Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Molly Kelly semestinya bisa lebih tenang dalam tidur panjangnya sekarang. Rabu, 13 Februari ini, empat tahun setelah ia meninggal, Pemerintah Federal Australia untuk pertama kalinya mengucapkan permintaan maaf atas penderitaan ribuan keluarga Aborigin yang menjadi korban stolen generations, generasi yang tercerabut.
Ia hanya salah satu dari sekitar seratus ribu anak Aborigin yang berayah atau berkakek kulit putih, dan menjadi korban kebijakan pemerintah untuk "menyelamatkan" mereka dari kehidupan, yang dianggap primitif. Insiden ini terjadi sekitar awal abad ke-20 sampai 1965.
Kelly, meninggal pada umur 87 tahun, direnggut dari pelukan ibunya saat berumur 14 tahun bersama adik dan sepupunya. Mereka bertiga nekat meninggalkan penampungan dan menempuh perjalanan beribu kilometer selama sembilan minggu untuk bertemu dengan bunda mereka. Kisah Kelly ini kemudian difilmkan pada 2002 di Inggris dengan judul Rabbit-Proof Fence.
Anak-anak blasteran seperti Kelly ini diambil paksa untuk dididik keterampilan dasar agar mereka sanggup bekerja dalam dunia kulit putih, terlepas dari lingkungan ibu mereka yang berdarah Aborigin asli. "Niat mulia" ini dalam prakteknya berubah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Anak-anak, yang kebanyakan tinggal dalam komunitas kesukuan di pedalaman, diambil paksa dan dimasukkan ke badan pendidikan dan pelatihan berjarak ribuan kilometer dari kampung halamannya. Pemerintah tidak memperhitungkan dampak terhadap ibu dan anak-anak itu, yang sebagian di bawah umur sehingga masih memerlukan kasih sayang orang tua.
Penderitaan itu tidak berhenti di sini. Anak-anak yang sudah mulai remaja dipaksa bekerja di rumah-rumah keluarga kulit putih. Perbudakan pun terjadi. Sebagian remaja, yang sudah tidak tahan menghadapi siksaan itu, mencoba lari. Tapi upaya mendapatkan kebebasan itu lebih banyak gagalnya. Kelly contohnya. Ia ditangkap lagi setelah menikah dan mempunyai dua anak.
Pemerintah Australia seperti berupaya mengubur dalam-dalam luka yang ditimbulkan kebijakan ini. Tapi mimpi buruk tidak akan pernah hilang. Desakan untuk mengusut kasus ini terus berdengung dan puncaknya terjadi pada 1990, ketika organisasi masyarakat Aborigin menggelar kongres dan menuntut digelarnya sebuah penyelidikan.
Tuntutan ini terus bergulir, kendati tidak mendapat tanggapan pemerintah. Pada 1994, Lembaga Pembela Hak Aborigin di Australia Barat (ALSWA) mulai mengumpulkan kesaksian korban stolen generations ini. Tidak kurang dari 600 orang menuturkan cerita pedih itu.
Baru pada 1995 pemerintah federal memberikan perhatian serius. Jaksa Agung Michael Lavarch memerintahkan dibentuknya Tim Investigasi Nasional atas Pemisahan Anak-anak Aborigin dan Penduduk Pulau-pulau Selat Torres dari Keluarganya. Diperlukan waktu dua tahun bagi tim ini untuk mengumpulkan data dan menerbitkan laporan berjudul Bringing Them Home (Mengantarkan Mereka Pulang). Rentang waktu yang diliput investigasi dari Komisi Hak Asasi Manusia dan Persamaan Peluang ini antara 1910 dan 1970.
Kisah pilu para korban ini rupanya menarik simpati banyak pihak, termasuk dari warga mayoritas Australia. Maka lahirlah tuntutan kepada pemerintah federal agar segera minta maaf atas kebijakan itu. Korban banyak diundang bicara di forum dan media. Bagi mereka, permintaan maaf resmi dari pemerintah federal akan membantu penyembuhan luka yang menyebabkan borok psikologis berkepanjangan.
Ternyata permintaan maaf itu tidak kunjung datang. Pemerintah Koalisi Liberal-Nasional di bawah John Howard, yang menang Pemilu 2002, tidak bersedia meminta maaf secara resmi. Bisa jadi ini masalah gengsi. Investigasi ini diluncurkan oleh pemerintah Partai Buruh, sehingga mereka menolak melaksanakan sesuatu yang diusulkan lawan politik yang jelas-jelas sudah mereka kalahkan itu. Atau barangkali juga Howard dan koalisinya tidak menganggap isu ini layak diberi penghargaan politik setinggi itu.
Lalu terjadilah suasana tegang yang berlarut-larut. Orang-orang Aborigin yang mulanya tak percaya akan ada permintaan maaf pun jadi tersinggung. Yang lebih menyakitkan, pihak antipermintaan maaf mulai melecehkan mereka dengan sebutan "kelompok pemakai pembalut lengan warna hitam" yang petantang-petenteng menjual dukacita. Namun gerakan menuntut permintaan maaf tak kunjung surut, malah tambah nyaring.
Satu per satu pemerintah negara bagian mengambil kebijakan sendiri dan meminta maaf dalam parlemen mereka. Tapi yang ditunggu-tunggu, di tingkat pemerintah federal, kata maaf masih menyangkut di kerongkongan. Melihat kuatnya sentimen ini, Howard mencoba mengambil jalan tengah. Dia secara pribadi menyatakan "menyesal atas segala yang diderita orang-orang Aborigin akibat kebijakan pemisahan itu" dan membentuk Dewan Rekonsiliasi Aborigin tanpa harus minta maaf.
Salah satu alasan yang diusung Howard, kebijakan yang berakibat terampasnya generasi itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kulit putih yang sekarang, sehingga mereka tidak patut minta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu.
Sikap itu dijawab Dewan Rekonsiliasi Aborigin dengan mengadakan pertemuan raksasa di Sydney Opera House, yang disusul dengan penyeberangan ramai-ramai melalui Harbour Bridge, simbol dari aksi menjembatani kaum Aborigin dengan rakyat Australia arus utama, pada 26 Mei 2000. Sebanyak 250 ribu warga turut melangkah menyeberangi jembatan kondang itu. Di samping itu, di ibu kota negara-negara bagian lainnya, diadakan juga penyeberangan di jembatan masing-masing, walau jumlahnya tidak sebesar yang di Sydney.
Namun aksi itu ditafsirkan berbeda. Pihak pemerintah Howard menganggap aksi itu menunjukkan mereka serius dalam menangani isu ini. Dari pihak yang menuntut permintaan maaf, ini bukti nyata bahwa sentimen masyarakat sudah mulai tegas mendukung mereka.
Kondisi ini disambar oleh Partai Buruh, yang beroposisi. Permintaan maaf itu menjadi jualan penting dalam kampanye akhir tahun lalu. Dan sekarang, sesuai dengan janjinya sewaktu pemilu, Perdana Menteri Kevin Rudd sudah menetapkan Rabu, 13 Februari, sebagai hari pengutaraan permintaan maaf kepada kaum Aborigin di Parlemen Federal.
Pada umumnya kelompok Aborigin menyambutnya dengan hangat. Namun ada juga yang bimbang. Contohnya Wesley Aird, anggota Dewan Pribumi Nasional, yang menulis di koran The Age bahwa permintaan maaf ini hanya simbolis dan tidak cukup kuat untuk upaya rekonsiliasi. Aird khawatir, dengan aksi meminta maaf ini, pemerintah Rudd lalu menganggap tugasnya dalam kaitan dengan masalah Aborigin sudah selesai, padahal masalah masih menumpuk. Sejak dulu, masyarakat Aborigin tertinggal dalam segala hal sehingga mereka seperti masyarakat kelas tiga di tanah leluhur sendiri.
Pandangan ini ditentang Mick Dodson, yang menekankan permintaan maaf ini akan menjadi batu fondasi untuk masa depan yang lebih baik dalam hubungan kaum Aborigin dengan arus utama Australia.
Bahkan Brendan Nelson, pemimpin koalisi oposisi, yang mula-mula masih segan, akhirnya berjanji akan mendukung aksi penting ini setelah melihat anggota parlemen bayangannya satu per satu mengutarakan dukungan mereka secara individual.
Yudono Yanuar, Dewi Anggraeni (Melbourne)
Peta Aborigin di Australia
JUMLAH | Aborigin | Ras Lain |
450 ribu | 20 juta | |
PENDIDIKAN | ||
Sampai SMU | 39% | 75% |
Kejuruan | 22% | 48% |
S-1 ke atas | 4% | 21% |
Pengangguran | 20% | 7,6% |
Penghasilan sepekan | A$ 394 | A$ 665 |
Lain-lain: Sebanyak 21 persen tahanan di Australia warga Aborigin. Warga Aborigin yang jadi korban kekerasan dua kali lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo