuangan yang jauh lebih menyakitkan: ia dipecat rakyatnya sendiri. Rabu pekan lalu, 560 dari 601 anggota Majelis Rakyat yang dikuasai kelompok berhaluan Mao bersepakat menghapus Kerajaan Nepal dan menggantinya dengan republik federal demokratik. Raja mendapat ultimatum meninggalkan istana dalam waktu 15 hari. ”Istana akan dijadikan museum nasional,” ujar Menteri Dalam Negeri Umesh Mainali.
Ribuan orang turun ke jalan. ”Tar, ter, tor!” riuh petasan ramai menyala. Orang berseru-seru gembira seraya melambaikan bendera merah berlambang palu arit ditingkahi klakson mobil dan motor. Sesekali mereka mencemooh Raja Gyanendra.
Sehari kemudian, petugas istana menurunkan bendera merah dengan lambang singa—lambang Dinasti Shah selama 239 tahun—dari pucuk istana. Bendera nasional Nepal dikerek. ”Ini tanda bahwa Nepal kini sudah menjadi republik,” kata petugas itu, seperti dikutip AP.
Menteri Mainali mengatakan sang Raja belum mau meninggalkan istana. Menantunya telah pindah ke rumah pribadinya di sebelah utara Kota Kathmandu pada Kamis malam. Seorang pekerja lain mengatakan Gyanendra sedang bersiap-siap kembali ke Nirmal Niwas, rumah pribadi lamanya yang luas, yang dikelilingi dinding tebal, di ibu kota. Bersama sang Raja, akan turut serta Ratna, ibu tiri Gyanendra, yang masih tinggal di paviliun istana.
Keputusan parlemen tersebut menamatkan riwayat kerajaan yang dibangun dengan susah payah oleh Prithvi Narayan Shah di kaki gunung Himalaya itu. Prithvi dikenal sebagai pemersatu Nepal di Lembah Kathmandu dan dinastinya terentang sepanjang dua setengah abad.
Masuknya nama Gyanendra ke dalam orbit para Raja Nepal dimulai justru ketika ia ”dibuang” dari istana semasa bayi. Ayahnya, Mahendra; kakeknya yang raja, Tribuvhan; dan ahli waris takhta yang lain kabur ke India akibat perseteruan politik dengan Perdana Menteri Mohan Shamsher Jang Bahadur Rana. Rana membawa Gyanendra kecil, tiga tahun, kembali ke Kathmandu dan menahbiskannya sebagai raja.
Konflik mereda dan kesepakatan dicapai dalam tiga bulan. Tribuvhan kembali ke posisinya. Status raja Gyanendra dicabut. Bagaimanapun, dia anak kedua Mahendra, yang saat itu belum menjadi raja. Dia adalah adik Birendra, yang lebih berhak menjadi putra mahkota.
”Ini takdir yang ironis,” kata Satyabrata Rai Chowdhuri, profesor emeritus University of London, dalam tulisannya di The Hindu, harian nasional India. Dia menuliskan hal itu tatkala Gyanendra ditahbiskan sebagai raja pada 4 Juni 2001. Gyanendra mendadak memegang kekuasaan setelah tiga hari sebelumnya, kakaknya, Raja Birendra; Ratu Aiswarya; dan tiga anaknya tewas dalam serentetan tembakan di Istana Narayanhiti.
Penembakan ini diduga dilakukan oleh Putra Mahkota Dipendra, yang ikut tewas saat itu. Alasannya, orang tuanya melarang dia menikahi calon istri idamannya, Devyani Rana. Devyani adalah cicit Perdana Menteri Rana, yang menahbiskan Gyanendra sebagai raja mendadak sewaktu ia masih di bawah lima tahun.
Alih-alih menikmati hidup sebagai raja, Gyanendra justru mewarisi masalah dari kakaknya. Pemberontakan kelompok komunis berhaluan Mao yang dimulai sejak 1996 semakin menggila. Target mereka adalah menggulingkan raja, menggantinya dengan kekuasaan rakyat. ”Gyanendra justru dibaptis dengan senjata,” BBC mengomentari letupan konflik yang terjadi tak lama setelah dia naik takhta.
Setidaknya 13 ribu orang tewas dan puluhan ribu mengungsi. Menjelang konflik berakhir pada 2005, sebagian besar wilayah pinggiran telah dikuasai pemberontak. Ibu Kota Kathmandu berulang kali mendapat serangan bom. Jalan-jalan diblokade.
Gyanendra, yang tak punya pengalaman memimpin, bingung. Ia tak punya strategi apa pun selain membubarkan pemerintah pada Oktober 2002. Setahun kemudian, ia menetapkan kondisi darurat dan mengirim tentara untuk menggilas pemberontak di daerah setelah negosiasi damai bubar. ”Pemerintahan sipil gagal memerangi pemberontak Mao,” katanya. Dengan kata lain, ia mengangkangi keputusan kakaknya, Birendra. Pada 1991, Birendra menghapus Nepal dari sistem absolut monarki, mengangkat perdana menteri, dan menggelar pemilu.
Konflik tak kunjung reda. Gyanendra terus menjadi bulan-bulanan kelompok Mao, yang tak henti melancarkan serangan. Pada Januari 2003, kelompok Mao menghabisi pemimpin polisi Lokendra Dhwaj Chhetri dan istrinya yang sedang jalan pagi. Gyanendra kembali menyalahkan pemerintahan sipil. ”Kerajaan bukan lagi masanya sekadar jadi pajangan,” katanya ketika itu. Gyanendra sempat bolak-balik menunjuk perdana menteri sebelum mengambil kontrol penuh lagi pada Februari 2005.
Inilah antiklimaksnya. Gyanendra menghadapi tudingan antidemokratik dari berbagai pihak. Amerika Serikat, Inggris, dan India menghentikan bantuan ke angkatan bersenjata Nepal. Bantuan kemanusiaan sempat disetop. Setelah berminggu-minggu dihantam gelombang demonstrasi hingga ratusan ribu orang di luar Istana Narayanhiti, Gyanendra menyerah. Ia menyerahkan kembali kekuasaan pada April 2006.
Di luar dugaan, justru kelompok Mao keluar dari persembunyian dan bersedia melakukan negosiasi. Serangkaian negosiasi yang dilakukan Prachanda, pemimpin kelompok Mao, dan Perdana Menteri Girija Prasad Koirala berhasil membentuk pemerintah sementara. Sedikit demi sedikit pemerintah baru itu menggerogoti kekuasaan Gyanendra. Ia dicopot dari posisi sebagai panglima tentara kerajaan. Wajahnya tak lagi muncul di uang kertas—digantikan gambar Gunung Everest. Berbagai rujukan kepada raja di lagu kebangsaan, istilah Yang Dipertuan Agung Pemerintah Nepal, serta Tentara Kerajaan Nepal dihapus.
Partai bentukan kelompok Mao dan koalisinya memenangi pemilu pada April lalu. Nepal kemudian ditetapkan bukan lagi sebagai kerajaan Hindu, melainkan negara berpaham sekuler. Tak ada lagi yang membela Gyanendra. ”Kita memasuki era baru. Seluruh negeri memimpikan hal ini,” kata Perdana Menteri Koirala.
Lalu apa yang akan terjadi dengan demokrasi di Nepal? Entitas yang merobohkan kerajaan Rabu pekan lalu itu adalah sebuah lembaga superbodi. Inilah parlemen yang dianggap paling mewakili masyarakat Nepal yang amat heterogen: sepertiganya perempuan. Alhasil, kini Nepal berada di posisi 14 bagi negara yang punya perwakilan perempuan terbanyak di parlemen.
Dalam usia yang baru dua tahun, lembaga ini harus bisa menulis ulang konstitusi dan menunjuk presiden. Diperkirakan, Koirala, 84 tahun, akan mengisi posisi ini. ”Koirala paling mungkin mendapat posisi itu,” kata Damakant Jayshi dari Kathmandu Post. Posisi perdana menteri hampir pasti jatuh ke tangan Prachanda, pemimpin kelompok Mao. Bahkan Koirala sudah pernah memintanya membentuk pemerintahan.
Koirala dan Prachanda mungkin akan menjadi orang paling berkuasa di Nepal nanti. Sedangkan Gyanendra, yang mengaku sebagai titisan Dewa Wisnu, berubah status menjadi warga negara biasa yang mesti membayar pajak. Tak ada lagi keistimewaan berupa anggaran kerajaan. Yang tersisa adalah segelintir bisnis pribadi: sebuah hotel di Kathmandu, perkebunan teh di wilayah timur, dan pabrik rokok. Selebihnya: kenangan masa lalu yang buruk dan menempuh masa depan sebagai orang biasa.
Kurie Suditomo (BBC/AP)
Dinasti Shah Cukup Sekian
Prithvi Narayan Shah, kakek moyang Gyanendra, menyatukan penghuni Lembah Kathmandu. Ia menyebut negara bentukannya sebagai Nepal, yang mulai dihitung usianya pada 12 Desember 1768. Di tangan Gyanendra, kekuasaan sepanjang dua setengah abad lebih itu tamat. Berikut ini rentang kekuasaan dinasti tersebut.
1559-1570: Dravya Shah berkuasa di wilayah Gorkha, India Utara.
1723: Prithvi Narayan Shah, generasi kesembilan Dravya, lahir.
1743: Prithvi menjadi raja menggantikan ayahnya, Nara Bhupal Shah.
1744-1756: Menguasai wilayah Nuwakot dan Kuti Pass, menghentikan perdagangan Lembah Kathmandu dengan Tibet.
1768: Mendirikan Nepal dan menjadikan Kathmandu ibu kota.
1775: Meninggal pada usia 52 tahun. Kerajaan Prithvi meluas mencapai lebih dari sepertiga wilayah Nepal sekarang.
1775-1777: Pratap Singh Shah menjadi raja.
1777-1799: Rana Bahadur Shah menjadi raja pada usia dua tahun. Di masanya, wilayah Nepal bertambah.
1799-1816: Girvan Yuddha Bikram Shah Deva menjadi raja. Perang Inggris dan Nepal terjadi.
1816-1847: Rajendra Bikram Shah menjadi raja. Di bawah Rajendra, perselisihan antarkeluarga terjadi, berujung pada Pembantaian Kot tahun 1846. Hampir seratus anggota kerajaan tewas. Kekuasaan diambil alih oleh Perdana Menteri Jung Bahadur.
1847-1881: Surendra Bikram Shah menjadi raja. Anak Surendra, Trilokya, menikahi dua anak Jung.
1881-1911: Anak Trilokya, Prithvi Bir Bikram Shah, menjadi raja.
1911-1955: Tribuvhan Bir Bikram Shah menjadi raja. Kekuasaannya dibayangi oleh Mohan Shamsher Jang Bahadur Rana di posisi perdana menteri.
1955-1972: Mahendra Bir Bikram Shah menjadi raja. Menolak demokrasi parlementer. Ia melarang kelompok oposisi pada 1960-an.
1972-2001: Birendra Bir Bikram Shah menjadi raja. Ia menghapus absolut monarki dan mengadakan pemilu. Tewas di tangan anak sendiri.
2001-2008: Gyanendra Bir Bikram Shah menjadi raja, menggantikan kakaknya. Ia gagal menangani pemberontakan Mao dan kalah di parlemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo