Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilannya bak musisi reggae. Rambut gimbal panjang melewati bahu, kaus polo hitam dibalut jaket kulit sewarna, dan celana jins biru pudar. Logat Inggrisnya terdengar sekental orang Inggris. Yang membedakan lelaki itu dengan loyalis Bob Marley adalah bingkai wajah Timur Tengah yang tegas. Belum lagi nama keluarganya yang mengalahkan merek produk terpopuler mana pun sejak tujuh tahun terakhir: Bin Ladin.
Inilah sang junior, Bin Ladin gimbal ini baru 26 tahun umurnya, tapi sorot matanya setajam Usamah sang ayah. ”Saya berharap ayah saya dan Presiden George Bush bisa duduk bersama dan saling bicara,” ujar Omar bin Ladin, putra keempat dari 19 anak Usamah, dalam acara Today yang dipancarkan satelit dari Kairo, Selasa pekan silam.
Menurut Omar, pertemuan itu bisa terjadi jika difasilitasi para pemimpin dunia dan pemuka agama. ”Saya ingin menggunakan nama saya sebagai duta perdamaian antara Islam dan Barat,” ujarnya. Dalam wawancara itu Omar ditemani sang istri, Zaina Alsabah, 52 tahun, perempuan Inggris yang sebelumnya dikenal sebagai Jane Felix-Browne.
Pewawancara Omar, Matt Lauer, meragukan kedua nama itu bisa bertemu di satu meja. Dengan tangkas Alsabah membantu suaminya, memberikan contoh tentang Gerry Adams, pemimpin kelompok Sinn Fein, yang selama 30 tahun sempat tak akur dengan pemerintah Inggris, tapi sekarang menjadi anggota parlemen. ”Gerry Adams pernah disebut sebagai teroris,” ujar Alsabah. ”Tentara Republik Irlandia (IRA) pernah membunuhi banyak orang, tapi mereka bisa duduk dan bicara. Mengapa hal itu mustahil bagi Usamah?”
Sejak menikah dengan Alsabah tahun lalu, Omar terlihat agresif merintis jalan bagi penerimaan dunia Barat terhadap sang ayah yang sudah delapan tahun tak ditemuinya. Dalam wawancara dengan Associated Press beberapa hari sebelumnya, Omar mengungkapkan idenya tentang cara yang lebih baik untuk mempertahankan Islam ketimbang menggunakan militansi Al-Qaidah lewat sebuah pacuan kuda sejauh 3.000 mil melintasi Afrika Utara untuk mempromosikan perdamaian. ”Banyak orang berpikir bahwa orang Arab, apalagi kalau sudah bernama Bin Ladin, khususnya lagi anak-anak Usamah, sudah pasti para teroris. Itu tidak benar,” ujarnya.
Tak jelas apakah ide muncul di televisi itu murni dari keinginan Omar atau dorongan dari sang istri. Pernikahan mereka, April tahun lalu, yang menjadi bulan-bulanan media di Inggris yang memberikan judul ”seorang nenek yang menikahi putra Usamah bin Ladin”, justru membuat Omar semakin sering tampil di depan publik dengan sang istri yang berusia dua kali lebih tua, pernah lima kali menikah, dan memiliki lima cucu.
Sebagai anak Usamah, Omar pernah menjalani latihan kemiliteran di Sudan ketika ia masih berusia belasan tahun dan Usamah pun masih tinggal di Khartoum. Ketika pemerintah Sudan meminta para petinggi Al-Qaidah keluar dari negeri mereka pada 1996, Omar mengikuti sang ayah masuk ke Afganistan. ”Tahun 2000 saya putuskan keluar dari Afghanistan dan kembali ke Arab Saudi menjadi pengusaha,” ungkapnya.
Pilihan Omar untuk menjadi pengusaha merupakan pilihan kebanyakan anak-anak Usamah mengingat besarnya imperium perusahaan properti warisan ayah mereka. Salah seorang yang paling menonjol adalah Yeslam bin Ladin yang membagi waktunya antara Jenewa dan Paris. Konon, dalam kehidupan rumah tangganya dengan seorang putri bangsawan Iran, Mirdoht-Sheybani, mereka menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa percakapan.
Ada juga putra-putra Usamah yang mewarisi darah militannya seperti Hamzah dan Saad, yang mempunyai peran aktif di Al-Qaidah. Hamzah bertanggung jawab atas wilayah operasi di perbatasan Pakistan-Afghanistan, sedangkan Saad di Iran. Kanal televisi PBS menyatakan, saat ini Saad sedang berada di penjara Iran dengan menyebutkan sumber informasi mereka berasal dari intelijen Prancis.
Berbaliknya sikap Omar dari seorang calon militan menjadi pengusaha tak disertai perubahan pandangannya terhadap sang ayah. Di mata Omar, Usamah sama sekali bukan teroris. Yang dilakukannya hanyalah untuk membela Islam. ”Ayah saya selalu bilang bahwa dia bertanggung jawab untuk membela bangsa Arab dan menghentikan siapa pun yang ingin melukai orang-orang Arab atau muslim mana pun di seluruh dunia,” katanya sembari mencontohkan bahwa Barat tak pernah mempermasalahkan peran aktif ayahnya saat bertempur melawan Rusia di Afganistan pada 1980-an.
Saat ditanya Lauer, mengapa ia begitu bersemangat untuk mempertemukan ayahnya dengan Bush, Omar menjelaskan bahwa ia melakukan itu ”bukan untuk ayah saya, bukan pula untuk Presiden Bush, melainkan untuk rakyat sipil yang mati setiap hari”. ”Beberapa di Palestina, beberapa di Irak, beberapa di Afghanistan. Mengapa, mengapa, mengapa harus warga sipil yang mati?”
Omar yakin sebuah gencatan senjata antara Barat dan Al-Qaidah bisa terlaksana. Saat ini Usamah bin Ladin diperkirakan berada di wilayah perbatasan Pakistan-Afghanistan. Dan, tak seperti harapan pemerintahan Bush yang menggelar kampanye ”war on terror” secara masif di Pakistan, kepercayaan masyarakat setempat terhadap Usamah 500 persen lebih tinggi ketimbang terhadap Bush.
Menurut hasil jajak pendapat lembaga Terror Free Tomorrow pada Agustus 2007, Usamah dipercaya 46 persen responden dibandingkan Bush yang hanya mendapat 9 persen. ”Hasil ini sangat mengganggu karena kami sudah melakukan jajak pendapat di 23 negara muslim,” ujar Ken Ballen, Direktur Terror Free Tomorrow. ”Pakistan adalah satu-satunya negara muslim yang memiliki nuklir dan rakyatnya lebih percaya pada teroris ketimbang sekutu Barat seperti Musharraf” (lihat ”Sebuah Titanic Berseragam Hijau”, Tempo 14 Januari 2008).
Dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya Usamah sudah dua kali menawarkan peluang gencatan senjata. Pertama pada 2004 lewat pesan audio yang ditujukan untuk Eropa, dan pada 2006 sebuah tawaran bersyarat (conditional truce) kepada pemerintah Amerika Serikat. Dua bulan lalu, Usamah kembali mengimbau negara-negara Eropa untuk menarik diri dari Afganistan dalam sebuah pesan yang dilihat para analis politik sebagai upaya untuk menggapai Eropa.
”Ini saat yang tepat bagi dunia untuk mencari penyelesaian mengingat ayah saya masih hidup,” tutur Omar. ”Jika dia mati, akan bermunculan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pemimpin baru Al-Qaidah. Ribuan Al-Qaidah. Itu yang saya cemaskan.”
Sejauh ini belum tercatat komentar resmi dari Gedung Putih atas tawaran terbuka yang diajukan Omar.
Akmal Nasery Basral (AP, PBS)
Apa Siapa Puak Bin Ladin
Syekh Muhammad bin Awad bin Ladin (1967) Muhammad hijrah dari kampung halamannya Hadramaut di Yaman Selatan ke Arab Saudi sebelum Perang Dunia I. Mulanya bekerja sebagai portir di pelabuhan Jeddah sebelum mendirikan perusahaan konstruksi kecil pada 1930. Kesempatan untuk ikut dalam renovasi istana Raja Abdul Aziz tak disia-siakannya. Hasil kerja dan kemampuan komunikasinya yang bagus membuat perantau muda ini menjadi sahabat baru raja. Sejak itu bisnisnya menggembung setelah mendapat hak eksklusif merenovasi masjid-masjid penting di Arab Saudi, bahkan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Pada 1950, Muhammad mendirikan The Saudi Binladin Group (SBG). Begitu suksesnya hingga puak ini dijuluki ”keluarga non-kerajaan termakmur di Arab Saudi”. Ia tewas dalam kecelakaan pesawat pada 3 September 1967, meninggalkan 54 (versi lain 55 anak) dari 22 perkawinan.
Muhammad Bahareth (1972) Selama lima tahun (1967-1972), saudara ipar Muhammad bin Ladin dari istri pertama ini mengendalikan bisnis keluarga sambil menunggu kesiapan para kemenakannya.
Salim bin Ladin (1946-1988) Salah seorang putra tertua Muhammad ini melanjutkan kepemimpinan Bahareth sejak 1972 dengan taksiran aset US$ 16 miliar. Lewat salah seorang sahabatnya, James R. Bath, pemilik saham di perusahaan minyak kecil Arbusto Energy yang didirikan pada 1977, Salim menginjeksi US$ 50 ribu pada perusahaan yang dikelola oleh (kini) Presiden Amerika Serikat George W. Bush. Salim tewas, seperti ayahnya, juga akibat kecelakaan pesawat pada 1988. Kepemilikan sahamnya di Arbusto pindah ke orang kepercayaannya, Khalid bin Mahfouz, yang kelak dituding Amerika sebagai salah seorang kasir Al-Qaidah.
Usamah bin Ladin Figur paling menonjol dari puak ini setelah terjadinya serangan 11 September 2001. Keberadaannya sekarang lebih misterius ketimbang masa lalunya yang terang benderang.
Mahrus bin Ladin Saudara tiri Usamah ini adalah salah satu arsitek Tragedi Mekkah 1979, yang nyaris luput dari pengetahuan mayoritas muslim dunia. Saat itu, perusahaan konstruksi Mohammad bin Ladin yang sedang merenovasi sejumlah masjid di Mekkah mendapat privilese dari aparat setempat. Truk-truk pengangkut material mereka diperbolehkan keluar-masuk tanpa pemeriksaan sama sekali. Mahrus menggunakan peluang ini untuk menyelundupkan persenjataan ke dalam Kota Suci, yang diduga sebagai bagian dari upaya untuk menggulingkan otoritas Arab Saudi saat itu. Tapi Mahrus keburu ditangkap meski dengan cepat bisa bebas lagi. Dibandingkan Usamah yang kini dicekal tak boleh memasuki Arab Saudi, Mahrus lebih beruntung karena ia kini menjadi pemimpin bisnis SBG cabang Madinah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo