Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKRETARIS Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mencopot sepatu dan kaus kakinya. Dengan takzim, dia melangkah masuk ke kompleks jantung spiritual Burma, Pagoda Shwedagon, di Kota Rangoon, Selasa pekan lalu. Dengan bertelanjang kaki, Ban mengelilingi pagoda yang dibangun pada abad ke-6 ini, sebelum bertemu dengan Perdana Menteri Burma Thein Sein. Dari bandar udara yang dijaga ketat tentara dan polisi, Ban sengaja mampir ke Shwedagon sebagai perlambang bahwa kunjungan dia bersih dari kepentingan politik. Ban ingin meyakinkan, dunia benar-benar berniat baik membantu Burma.
Sudah lebih dari tiga pekan, setelah angin topan Nargis menyapu kawasan delta Sungai Irawadi hingga kawasan Rangoon. Namun, junta militer Burma tetap menutup pintu terhadap pihak asing yang ingin membantu. Hanya tenaga sukarela dari Cina, Thailand, dan India yang diizinkan masuk, meski terbatas. Bantuan berupa makanan, obat-obatan, dan pekerja sukarela dari berbagai negara tidak mendapat izin masuk. Ada juga yang diusir keluar dari negara itu. Di lepas pantai, kapal Angkatan Laut Amerika Serikat dan Prancis yang sarat akan bahan bantuan siap dibongkar. Tapi dicegah. Para sukarelawan pun mengeluh sebagian besar bantuan yang diserahkan dalam sepekan terakhir belum sampai ke tangan yang memerlukan.
Menurut badan bantuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah pasokan sebenarnya telah masuk Burma. Namun, pemerintah masih membatasi pengiriman. Kalaupun junta militer belakangan mengizinkan aliran bantuan dari beberapa negara, termasuk Amerika, itu hanya sekitar 20 persen dari kebutuhan. Sebab, militer Burma ngotot mengendalikan sebagian besar bantuan, meski kekurangan peralatan dan keahlian. ”Sejauh ini pekerja bantuan asing tidak diperlukan,” ujar Laksamana Madya Soe Thein dari Dewan Kepemimpinan Militer.
Memang, pemerintah Burma selalu melihat pihak asing, terutama negara-negara Barat, bertujuan campur tangan politik dalam negeri mereka. ”Pasokan bantuan bersyarat yang dibawa kapal perang dan helikopter (Amerika) tidak diterima rakyat Burma. Kami dapat mengelola diri kami,” tulis koran pemerintah New Light of Burma—yang tentu saja projunta.
Padahal negara itu butuh bantuan sebesar-besarnya. Angka kematian resmi yang diumumkan pemerintah Burma mencapai 78 ribu jiwa. Kerugian yang diderita sekitar US$ 10 miliar (sekitar Rp 94 triliun). Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Palang Merah Internasional memperkirakan korban tewas berkisar 100-138 ribu jiwa.
Menurut seorang perempuan di kota kecil Labutta, di dekat pesisir barat daya Rangoon, ada 14 desa yang diterjang Nargis, angin berkekuatan 190 kilometer per jam. Di persawahan ia melihat enam jasad manusia bercampur dengan bangkai hewan. ”Mereka membusuk dan tidak ada orang yang mengangkatnya,” ujar perempuan itu. Penduduk yang selamat di kawasan selatan Burma kini tinggal dengan jasad-jasad membusuk.
Dunia pun berteriak. Tekanan internasional berlanjut dari berbagai arah. Menteri Luar Negeri Prancis Bernard Kouchner menyatakan junta militer Burma dapat dinyatakan bersalah atas kejahatan kemanusiaan jika terus menghambat pasokan bantuan. ”Lupakan politik. Biarkan bantuan dan pertolongan sampai ke tangan yang menderita dan sekarat,” ujar Perdana Menteri Australia Kevin Rudd.
Suara keras para pemimpin negara dunia lewat media tak mempan. Maka Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon pun mengirimkan surat kepada pemimpin junta, Jenderal Senior Than Shwe. Tapi itu pun tak berbalas. Ban menelepon Than Shwe. Namun, sang jenderal menolak menerima.
Melihat sikap pemerintah Burma yang kukuh menolak ”intervensi” asing, Menteri Luar Negeri Prancis Kouchner makin meradang. Dia menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa campur tangan dengan cara kekerasan atau akan dipersalahkan karena menjadi pengecut di mata dunia. Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) pun ikut dipersalahkan karena dinilai terlalu lunak terhadap Burma.
Perhimpunan Negara Asia Tenggara ini akhirnya bereaksi. Kemarahan Menteri Kouchner dinilai hanya akan melahirkan komplikasi yang tak perlu. Sebab, kalau ditekan lebih keras, dikhawatirkan sikap pemerintah Burma makin kaku dan tertutup. ”Itu hanya akan membuat penduduk Burma lebih menderita,” ujar Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo.
”Lagi pula kami juga sangat kesulitan menghadapi sikap sensitif dan penuh curiga,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Negara Asia Tenggara Surin Pitsuwan. Menurut bekas Duta Besar Thailand untuk Burma, Asda Jayanama, junta militer takut orang asing datang dan mengeksploitasi situasi sehingga melemahkan rezim.
Akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang meminta Perhimpunan Negara Asia Tenggara menjembatani dunia internasional dengan Burma. Sebab, bagaimanapun Burma adalah salah satu anggota perhimpunan tersebut. Maka berlangsunglah pertemuan darurat menteri luar negeri organisasi ini di Singapura, Senin pekan lalu. Rapat itu, menurut seorang diplomat di Manila, dapat terjadi setelah para jenderal Burma menganggukkan kepala.
Hasilnya, Burma setuju perhimpunan itu mengkoordinasikan bantuan asing. ”Kami akan membuat mekanisme agar semua bantuan dari seluruh dunia bisa mengalir ke Burma,” ujar Yeo. Dan Perhimpunan akan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengkoordinasikan pengiriman bantuan. Tapi masuknya sukarelawan dari negara di luar anggota Perhimpunan tetap dibatasi. ”Burma setuju mengizinkan 13 orang tim medis dari sembilan negara ASEAN,” kata Yeo.
Menurut The Economist, tugas Perhimpunan adalah meyakinkan pemerintah Burma bahwa masalah yang akan didapat oleh rezim Burma dengan mengizinkan bantuan asing masuk jauh lebih kecil ketimbang bila mereka ngotot melarangnya. Sebab, sejak 2005, Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki doktrin ”tanggung jawab untuk melindungi”. Artinya, bila satu pemerintah tak bisa atau tak ingin melindungi warganya, lembaga itu berhak turun tangan meski dengan melanggar kedaulatan negara.
Masalahnya, akan seberapa efektifkah bantuan asing beserta sukarelawan masuk, menyebar, dan menolong korban bencana yang sudah terkatung-katung lebih dari tiga minggu. Apalagi kondisi korban yang masih hidup dipastikan memburuk. Dan yang lebih penting, akan selebar apakah junta militer Burma membuka pintu untuk bantuan asing.
Nah, mampukah Perhimpunan berperan signifikan? Entahlah. Tapi, bila berkaca pada proses ”perkawinan” Burma dengan Perhimpunan Negara Asia Tenggara pada 1997, sepertinya Perhimpunan tidak dapat berperan cukup penting. Sebab, waktu itu hanya Malaysia, Indonesia, dan Singapura yang setuju menerima Burma. Lainnya menolak dengan alasan Burma diperintah rezim represif.
Pertimbangan menerima Burma lebih berdasarkan faktor geopolitis, yaitu untuk membendung pengaruh Cina di negara tersebut. Adapun Indonesia dan Malaysia menerima Burma, dengan pertimbangan tambahan, yaitu agar rezim Burma memperlakukan minoritas muslim di Rohingyas—pengungsi dari Bangladesh pada 1992—dengan baik. Singapura lebih untuk melindungi investasinya di Burma, karena negara ini adalah negara Asia Tenggara yang memiliki investasi terbesar di Burma.
Dan setelah masuknya Burma ke Perhimpunan, krisis ekonomi menerpa Asia. Negara-negara Asia Tenggara lebih sibuk membenahi perekonomian dalam negeri ketimbang menyapa dan menjalin hubungan dengan saudara barunya. Menurut Aung Zaw, aktivis Burma yang banyak menulis di berbagai media, ”perkawinan” Burma dengan Perhimpunan tidak dilanjutkan dengan bulan madu yang baik. Karena proses dari awalnya kurang mulus, menurut Zaw, sampai kini pun Burma tetap menjadi ganjalan di Perhimpunan. ”Namun, ASEAN tetap punya tanggung jawab moral membantu Burma keluar dari masalah,” demikian tulisnya.
Raihul Fadjri (BBC, AP, NY Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo