Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Anak-Anak "Tentara Tuhan"

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersinar mata bening dan berlidah hitam. Inilah identitas si kembar Johnny dan Luther Htoo. Tak ada yang menyangka bahwa sepasang bocah berusia 12 tahun dari suku Karen itu—suku minoritas yang hidup di perbatasan Myanmar dengan Thailand—adalah pemimpin kelompok pejuang "Tentara Tuhan". Dua anak laki-laki yang punya hobi merokok itu diidentifikasi sebagai pemimpin tertinggi pasukan yang menyerbu Rumah Sakit Ratchaburi. Johnny adalah paruh kembar yang berwajah seperti anak perempuan, dengan rambutnya yang gondrong, sedangkan Luther, yang separuh botak, berwatak beringas dan sulit diduga. Namun, baik Johnny maupun Luther bersikap dingin. Saat diwawancarai, dengan muka dingin mereka menceritakan sejumlah tentara Myanmar yang mati akibat aksi nekatnya seperti melempar granat. "Saya tidak pernah menangis," kata Luther. Di samping itu, kelompok Tentara Tuhan yang beragama Kristen itu memiliki pantangan seperti alkohol, memaki, makan babi dan telur. Kisah tentang Johnny dan Luther Htoo adalah gabungan antara mitos dan kenyataan. Para pengikutnya, yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa, menganggap pasangan tersebut adalah keturunan dewa. Mereka dipercaya tidak mati walaupun berada di atas ranjau tanah. Itu dibuktikan ketika terjadi serangan besar-besaran yang dilakukan tentara Myanmar ke desa-desa berpenduduk suku Karen, tiga tahun lalu. Ketika itu pasukan dari Karen National Union (KNU), gabungan kelompok perlawanan Karen, lari ke hutan karena diburu tentara Myanmar. Adalah pasangan kembar Johnny dan Luther yang mendatangi dan membunuhi tentara Myanmar dengan granat dan senapan otomatis AK47. Sejak itu, cerita tentang keberanian Johnny dan Luther menyebar ke seantero hutan perbatasan Thailand-Myanmar. Sejak saat itu pula kelompok Tentara Tuhan dikenal orang. Bahkan, Tentara Tuhan—sempalan KNU yang paling militan dan diperkirakan memiliki anggota hanya sekitar 200 orang—memiliki citra sebagai pasukan berani mati. Sebenarnya, keberadaan kelompok ini harus dipahami sebagai kelanjutan dari sejarah panjang perjuangan etnis Karen sejak Burma mendapat kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Sebagai minoritas di Myanmar—dengan populasi 7 juta jiwa—Karen sama sekali tak mendapat hak hidup dan pengakuan oleh etnis Burma dan pemerintah Myanmar. Padahal, suku Karen adalah kelompok yang pertama kali datang di kawasan Kaw Lah—sekarang merupakan wilayah Burma—sejak 739 SM. Semula, masyarakat Karen hidup dalam damai hingga mulai terlibat dalam konflik dengan bangsa Burma sebelum masa Perang Dunia II (1942-1945). Mulai saat itulah, bangsa Karen ditindas, dibunuh, dianiaya, dan diperkosa, sehingga mereka terdesak dan melarikan diri ke hutan dan pegunungan. Sejak saat itu juga, Karen harus terisolasi dari peradaban dan hidup di bawah ancaman penyakit hutan tropis, seperti malaria. Kalaupun ada suku Karen yang masih tinggal di kawasan Burma, mereka dijadikan budak. Kondisi hidup suku Karen agak membaik di bawah penjajahan Inggris, tapi kembali merosot tajam setelah Jepang menjajah Burma, selama Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II usai, bangsa Karen memutuskan untuk mendirikan negara merdeka, tanpa bergantung pada pihak lain. Sayang, misi Karen ke Inggris—sebagai bekas penjajah yang baik hati—untuk meminta bantuan mendapat pengakuan kemerdekaan ditolak oleh pemerintah Inggris. Yang membuat bangsa Karen semakin terpuruk adalah ketika Burma, yang berubah nama menjadi Myanmar, mendapat kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948, sementara nasib bangsa Karen terabaikan. Sementara itu, kemampuan bangsa Karen dalam berstrategi pernah dimanfaatkan oleh pemerintah Myanmar. Pada saat U Nu—bekas Sekretaris Jenderal PBB—menjadi Perdana Menteri Burma (1948), terjadi pemberontakan kelompok komunis, Red Flag Communist Party. U Nu meminta bantuan bangsa Karen, yang pada saat itu membentuk Karen National Defence Organization (KNDO), untuk mengamankan beberapa daerah strategis, termasuk Rangoon. Tapi, setelah berhasil, Karen malah dikhianati pemerintah Myanmar dengan melarang KNDO dan menangkap para pemimpinnya. Dan, setelah itu, sejarah bergulir. Bangsa Karen, termasuk anak buah si Kembar Johnny dan Luther, terus berjuang di dalam hutan…. Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus