SUASANA rumah sakit di Ratchaburi, 120 kilometer sebelah barat Bangkok, sangat menegangkan, Senin pagi pekan lalu. Sekitar selosin pasukan bersenjata yang menamakan dirinya "God's Army" atau "Tentara Tuhan"—kelompok perlawanan Karen—menyerbu rumah sakit sembari memberondongkan tembakan ke segala arah. Mereka menyandera ratusan pasien, pegawai, dan pengunjung rumah sakit. "Tapi, kami tidak ingin melukai siapa pun. Kami hanya ingin menunjukkan kepada dunia betapa menderitanya nasib pengungsi Karen dan Birma," kata Nui, salah satu anggota "Tentara Tuhan".
Adapun yang menjadi tuntutan anggota Tentara Tuhan adalah fasilitas kesehatan untuk rakyat Karen yang terluka akibat dikejar dan dianiaya oleh tentara Myanmar. Sayangnya, tentara Thailand memilih untuk tidak berunding. Letnan Jenderal Taweep Suwanasingha, komandan tentara di daerah itu, memutuskan melakukan serangan mendadak, Selasa subuh, 25 Januari silam.
Dalam waktu singkat, nyaris tanpa perlawanan, tentara Thailand berhasil menewaskan 10 orang penyerang. "Karena kita menembak lebih cepat dari mereka," kata Perdana Menteri Chuan Leekpai, dalam pernyataan resminya.
Selesaikah masalahnya? Tentu saja tidak. Persoalan perlawanan Karen, termasuk Tentara Tuhan, terhadap pemerintah Myanmar merupakan produk sikap pemerintahan junta militer Myanmar yang represif. Junta militer Myanmar, State Peace and Development Council (SPDC), yang sebelumnya dikenal dengan SLORC (State Law & Order Restoration Council, sejak 1988), tidak bersedia berkompromi sedikit pun dengan Karen. Sejak Myanmar merdeka pada 1948, etnis Karen sudah tidak mendapat pengakuan dan terus-menerus ditindas.
Akibatnya, etnis Karen terpaksa menyeberang ke Thailand untuk menyelamatkan diri dari buruan tentara Myanmar. Aksi melintas batas itu memang bukan hal yang baru. Tapi, pengungsian itu meningkat pesat dalam tiga bulan belakangan ini—yaitu pada musim kering—karena tentara Myanmar meningkatkan aksi pengejaran terhadap suku Karen. Pengungsi Karen di wilayah perbatasan Thailand meningkat dari 18 ribu orang menjadi 100 ribu orang.
Getah persoalan pengungsi Karen yang merembes ke Thailand tidak sekadar terbatas pada aliran pengungsi, tapi juga aksi bersenjata seperti di Rumah Sakit Ratchaburi. Pada Oktober 1999, misalnya, juga terjadi penyerangan oleh kelompok bersenjata Vigorous Burmese Student Warrior di kedutaan Myanmar, Bangkok. Pada saat itu, tentara Thailand membiarkan lima orang aktivis Vigorous Burmese selamat ke hutan perbatasan Thailand—Myanmar dan bergabung dengan Tentara Tuhan.
Sebenarnya, Tentara Tuhan dan Vigorous Burmese bukanlah kelompok yang brutal. Bahkan, pihak yang disandera mengakui bahwa pihak kelompok perlawanan pemerintah Myanmar bersikap sopan. Bahkan, para bekas sandera bersimpati pada ketertindasan aktivis perlawanan pemerintah Myanmar. Pada peristiwa penyanderaan di kedutaan Myanmar, para sandera malah menangis ketika lima orang Vigorous Burmese diangkut oleh helikopter tentara Thailand ke hutan.
Namun, persoalan suku Karen tidak akan selesai dengan hanya rasa simpati. Meskipun rakyat Karen adalah kelompok yang tertindas, arus pengungsian mereka juga mengganggu hidup penduduk Thailand di perbatasan. Belum lagi, di antara pengungsi tersebut terdapat kelompok bersenjata yang bisa membahayakan keselamatan penduduk sipil Thailand. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa belum menerapkan langkah konkret untuk pengungsi Karen di Thailand.
Lalu, bagaimana cara mengatasi masalah pelintas batas Karen? Pemerintah Thailand memutuskan untuk memburu kelompok bersenjata Karen yang ikut menyelundup dengan kelompok Karen yang tak bersenjata. Bahkan, mulai akhir minggu lalu, Jenderal Surayud Chulanond, komandan angkatan bersenjata Thailand, mulai merazia daerah hutan kawasan Thailand yang kemungkinan dipakai untuk bersembunyi pasukan Tentara Tuhan dan pasukan sempalan Karen lainnya. Operasi tentara Thailand tersebut diberitakan mampu menjaring puluhan pentolan Tentara Tuhan.
Bisa dipastikan, aksi militer yang dilakukan oleh tentara Thailand akan membuat kelompok Tentara Tuhan makin terjepit. Sementara itu, pihak pemerintah Myanmar sama sekali tidak bisa diharapkan bersedia berkompromi. Perasaan makin terancam oleh dua kekuatan besar itu, Thailand dan Myanmar, bisa membuat kelompok Tentara Tuhan semakin ganas. Dan sekali lagi, seperti peristiwa penyanderaan pasien rumah sakit, masyarakat sipil dengan mudah akan menjadi korban tak berdosa.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini