Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FELIPE MASSA, pembalap Ferrari, merasa dirinya goblok lantaran mobilnya ngadat saat bertanding. ”My car is very bad,” ungkap Felipe saat ditemui tim Korap Cak! di Australia kemarin. Penonton sorak-sorai melihat mobil Felipe mogok. ”Makanya kalau punya mobil mesinnya jangan curian. Itu akibatnya. Kualat, kan…?” celetuk seorang penonton. Selengkapnya baca: Kualat halaman 8.
Mungkin Anda akan menyesal jika mempercayai berita berjudul ”Lho... Ferrari Kok Ngadat Ya?” itu. Sebab, nasib sial yang dialami pembalap Formula 1 berkebangsaan Brasil tadi hanya rekaan ”jurnalis” cilik bernama Bintang Maulana Zakariya di Korap Cak!—”Korap” itu singkatan ”Korane Wong Sarap”. Kata ”Cak” diimbuhkan sebagai panggilan khas Jawa Timur.
Bintang juga membuat pamflet di atas kertas bekas kalender. Poster yang ditempel di tembok kompleks Yayasan Bani Hasyim itu dibubuhi tulisan: ”Dijual Cepat Sekolahan Bani Hasyim, Dijual GOR Bani Hasyim Rp 5.000.000, hubungi Danang -0815594379 (nomor rekaan), Wanted! Aji Nur Afifatul, umur 13 tahun.”
Bisa dimaklumi jika pengelola Yayasan Bani Hasyim jadi sewot. Bintang, yang suka usil itu, diadukan ke Kepolisian Sektor Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Pada 19 Maret lalu, bocah 14 tahun itu diperiksa sebagai tersangka pencemaran nama baik. Ancamannya hukuman penjara lima tahun. ”Itu ide saya, hanya untuk bercanda,” kata sulung dari tiga bersaudara anak pasangan Khoirul Abadi dan Hidayah itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di sekolah ataupun di rumah, murid kelas II Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Malang itu memang dikenal ”lasak”. Di samping menerbitkan ”koran”, ia rajin membikin karikatur dan komik serta gemar berdebat. ”Kalau bertanya, persis wartawan, kritis dan detail,” kata Hidayah.
Bintang tinggal bersama orang tuanya di Perumahan Persada Bhayangkara Blok L-15, Penganten, Singosari, Kabupaten Malang. Rumah ini sekaligus alamat redaksi Korap Cak!. Menurut Bintang, nama koran itu muncul begitu saja dari benaknya, awal tahun lalu.
Koran ini dicetak di kertas folio bekas, terbit 12 halaman. Oplahnya tergantung sisa kertas kerja ayahnya yang mengajar di Universitas Muhammadiyah Malang. Bintang tak mencantumkan tanggal terbit pada medianya yang baru dua edisi itu. Pada bagian kiri bawah halaman depan tercantum banner hari Minggu. Di tengahnya terpampang jargon: ”Selalu Ada yang Lama”. Label harga Rp 1.000.
Semua artikel ditulis tangan. Foto-foto dicomot dari koran bekas, kemudian diberi teks sesuka hati Bintang. Di halaman depan Korap Cak! edisi kedua, misalnya, terpasang foto seorang pejabat gemuk berkumis, berbaju safari dan berpeci, memberikan pengarahan lagaknya seorang presiden. Berita itu diberi judul ”Pak De Ngapusi?” Teks fotonya: ”Hanya Bengong, Pak De Yit ngapusi wong-wong”.
Maksud berita itu, seorang pejabat di tengah warga dan perangkat desa berpidato soal bantuan langsung tunai dari pemerintah pusat. Pemanfaatan bantuan tak sesuai dengan keinginan warga. Saat itu warga membutuhkan jamban, tapi sarana penting itu tak disinggung. Korap Cak! menilai sang pejabat berbohong.
Pada rubrik sastra, sejumlah peribahasa dipelesetkan. Misalnya: ”Air susu dibalas dengan air mail”, ”Ma’lu bertanya Ma’gue yang jawab”, ”Nasir sudah menjadi tukang bubur”. Memang ada yang menganggap Bintang anak edan. ”Padahal saya waras seratus persen,” katanya.
”Iklan” di Korap Cak! tak kalah kocak. Gambar Mak Erot, konsultan masalah seksual yang kerap muncul di koran-koran, digunting dan teksnya diganti. ”Awas! Mak Erot ’tembakan’. Cari Mak Erot asli”.
Menurut Hidayah, ”aktivitas jurnalistik” Bintang muncul secara alami. Guru andalannya koran, radio, dan televisi. Setiap kali ada artikel atau foto menarik dia gunting, lalu dikliping.
Pada satu buku setebal 36 halaman, Bintang menumpahkan unek-uneknya. Cita-citanya menjadi dokter sekaligus wartawan. Menjadi dokter, katanya, untuk mengobati orang miskin. Adapun menjadi wartawan, ”Saya mau investigasi membongkar kasus korupsi.” Ia segera menambahkan, ”Jadi wartawan itu enak. Sering jalan-jalan. Saya pingin lihat piramida di Mesir.”
Ngobrol dengan Bintang memang bisa asyik. ”Walau umurnya baru belasan tahun, tutur katanya teratur,” kata Sumali, anggota Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Di sekolah, Bintang masuk sepuluh anak pandai di dalam kelasnya. Ia sekaligus ditunjuk menjadi pengurus majalah dinding.
Hidayah mengaku tak ada pelajaran tambahan atau les privat untuk anaknya. Pulang sekolah, Bintang dibebaskan memilih kegiatan. Biasanya, waktu senggang dihabiskannya membaca novel. Ia baru saja menuntaskan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dalam dua hari.
Ia juga tak pernah melewatkan kesempatan berselancar di dunia maya. ”Biar otak saya enggak kosong dan tidak ketinggalan informasi,” katanya. ”Dari Internet saya mencari bahan untuk Korap Cak! dan majalah dinding di sekolah.”
Hidayah, 38 tahun, menyadari anaknya berbuat keliru dalam kasus poster di tembok Yayasan Bani Hasyim Malang. Gara-gara itu pula Aji Dedi Mulawarman, pengelola yayasan yang sekaligus orang tua Aji Nur Afifatul, marah besar kepada keluarga Bintang. ”Saya melindungi anak saya,” katanya. ”Bagaimana kalau sampai diperkosa atau diculik gara-gara tulisan itu?”
Aji menyesalkan pemberitaan seolah ia memasung kreativitas Bintang. ”Saya melapor ke polisi atas nama pribadi, bukan atas nama sekolah,” katanya. Ia menambahkan, anak kreatif boleh-boleh saja, tapi janganlah sampai mengganggu, apalagi mengancam keselamatan jiwa orang lain.
Keluarga Bintang diminta membuat permintaan maaf secara terbuka melalui koran nasional. ”Ini bagian dari penyelesaian secara kekeluargaan,” kata Masykur Reza, pengacara keluarga Aji Dedi Mulawarman. Tapi kedua orang tua Bintang keberatan.
Permintaan maaf secara langsung sudah dilakukan, pada 15 Mei lalu. ”Anak saya cuma keliru menempelkan kata wanted dan sekolah itu mau dijual,” kata Khoirul Abadi, 44 tahun. ”Itu pun sebenarnya sekadar bercanda.” Selain bertetangga, Bintang dan Aji Nur Afifatul teman satu sekolah.
Kepala Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Besar Edy Sukaryo sudah mencoba mendamaikan keluarga Bintang dan keluarga Aji Nur Afifatul. Walau begitu, pengaduan keluarga Aji tetap diproses. ”Sebaiknya memang diselesaikan secara kekeluargaan,” kata Edy. ”Kami menunggu negosiasi kedua keluarga.”
Elik Susanto, Abdi Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo