Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERISTIWA itu terjadi pada 1966. Ketika itu Sulawesi Selatan tengah dirundung kemelut pemilihan gubernur. Calon yang diangkat Presiden Soeharto ditolak barisan tentara dari Angkatan 45. Masyarakat terbelah dan provinsi itu terancam kisruh. Para petinggi Orde Baru di Jakarta kelimpungan.
Di tengah perkubuan itu dicarilah tokoh netral. Dari sejumlah nama yang beredar, menyembul nama Ahmad Lamo, seorang tentara, yang saat itu adalah Komandan Resort Militer Kabupaten Bone. Sejatinya, Lamo bukan siapa-siapa. Terkenal pun ia tidak. Tapi setelah direstui Jakarta, Lamo melenggang ke kursi gubernur. Ia berhasil: dua kubu yang berseteru akhirnya berdamai. Lamo bahkan dipercaya menjadi gubernur selama dua periode (1966-1978).
Kisah dari 42 tahun silam itu kini berputar lagi di bumi para daeng. Tanribali Lamo, putra kedua Ahmad Lamo, kini diangkat menjadi penjabat gubernur, juga ketika provinsi itu dirundung kisruh. Sabtu dua pekan lalu dia dilantik Presiden. Sama seperti ayahnya, Tanri yang tentara juga tak dikenal, dan kini sedang bersusah payah meredakan kemarahan dua kubu yang berseteru.
KEMELUT itu bermula dari pemilihan gubernur, 5 November 2007. Saat itu tiga pasang calon maju ke medan laga. Pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly diusung Partai Golkar dan sejumlah partai. Pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional dan beberapa partai kecil. Beberapa partai lainnya mengusung pasangan Abdul Aziz Qahhar Mudzakar-Mubly Handaling. Calon yang diusung Golkar dan Banteng Kedaton seru bersaing. Pertempuran kian mendidih sebab Amin dan Syahrul sama-sama incumbent. Amin gubernur, Syahrul wakilnya.
Hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan menyimpulkan Syahrul dan Nu’mang keluar sebagai pemenang. Mereka mendulang 39,53 persen suara. Jumlah itu beda tipis dengan Amin Syam dan Mansyur Ramly (38,73 persen). Sedangkan pasangan Abdul Aziz dan Mubly tertinggal jauh di belakang (21,71 persen).
Amin Syam menolak keputusan itu. Dia menggugat Komisi Pemilihan Umum Daerah ke Pengadilan Tinggi Makassar. Perkara ini diputus Mahkamah Agung tanggal 19 Desember 2007. Dalam amar putusan, Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Selatan mengulang pemungutan suara di Gowa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja. Hakim menilai telah terjadi kecurangan di empat kabupaten itu.
Pendukung Syahrul berang. Sekitar 10 ribu orang turun ke jalan menolak keputusan itu dan mendesak pemerintah pusat melantik Syahrul. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membangkang: mereka menolak menggelar pemilihan ulang. Komisi bahkan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Di tengah menunggu putusan peninjauan kembali itu, pada 19 Januari 2008 masa jabatan Amin Syam sebagai gubernur berakhir. Agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Tanribali Lamo.
Pemilihan Tanribali mendatangkan kontroversi baru. Pemerintahan Yudhoyono dituduh merusak tatanan politik dengan menggiring tentara kembali ke politik praktis. Saat diangkat, Tanri adalah menjadi tentara aktif dengan pangkat mayor jenderal.
Tanribali Lamo yang lahir pada 15 November 1952 itu memang mengikuti jejak ayahnya. Dia masuk Akademi Militer di Magelang pada 1974. Posisi militer terakhirnya adalah asisten personalia Kepala Staf Angkatan Darat.
Dua pekan lalu, dia diangkat menjadi staf khusus Menteri Dalam Negeri. Sumber Tempo menyebutkan karier militer Tanri sesungguhnya masih kinclong. Dia, misalnya, disebut-sebut rencananya akan diangkat menjadi Gubernur Akademi Militer menggantikan Mayor Jenderal Sriyanto. Sejak diangkat menjadi penjabat gubernur, Tanribali pensiun dari dinas ketentaraan. Tapi sejumlah kalangan menilai, ini hanya akal-akalan pemerintah.
Penempatan Tanribali sebagai staf khusus Menteri Dalam Negeri, kata politisi PDI Perjuangan, Andreas Pareira, hanya akal-akalan. Secara substantif, kata Andreas, pemilihan Tanribali itu melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam undang-undang itu disebutkan, tentara aktif tidak boleh terlibat politik praktis. Slamet Effendi Yusuf dari Partai Golkar menambahkan bahwa untuk menduduki jabatan sipil, anggota TNI harus mundur dan ”tidak boleh sebatas alih tugas”.
Sejumlah kalangan menyayangkan Presiden yang tidak mengangkat tokoh sipil. Sebelumnya memang santer disebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri menyiapkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Sodjuangan Situmorang sebagai penjabat gubernur sementara. Sejumlah tokoh penting dari Sulawesi Selatan memang sempat masuk bursa.
Nama Tanribali mencuat Kamis pekan lalu. Saat itu dia menemui Presiden di Istana Negara didampingi Menteri Dalam Negeri Mardiyanto dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Widodo A.S. Dalam pertemuan itu Presiden meminta kesediaan Tanri menjadi penjabat sementara Gubernur Sulawesi Selatan. Tanri mengangguk. ”Karena ini perintah langsung dari Presiden, saya bersedia,” katanya kepada wartawan.
Sumber Tempo bercerita, sepulang dari Istana Presiden, Tanri menghadap Jusuf Kalla di kantor wakil presiden. Di sana mereka berdiskusi mencari jalan mendamaikan dua kubu yang berseteru. Setelah satu jam berdiskusi, Tanribali pulang. Di perjalanan, Tanri menerima telepon dari Kalla. Wakil Presiden meminta Tanri balik lagi ke kantor Kalla untuk bertemu Tsuwandy Alwi, sekretaris wakil presiden yang pernah menjadi pejabat gubernur di tiga daerah (Gorontalo, Lampung, dan Kalimantan Selatan). Oleh Tsuwandy Tanribali ditentir tentang strategi menangani konflik.
SESUNGGUHNYA pemilihan Tanribali sebagai juru damai dilakukan atas kesepakatan bersama Yudhoyono dan Kalla. Bibit, bobot dan bebet Tanribali diteliti dengan serius. Dia, seperti ayahnya pada 1966, menurut sumber Tempo, dianggap sebagai yang ”paling netral dari semua tokoh yang ada”.
Yudhoyono dan Kalla juga haqul yakin Tanribali diterima kedua kubu yang bertikai. ”Ayahnya pernah menjadi gubernur yang sukses. Pasti diterima,” kata Jusuf Kalla, Jumat dua pekan lalu. Kalla memastikan bahwa saat ini Tanribali adalah pegawai negeri sipil.
Adem di Jakarta, Makassar tetap mendidih. Jumat dua pekan lalu, sekitar 15 ribu pendukung Syahrul mengurung gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan. Pendukung Syahrul juga unjuk rasa di depan kantor gubernur dan perwakilan kantor Bank Indonesia. Mereka menuntut Jakarta segera melantik Syahrul Yasin Limpo dan Agus Nu’mang.
Demonstran juga menolak penunjukan penjabat sementara. Reli unjuk rasa para pendukung Syahrul dan Agus Nu’mang berlanjut hingga Sabtu dua pekan lalu. Selain tetap mengurung sejumlah kantor-kantor penting, massa juga tumpah ke jalan. Mereka membakar ban bekas di jalan-jalan utama.
Sekitar dua ratus pendukung Syahrul melempari ruang pamer mobil NV Hadji Kalla milik Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jalan Sultan Alauddin. Mereka menuding Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu, ”bermain” di Mahkamah Agung untuk mengganjal Syahrul. Kaca jendela showroom itu hancur. Ketegangan juga menjalar hingga ke kediaman pribadi Kalla di Jalan Haji Bau. Polisi menjaga ketat jalan masuk ke kawasan itu. Sebuah kendaraan lapis baja bersiap di depan rumah wakil presiden.
Jusuf Kalla, memang, menjadi sasaran kemarahan pendukung Syahrul. Wakil Presiden dianggap ikut menjegal Syahrul dari pusat. Padahal, kata Hamid Awaludin, bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan orang dekat Kalla, ”Pak Jusuf sama sekali tidak ada urusan dengan pemilihan itu.”
Sadar menjadi sasaran tembak, Kalla mengutus Hamid menemui keluarga besar Limpo di Makassar. Selain bertemu keluarga, Hamid juga bertemu para pendukung Syahrul. Duta Besar Indonesia di Yunani itu mengajak Syahrul melihat showroom mobil milik Kalla yang dilempari massa. ”Mereka menyesal dan berjanji memperbaikinya,” katanya. Hamid pula yang mengajak Syahrul bertemu dengan Jusuf Kalla dan ikut dalam pelantikan Tanribali Lamo, Sabtu dua pekan lalu itu.
Sebelumnya, sempat terbetik niat di benak Kalla untuk mendamaikan Syahrul dengan Amin Syam di depan Ka’bah, Selasa pekan lalu. Wakil Presiden saat itu memang sedang umrah. Syahrul menyatakan bersedia, tapi Amin Syam berhalangan. Upaya itu pun gagal.
Jadilah perdamaian itu kini ditangani Tanribali. Selepas dilantik ia memang langsung mengunjungi hampir semua tokoh penting di Makassar, di antaranya mantan gubernur Andi Odang. Selain itu, ia juga mengunjungi dua tokoh yang berseteru. Semua petinggi partai politik juga ditemui satu per satu. Untuk sementara Tanribali sukes. Sepanjang pekan lalu, Makassar aman tenteram.
Wenseslaus Manggut, Sunudyantoro dan Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo