Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>Israel</font><br />Mematahkan Sayap Flytilla

Israel melakukan segala cara untuk mencegah aktivis asing masuk Palestina. Dari menerbitkan daftar larangan terbang sampai menyabot kapal bantuan.

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandar Udara Charles de Gaulle di Paris, Prancis, gaduh Jumat pagi dua pekan lalu. Lebih dari 100 aktivis Flytilla memprotes cegah-tangkal terhadap mereka. Pukul 06.30 waktu setempat, mereka seharusnya sudah duduk di kabin Lufthansa dan terbang ke Israel. Tapi pihak maskapai dan imigrasi Prancis melarang mereka masuk ke pesawat. "Saat ditanya mengapa, mereka tidak memberikan jawaban," kata Satina, salah seorang aktivis.

Sebagian besar calon penumpang itu adalah warga negara Prancis dengan paspor sah. Mereka seharusnya pergi dengan dua penerbangan: Lufthansa dan Air Swiss. Maskapai penerbangan lain, seperti Air France, Alitalia, Malev Airlines, dan EasyJet Hungaria, juga menolak memberangkatkan mereka. Para aktivis ini pun melampiaskan kemarahan di lobi bandara: "Kalian kaki tangan Israel!"

Kelompok bernama Welcome to Palestine mengundang 600-1.000 warga asing masuk ke Israel. Aksi ini untuk memprotes ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi di Palestina. Para aktivis berencana menghabiskan satu pekan di Tepi Barat yang diduduki Israel.

Juru bicara imigrasi Israel, Sabine Haddad, mengakui telah mengedarkan daftar larangan terbang ke sejumlah maskapai. Sebanyak 324 nama dicekal. "Orang-orang ini harus dipulangkan," katanya. Maskapai berdalih mereka hanya mengikuti aturan penerbangan internasional dan membatalkan penerbangan setidaknya 200 penumpang.

Aktivis yang berhasil masuk ke Tel Aviv harus menjalani interogasi. Sebagian ditangkap dan ditahan di penjara Beersheva, Israel selatan, dan Ramleh, dekat Tel Aviv. Mereka kebanyakan berasal dari Prancis, Amerika Serikat, Belgia, Bulgaria, Belanda, dan Spanyol.

Secara keseluruhan, 44 orang telah diusir Selasa pekan lalu. Aksi Flytilla berlangsung ketika aparat Yunani sibuk menghadang konvoi Freedom Flotilla. Sepuluh kapal berlayar mengangkut 200 aktivis dari 20 negara dan bahan bantuan. Tahun lalu, aksi serupa menewaskan sembilan aktivis dan mencederai 30 lainnya.

Israel menebar berbagai "ranjau" untuk mencegah mereka mencapai Palestina. Pada 26 Juni lalu, pemerintah Israel melarang wartawan bergabung dalam armada. Bila melanggar, media tidak boleh masuk ke Israel selama sepuluh tahun. Larangan ini menuai protes dari Jay Bushinsky, kepala perkumpulan wartawan asing di Israel. "Keputusan itu tidak bijak dan tidak proporsional," ujarnya.

Esok harinya, aktivis di atas kapal Juliano dari Swedia melaporkan kapal mereka disabot, yang diduga dilakukan penyelam. "Dia memotong poros baling-baling kapal," kata seorang aktivis.

Tiga hari setelah Juliano "dikerjai", giliran kapal Irlandia, Saoirse, harus membatalkan pelayaran. Aktivis Huwaida Arraf menyatakan kepada Radio Angkatan Darat Israel bahwa mesin kapal dirusak di pelabuhan. Sabotase diduga terjadi di kota pesisir Turki, Gocek. Namun Israel menolak mengomentari tuduhan tersebut.

Pada akhir Juni lalu, seseorang melayangkan gugatan terhadap kapal Amerika, Audacity of Hope. Kapal ini disebut tidak layak berlayar. Dua hari kemudian, Lembaga Bantuan Hukum Israel, Shurat Hadin, ditunjuk sebagai kuasa hukum penggugat. Meski tidak berdasar, gugatan itu membuat administrator pelabuhan Yunani memaksa kapal berlabuh sampai kasus selesai.

Sebagian besar armada pembebasan kini tertahan di pelabuhan Yunani. Tahrir, kapal asal Kanada, sempat berusaha meninggalkan Pulau Kreta, tapi dipaksa kembali oleh polisi pelabuhan. Tiga aktivisnya ditangkap.

Yunani dipilih sebagai tempat bertolak oleh para aktivis Flotilla karena secara geografis dekat dengan Gaza. Belakangan hubungan antara Yunani dan Israel membaik. Khalid Tuhraani, aktivis Palestina-Amerika yang tertangkap di Pelabuhan Corfu, mengatakan Israel mengancam memberikan sanksi ekonomi.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengakui ada kerja sama dengan Perdana Menteri Yunani Georgios Papandreou. Yunani diminta mencegah armada Flotilla meninggalkan pelabuhan. Pemerintah Yunani akhirnya meminta bantuan kemanusiaan itu disampaikan lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kini cara masuk ke Tepi Barat hanya melalui jalan darat. Aktivis bisa masuk dari perbatasan Yordania. Tapi titik ini pun dijaga ketat oleh pasukan Israel.

Ninin Damayanti (Al-Jazeera, BBC, Palestine News Network, Haaretz)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus