Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGINJAKKAN kaki di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Senin dua pekan lalu, Juliana Nicholas bersyukur oleh rasa bahagia. Misionaris asal Malaysia itu baru saja menyelesaikan perjalanan ke Filipina dan menenteng pulang 32 eksemplar kitab Injil. Tapi, di depan aparat bea-cukai bandara, ia tersentak, kitab bawaannya disita habis.
”Saya membeli banyak karena di sana harganya lebih murah,” Juliana mengajukan alasan. Disodorkannya pula surat dari paroki gereja Filipina yang menyatakan bahwa 32 kitab Injil itu untuk keperluan gereja, bukan untuk diperdagangkan. Tak ada guna: semua literatur yang berhubungan dengan agama mesti mendapat izin dari Kementerian Keamanan Dalam Negeri.
Selang beberapa hari, ”cuaca” berubah. Seorang petugas di kementerian itu menghubungi Juliana dan mengatakan aparat bea-cukai melakukan kesalahan. ”Juliana sudah diberi tahu agar mengambil kembali semua kitabnya,” kata pejabat yang tak mau dikutip namanya. Ia membantah penyitaan itu ada hubungannya dengan agama.
Boleh jadi begitu, tapi sejak awal tahun pemerintah Malaysia memang sibuk melarang ini-itu yang berbau religi. Umat Kristen, Hindu, dan minoritas lainnya sungguh cemas, walaupun Konstitusi Malaysia sesungguhnya melindungi mereka melakukan praktek keagamaan dengan bebas.
Pada awal Januari, Wakil Menteri Keamanan Dalam Negeri Johari Baharum mengumumkan pelarangan terhadap penggunaan kata Allah dalam literatur nonmuslim. Larangan juga diberlakukan untuk pemakaian istilah baitullah, solat, dan kabah. Istilah itu dinyatakan milik umat muslim, yang penggunaannya mesti dibatasi agar ”tidak membuat bingung umat”.
Masih di bulan yang sama, lebih dari 70 buku kristiani yang mencantumkan ilustrasi gambar nabi disita dari toko-toko buku di negara bagian Malaka, Perak, dan Pahang. Menurut kementerian itu tadi, buku-buku dewasa dan anak-anak yang kebanyakan memuat gambar atau kartun Nabi Adam, Nabi Musa, dan Nabi Nuh itu melanggar aturan yang dibuat Jabatan Kemajuan Islam (Jakim), yang menurut situsnya adalah institusi pemelihara kesucian akidah Islam, tentang larangan mengilustrasikan nabi.
Kementerian juga melarang peredaran 11 buku—delapan di antaranya berbahasa Inggris. Menurut Che Din Yusoh, pejabat unit pengawasan barang cetak di kementerian itu, pelarangan dilakukan ”karena tak sejalan dengan apa yang kita sebut sebagai Islam versi Malaysia”. Di antara judul buku itu terdapat The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and its Role in Terrorism, Secrets of the Quran: Revealing Insights Into Islam’s Holy Book, dan Women in Islam.
MALAYSIA memang sedang peka-pekanya—kecuali dalam mengakui warisan budaya negeri jiran. Jakim boleh jadi mewakili kepentingan 60 persen penduduk Malaysia: kaum Melayu muslim. Tapi masih ada 40 persen warga yang juga seyogianya punya hak sama, yakni umat Buddha, Kristen, Katolik, Hindu, atau kepercayaan lain yang dianut berbagai etnis minoritas seperti Tionghoa, India, dan penduduk pedalaman yang menyebut dirinya ”orang asli”.
Setelah setengah abad kemerdekaan, politik Malaysia senantiasa pekat oleh pengaruh ras dan agama. Tiga kelompok etnis paling besar—Melayu Muslim, Tionghoa, dan India—punya partai politiknya sendiri, sekolah, surat kabar, teater, dan untuk muslim: pengadilan syariah. Selama bertahun-tahun, konflik akibat segregasi dipendam di bawah tanah, namun muncul ke permukaan pada akhir tahun kemarin.
November lalu, warga India-Hindu, yang hanya 8 persen dari 27 juta penduduk, menyaksikan perusakan tempat ibadahnya, Kuil Sri Maha Mariamman, yang terletak di tengah permukiman kumuh di kawasan Shah Alam, 25 kilometer dari ibu kota Kuala Lumpur. Jeri melihat altar sembahyang mereka dibuldoser, sekitar 20 ribu warga India turun ke jalan.
Mereka juga memprotes kemiskinan dan diskriminasi pendidikan yang membuat warga India hidup sebagai kaum paling kekurangan dan paling tinggi tingkat kriminalnya di seluruh Malaysia. ”Intinya, siapa yang punya kekuasaan?” kata Murugesan Kulasegaran, satu-satunya anggota parlemen oposisi dari etnis Tamil. Polisi harus menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi.
Akibat aksi turun ke jalan yang dilarang di Malaysia itu, lima aktivis India ditangkap untuk waktu yang tak dapat ditentukan, tanpa pengadilan dan penyelidikan, berdasarkan Internal Security Act (ISA) warisan pemerintah kolonial Inggris. Kelimanya dituduh berkonspirasi menimbulkan perselisihan ras dan mengancam keamanan masyarakat.
Pejabat pemerintah juga pernah menghubungkan kelima aktivis Hindu Rights Action Force (Hindraf) ini dengan kelompok ekstremis Macan Tamil di Sri Lanka, meski hal ini dibantah keras. Awal Januari lalu, para aktivis dan pendukung Hindraf melakukan mogok makan lima hari untuk memprotes penahanan ini.
Pemerintah berusaha menurunkan tensi dengan mengakui bahwa penghancuran kuil itu adalah ”salah” dan meminta maaf—tiga bulan setelah kejadian. Tapi, pada 23 Januari lalu, warga Hindu memboikot festival Thaipusam, upacara Hindu terbesar yang tiap tahun diadakan di Kuil Gua Batu di Kuala Lumpur. Dari 1,5 juta penduduk India yang biasanya datang, Asia Times mencatat hanya seperlimanya yang muncul hari itu sebagai bentuk protes terhadap Samy Vellu, pemimpin India di pemerintahan yang dianggap tak mampu membela kepentingan kaumnya.
Butuh beberapa saat sebelum pemerintah Malaysia merespons kaum minoritas yang separuh berteriak meminta Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi angkat bicara membela pluralisme. Hal itu baru diwujudkannya pada perayaan Imlek, Kamis pekan lalu, di Kuala Lumpur. Dalam pesannya, Pak Lah mengatakan agar semua warga negara Malaysia mempertahankan kultur kebersamaan yang selama ini sudah dijaga. ”Malaysia tidak dimiliki oleh satu atau dua komunitas saja, tapi oleh semua warga,” katanya.
Bagi pemimpin United Malaysian National Front (UMNO), partai terbesar di Malaysia, itu taruhan kebersamaan adalah pemilihan umum yang, kabarnya, sebentar lagi bakal digelar. Sayangnya, menurut Pendeta Hermen Shastri, Sekretaris Umum Dewan Gereja Malaysia, peristiwa penyitaan kitab Injil di bandara itu kadung membuat situasi makin buruk.
Kurie Suditomo (AP/Reuters/Asia Times/CSMonitor/The Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo