Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>BUKU MEMOAR DICK CHENEY</font><br />Pria di Balik Dua Perang

Peran Dick Cheney dalam memerangi teroris melebihi kewenangannya sebagai wakil presiden. Ia menganggap Bush terlalu lemah.

5 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU memoar Dick Cheney akan segera diterbitkan. Meski masih dalam tahap penulisan, buku tentang perjalanan kariernya selama 40 tahun di pemerintahan Amerika Serikat itu sangat dinanti. Ia merupakan sosok yang sangat menentukan di balik strategi besar Amerika pada awal abad ke-21 ini. Delapan tahun menjabat wakil presiden semasa George W. Bush berkuasa, Cheney adalah arsitek berbagai kebijakan kontroversial. War on terror dan teknik interogasi waterboarding, dua ”proyek kontroversial” buah tangannya.

War on terror, atau perang terhadap teror, mewujud dalam dua perang besar: perang di Irak dan Afganistan. Itulah gagasannya setelah serangan teroris pada 11 September 2001 di New York dan Washington. Selain menciptakan perang terhadap teror, Cheney menyetujui teknik interogasi dengan cara menyiksa pelaku teror, atau mereka yang diduga pelaku teror, yang tertangkap. Salah satu teknik untuk menggali informasi dari para tahanan adalah waterboarding, yang oleh dunia internasional sudah lama dilarang.

Cheney menyatakan, buku tersebut sengaja ia terbitkan agar cucu-cucunya kelak mengerti, ”Apa yang telah saya lakukan dan mengapa saya lakukan.” Namun tak sedikit yang menganggap buku ini akan banyak berisi pembenaran atas apa yang selama ini ia yakini bahwa menyerang Irak dan Afganistan serta teknik interogasi dengan penyiksaan menuai sukses besar. Cheney beralasan, sejak war on terror dilancarkan, Amerika aman dari serangan teroris.

Kenyataannya, beberapa bekas anggota FBI dan militer yang ditugasi melakukan interogasi mengaku cara itu tak sepenuhnya berhasil. Malah cara seperti itu membuat tahanan cenderung membangkang dan mengaburkan informasi. Salah satu korban teknik penyiksaan waterboarding yang terkenal di kamp tahanan Teluk Guantanamo, Syekh Mohammad, mengaku sering ”mengarang informasi” agar penyiksaan terhadap dirinya dihentikan.

Peran Cheney, 68 tahun, dalam pemerintahan George Bush sangat besar. Bahkan ada yang beranggapan bahwa ia lebih dominan daripada Bush. Dalam beberapa kesempatan setelah pensiun sebagai wakil presiden, Cheney membeberkan bahwa Bush secara moral terlalu lemah. Ia selalu mengingatkan pemerintah harus tetap memusatkan perhatian dan mengerahkan segenap energinya pada war on terror. Ia melihat kelemahan itu juga ada pada diri Presiden Barack Obama.

War on terror membenarkan segala cara untuk menghabisi siapa saja dan di mana saja sosok yang dianggap sebagai musuh Amerika. Namun langkah yang pada mulanya tampak efektif untuk membentengi warga Amerika dari teror setelah peristiwa 11 September itu tak sesuai dengan harapan. Kegagalan demi kegagalan menghadang para serdadu Amerika di medan yang asing itu. Apalagi kemudian diketahui bahwa motif utama perang di Irak—bahwa rezim Saddam Hussein menyimpan fasilitas nuklir (senjata pemusnah massal)—tak pernah terbukti.

Sejak serangan teroris 11 September, Cheney cukup berhasil menanamkan gagasannya bahwa membiarkan teroris menguasai senjata nuklir akan berakibat fatal. Itu sebabnya serangan ke Afganistan dan Irak, menurut dia, dapat dibenarkan demi melindungi warga Amerika. ”Meski baru kemungkinan adanya sebuah negara atau beberapa negara yang dapat menyebabkan ancaman, Amerika harus cepat bertindak seolah ancaman itu sudah merupakan rencana matang,” begitu alasan Cheney.

Propaganda yang dilancarkan Cheney sempat mendapat simpati warga Amerika yang diselimuti trauma atas serangan mematikan 11 September. Cheney, wakil presiden paling berpengaruh dalam sejarah Amerika, terus mencari cara agar proyek membasmi terorisme itu didukung masyarakat banyak. Ia selalu beralasan semua telah melalui pertimbangan matang. George Kennan, diplomat Amerika, ilmuwan politik, dan sejarawan, menilai perang terhadap teror ibarat perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet. ”Anda tahu kapan harus memulai, tapi Anda tak pernah tahu kapan akan berakhir,” ucap Kennan.

Metode membelokkan informasi kepada publik merupakan senjata andalan Cheney untuk bertahan. Bahkan ketika kasus penyiksaan terhadap tahanan anggota Al-Qaidah di Guantanamo terungkap, ia tak hentinya beralasan semua itu demi kepentingan warga Amerika. Kenyataannya, penyiksaan itu semata untuk mendapatkan informasi keterkaitan antara Saddam Hussein dan Usamah bin Ladin, yang dapat dijadikan alasan kuat untuk mengobarkan perang Irak. Meski beberapa tahanan telah menjalani penyiksaan waterboarding, keterkaitan itu tak pernah dapat dibuktikan.

Dalam sebuah wawancara dengan Washington Times beberapa waktu lalu, Cheney mengakui bahwa secara pribadi ia merestui teknik interogasi penyiksaan terhadap tahanan teroris. ”Saya merasa nyaman dengan apa yang telah kami lakukan. Saya kira itu adalah hal yang benar yang telah kami lakukan,” katanya.

Disinggung bahwa cara-cara seperti itu tidaklah bermoral, Cheney mengemukakan: justru sangat tidak bermoral jika Amerika tidak melakukan penyiksaan. ”Dalam pikiran saya, kewajiban secara moral yang harus kami lakukan sejak diambil sumpah pada 20 Januari 2001 adalah untuk melindungi dan mempertahankan diri terhadap serangan musuh dari luar ataupun dalam negeri. Dan itu yang telah kami lakukan,” tutur Cheney.

Namun, menurut penasihat Angkatan Laut Amerika, Alberto Mora, teknik interogasi penyiksaan di Guantanamo dan Abu Ghuraib, misalnya, pada akhirnya malah menewaskan lebih banyak tentara Amerika yang bertugas di Irak. Penyiksaan menyuburkan rasa dendam. Teknik penyiksaan serupa juga dipakai pihak lawan untuk menghukum tentara Amerika yang tertangkap. Padahal pola ini jelas-jelas melanggar Konvensi Jenewa. ”Penyiksaan pada hakikatnya tak dapat dibenarkan. Tindakan ini hanya akan menjatuhkan martabat suatu bangsa dan melanggar kedaulatan suatu bangsa,” ucap Mora.

Seorang mantan petugas interogasi yang bekerja di penjara Irak mengatakan, ”Jumlah tentara Amerika yang mati akibat terkena dampak dijalankannya kebijakan penyiksaan di tahanan tak pernah diketahui secara pasti. Tapi secara kasar dapat dikatakan jumlahnya hampir sama dengan yang tewas dalam serangan 11 September 2001.”

Firman Atmakusuma (CNN, New York Time, Washington Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus