Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI berambut perak itu mengarak poster marah, ”Mari bergabung dengan Republiken melawan McCain”. Dia berdiri di depan lobi hotel di Washington DC, Kamis pekan lalu. Matanya tampak gusar. Di tempat itu, jagonya, Mitt Romney, bekas Gubernur Massachusetts, menyatakan mundur. Romney tak lagi mau berlaga pada pemilu awal dari kubu Republik.
Perolehan suara Romney dalam pemilihan awal Selasa lalu rupanya tak mendukung. Inilah Super Tuesday itu. Hampir sekujur Amerika, sebanyak 22 negara bagian, ditelan kampanye politik. Kota-kota dicengkeram iklan kampanye dua kubu, Republik dan Demokrat. Pemenang dari kedua kubu akan bertarung lagi mewakili partainya dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat, November nanti.
Romney agaknya mau bersikap realistis. Di babak itu, dia kalah jauh oleh senator gaek dari Arizona, John McCain. Veteran dan bekas tawanan perang Vietnam itu menyabet 707 dukungan delegasi. Romney hanya 294. Calon lainnya, Mike Huckabee, malah terjungkal dengan angka 195. Dibutuhkan dukungan 1.191 delegasi dari 2.300 untuk menjadi calon presiden dari kubu Republik. Dan, McCain menyapu hampir 60 persen syarat dukungan itu.
Namun, pendukung Romney tak semuanya setuju dengan McCain. Di kubu Republik, kaum konservatif menudingnya sebagai terlalu liberal. Bagi publik luas, McCain diduga tak banyak mengubah Amerika setelah Bush. Apalagi, dia tak keberatan jika pasukan Amerika bercokol di Irak. Bahkan sampai ”beratus tahun” sekalipun. ”Amerika telah berada di Jepang dan Korea Selatan hampir 60 tahun,” ujarnya meledek. Dalam mengatasi politik sektarian di Irak, dia justru menyerukan tambahan pasukan. Hanya dalam perkara perubahan iklim global dia terlihat ”normal”. McCain ingin ada pengurangan emisi karbon dan peningkatan tenaga nuklir sebagai sumber energi.
Dari kubu Demokrat belum ada kata akhir. Baik Barrack Obama dan Hillary Clinton tampak sama kuat. Obama kalah tipis dari Nyonya Clinton. Sampai Jumat pekan lalu, dia menyabet 933 dukungan delegasi, sementara 1.012 untuk Hillary. Agar bisa lolos sebagai kandidat presiden dari Demokrat, dibutuhkan dukungan 2.025 dari 4.049 delegasi. Pertarungan berikutnya adalah berebut 1.811 suara di negara bagian lain.
Yang pasti, Super Tuesday telah berhasil menyisihkan para calon menjadi tiga. Dari Republik, John McCain tampaknya tak terbendung, tapi perhatian terbesar tentu bagi calon Demokrat. Partai itu kini sedang naik daun. Apalagi, kubu Republik belakangan ramai menuai kritik akibat politik George W. Bush di Irak. Ditambah lagi buruknya kinerja ekonomi Amerika belakangan ini. ”Tak peduli Hillary atau Obama, calon Demokrat pasti jadi presiden,” ujar juru bicara Democrat Abroad in Indonesia, Arian Ardie, di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Betapapun, inilah soalnya. Agak sulit memastikan Obama atau Hillary yang menang. Persaingan keduanya tajam dan ketat. Itu rupanya membuat galau Demokrat juga. Howard Dean, Ketua Komite Nasional Demokrat, berharap balapan kedua kandidat mereka bisa berakhir sekitar Maret atau April. ”Jangan sampai berlanjut pada konvensi partai Agustus nanti,” ujarnya pada jaringan televisi kabel lokal di New York, Kamis pekan lalu. Kalaupun itu terjadi, Demokrat harus mencari jalan keluar. Belum jelas seperti apa bentuknya.
Kini, baik Hillary maupun Obama bersiap adu kuat di babak lanjutan. Nyonya Clinton menantang lawannya berdebat lagi di televisi setiap pekan. Maunya debat maraton sampai 4 Maret nanti, tapi Obama menolak. ”Kita sudah berdebat 18 kali”, ujarnya di Chicago. Dia setuju ada satu kali debat lagi. Sisanya, ”Saya ingin lebih banyak waktu bersama para pemilih,” ujarnya.
Dalam sebulan terakhir, kubu Demokrat sudah menggelar pemilu awal dan kaukus di 28 negara bagian. Sampai akhir bulan ini, ada 596 delegasi yang akan dipilih dalam kontes. Louisiana, Maine, Nebraska, the Virgin Islands, dan Washington kebagian pekan ini, sementara Hawaii dan Wisconsin pada Selasa pekan depan.
Nyonya Clinton mengatakan, Obama akan diuntungkan pada babak lanjutan ini. Senator Afro-Amerika itu diduga akan menyabet suara kaum hitam di Louisiana, Maryland, dan Virginia, juga kaum muda dan liberal di Washington dan Wisconsin. Selain di negara bagian tadi, mereka akan adu pesona di Ohio dan Texas untuk menarik dukungan 389 delegasi, 4 Maret nanti.
Obama malah merendah. Menurut dia, jika pertarungan panjang terjadi, maka Nyonya Clinton justru menangguk laba. Soalnya, Hillary lebih senior dan punya jaringan luas. Dia juga bekas ibu negara. Sebagai senator kawakan dari New York, Hillary dekat dengan para senator lain, gubernur dan para elite partai. Mereka inilah yang disebut delegasi super, yang punya suara sendiri dalam konvensi nanti.
Meski angka dukungan beda tipis, Obama belum bisa dibilang kalah, apalagi soal fulus kampanye. Super Tuesday telah membuat dompetnya kian buncit. Kata para pendulang dana dan staf kampanyenya, Obama menangguk US$ 3 miliar lewat sumbangan online, Rabu pekan lalu. Itu salah satu angka terbesar. Selama Januari saja, sudah US$ 27 juta mereka tumpuk. Sementara itu, Nyonya Clinton terpaksa berutang sekitar US$ 5 juta akhir bulan lalu. Itu sebabnya, dia mengajak pendukungnya menyumbang US$ 3 juta guna mengimbangi duit Obama.
Di tengah gencarnya persaingan, malah muncul ide menarik: menyandingkan Obama dan Hillary sebagai presiden dan wakil. Isu itu mencuat bukan tanpa sebab. Pada satu acara debat di Kodak Theater, Los Angeles, awal bulan lalu, keduanya tampak mulai bertukar ”pipa perdamaian”. Kamera televisi menangkap gerak keduanya begitu akrab. Meski sekejap, mereka sempat berpelukan saat bertemu. Saling berbisik pula. Keduanya sepakat agar tak saling meledek lagi.
Pada debat itu, pertanyaan nakal pun muncul dari moderator. Apakah keduanya sudi berpasangan maju ke Gedung Putih? Tepuk tangan penonton pun bergemuruh. Keduanya malah tak punya jawaban tegas. Mereka lebih banyak bergurau dan mengelak, malah menganggap omongan itu terlalu pagi. Karena tak mengiyakan tapi juga tak menolak, publik pun ingin mengikat Obama dan Hillary jadi satu paket.
Ide itu pun merambat ke rumah-rumah. Jajak pendapat Time pekan lalu, misalnya, merekam 62 persen kaum Demokrat ingin Clinton menggandeng Obama sebagai wakil. Sebaliknya, jika Obama terpilih, maka 51 persen ingin Nyonya Clinton membantu senator Amerika berdarah Kenya itu. Secara teori, Obama akan mendongkrak popularitas Hillary di mata kaum hitam. Pada sisi lain, itu berarti juga meminggirkan potensi sang suami, Bill Clinton, sebagai calon wakil.
Faktor Bill rupanya jadi kendala. Ini tampaknya lebih ke soal suami istri yang piawai berpolitik. Apalagi, Bill dan Hillary punya kecenderungan sama. Sewaktu Bill Clinton menjabat presiden, Hillary berkantor di West Wing. Selain sebagai ibu negara, dia juga menjadi semacam penasihat Bill. Pengaruh Hillary, kata bekas wakil presiden Al Gore, malah sangat dominan. Gore merasa dirinya seperti nomor tiga, bukan nomor dua. Jadi, kalau Hillary nanti menang, maka posisi itu hanya bertukar tempat. Bill diduga akan berperan lebih dari sekadar suami presiden. ”Saya akan membantu dia (Hillary) seperti dia membantu saya dulu,” ujar Bill di Napa Valley, California, bulan lalu.
Mungkin ”paket impian” itu terlalu pagi. Sejumlah pendukung Obama bahkan melihat tawaran itu sebagai perangkap. Apalagi, tren kekuatan mereka agak seimbang. Justru, kalau tawaran diterima, pendukung Obama akan kecewa. Suaranya pun terancam rontok di pemilu awal. Apa boleh buat, ide itu masih seperti pungguk merindukan bulan. Seperti pernyataan tegas juru bicara Obama, Robert Gibbs: ”Kami tak berkampanye untuk posisi wakil presiden.”
Nezar Patria (BBC, Guardian, NYT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo