Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sulitnya Meliput Konflik di Maluku

Dalam pemberitaan konflik di Maluku, media massa dinilai telah berpihak kepada kelompok tertentu. Di lapangan, wartawan memang sulit melakukan peliputan berimbang.


30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUCE Serpara tampak tegang. Kemarahan terlihat jelas di wajah laki-laki kelahiran Maluku itu. Penyulutnya adalah headline sebuah koran Ibu Kota yang menyebutnya sebagai provokator kerusuhan di Maluku yang tidak kunjung mereda setelah meletus sekitar setahun silam. Akibatnya, Buce harus hengkang dari rumahnya mencari tempat persembunyian. "Pers telah memfitnah tanpa konfirmasi. Pers ikut memperburuk keadaan di Maluku," kata Buce dengan suara bergetar sambil membanting koran yang membuatnya gusar itu.

Agaknya, kemarahan Buce merupakan buah dari beberapa pemberitaan awak media massa yang kentara sekali telah meliput konflik Maluku secara tak berimbang. Asas cover both sides—sebuah prinsip yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia jurnalistik—rupanya tak lagi menjadi pegangan dalam pemberitaan konflik berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) itu.

Menurut pengamat media massa, Atmakusumah, saat ini memang terjadi keberpihakan pers kepada kelompok tertentu. Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo itu memberikan contoh harian umum Republika dan majalah Sabili yang tendensinya dinilai sangat berpihak kepada kelompok Islam. Selain membuat pemberitaan yang tidak berimbang, kedua media ini umumnya hanya mengutip sumber—baik yang terlibat konflik di lapangan maupun yang tidak—dari kelompok Islam. "Sumber man on the street selalu emosional. Informasi mereka umumnya tidak sesuai dengan fakta," kata Atmakusumah.

Simak saja kutipan sebagian headline Republika edisi 23 Januari lalu: "Wartawan itu mengungkapkan, rumah-rumah penduduk dan masjid-masjid di perkampungan sepanjang jalan ke Jailolo telah menjadi puing karena dibumihanguskan pasukan merah." Selain menuliskan hasil reportase di lapangan, Republika mengutip pernyataan lima orang sumber yang semuanya berasal dari kelompok Islam. Tak satu pun sumber dari kelompok Kristen disebut-sebut.

Menanggapi tudingan miring tersebut, Redaktur Eksekutif Republika Ikhwanul Kiram Mashuri tenang-tenang saja. Alasannya, menurut alumni Universitas Al-Azhar Mesir ini, sepele saja: persoalan tenggat waktu. Republika, katanya, harus menepati tenggat yang sudah ditetapkan sehingga, untuk kasus itu, asas keseimbangan tak menjadi prioritas utama. "Itu bukan persoalan serius. Masalah ini karena menyangkut deadline," kata Ikhwanul.

Lain halnya majalah Sabili. M. Zaenal Mutaqqin, Pemimpin Redaksi Sabili, terang-terangan mengakui bahwa media yang dikelolanya memang berpihak kepada kelompok Islam. "Sabili memang membela Islam. Sudah lama media massa tidak membela Islam," kata Zaenal kepada Edy Budiyarso dari TEMPO.

Direktur Eksekutif Lembaga Konsumen Pers Surabaya (LKPS) Sirikit Syah melihat sikap media massa dalam pemberitaan konflik Maluku memang terbelah dua. Satu kelompok bersikap hati-hati, sedangkan kelompok lain cenderung menampilkan berita yang bombastis. Harian Kompas, meski sering dicap sebagai media yang mewakili kelompok Kristen, dinilai Sirikit relatif netral karena bersikap hati-hati. Berita soal konflik Maluku selalu dikemas dalam tulisan yang cukup berimbang.

Penilaian Sirikit agaknya tak salah. "Dalam kasus Maluku, Kompas memang sangat hati-hati. Kami lebih memilih sumber-sumber resmi pemerintah," kata August Parengkuan, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas.

Bagi Ulil Abshar Abdalla, peneliti Institut Studi Arus Informasi, kenetralan Kompas tidaklah selalu berarti baik. Dengan pilihan sikapnya itu, Kompas justru tidak bisa menampilkan berita yang jernih dan jujur. Banyak fakta yang dicoba ditutup-tutupi. "Dengan cara ini, masyarakat tidak mengetahui kejadian sebenarnya," kata Ulil.

Meski begitu, pengelola media watch Pantau ini maklum bahwa saat ini memang tidak mudah bagi wartawan untuk menyajikan berita berimbang tentang konflik di Ambon. Kendala yang ditemukan wartawan di lapangan sangat besar. Seorang wartawan yang beragama Islam tidak bisa masuk ke wilayah Kristen. Begitu juga sebaliknya. Masalah ini sangat dirasakan pihak Kompas. Mungkin, karena itu, Kompas memilih bersikap hati-hati. "Kami tidak ingin wartawan Kompas mati konyol," ujar August.

Apa boleh buat. Konflik Maluku yang sarat dengan kekerasan dan pertentangan agama, akhirnya, dikemas dalam kepingan-kepingan mosaik berita yang tak pernah utuh. Menyedihkan bila akhirnya media massa terseret dalam eskalasi pertentangan itu.

Setiyardi, Dwi Arjanto (Jakarta), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum