PRESIDEN Carter seolah mengharapkan "hadiah Natal" dari
Teheran, terutama setelah Syah Mohammad Reza Pahlevi bersama
keluarganya akhirnya meninggalkan AS. Posisi Iran memang makin
terpojok, namun belum kelihatan tanda-tanda bahwa harapan Carter
itu akan dikabulkannya. Tampaknya penyanderaan 50 orang Amerika
di Teheran belum akan berakhir pada hari Natal nanti.
Bahkan begitu Syah bersama keluarganya tiba di pulau Contadora,
Panama, Sabtu pekan lalu, reaksi mahasiswa Iran makin keras.
Dalam 2 pernyataan yang secara berturut-turut disiarkan Minggu
lalu, mahasiswa Teheran tetap mengecam sikap AS. "Syah memang
sengaja disuruh meninggalkan AS," kata mereka. Dan mereka sekali
lagi mengancam bahwa para sandera akan segera diadili.
Sebelum berangkat Syah yang kelihatan pucat dan masih lelah itu
sempat bertemu dengan wartawan di rumah kediaman Dubes Panama di
AS, Gabriel LewisGalindo.Tampak dia berusaha untuk senyum, dan
tak banyak kata yang diucapkannya kecuali, "saya bahagia dan
gembira bisa menetap di sana," ujarnya. Melalui siaran teve,
Presiden Aristedes Royo mengatakan Panama telah memberikan suaka
kepada Syah Iran "sebagai sumbangan bagi penyelesaian krisis
dunia yang ditimbulkannya. "
Pada tingkat pertama keluarnya Syah dari AS akan memojokkan Iran
dalam opini dunia. Apalagi 15 negara anggota NATO telah
menyatakan dukungan kepada AS dalam menghadapi konflik dengan
Iran. Dalam sebuah pernyataan, para anggota NATO itu mengutuk
perbuatan mahasiswa Iran yang menyandera orang Amerika itu. "Itu
adalah pelanggaran keji terhadap hukum internasional dan hak
asasi manusia," kata mereka. Pernyataan ini rupanya
menggembirakan AS, suatu hasil perlawatan Menlu AS, Cyrus Vance
ke Eropa.
Bahkan Pemerintah Jepang untuk pertama kalinya -- setelah masa
penyanderaan memasuki minggu ke-8 - ikut menyerukan supaya para
sandera dibebaskan secepat mungkin. Dalam suatu jumpa pers pekan
lalu, PM Masayoshi Ohira mengatakan bahwa penyanderaan dengan
alasan apapun merupakan pelanggaran hukum internasional, dan
dari segi kemanusiaan itu tak dapat diterima.
Sasaran Diplomasi
Jepang mengumumkan pula pengurangan pembelian minyaknya dari
Iran. Tindakan Jepang yang diduga akibat tekanan AS itu, terasa
aneh, apalagi selama ini Jepang dikenal sebagai pembeli minyak
yang paling 'rakus'. Sejak AS menghentikan impor minyak dari
Iran, Jepang telah membeli 20 juta barrel dengan harga premium
dari Iran.
Dengan tindakan Jepang ini, Iran mungkin akan mulai merasakan
semacam 'embargo' terhadap perekonomiannya. Embargo terhadap
Iran itu merupakan sasaran diplomasi AS. AS juga sudah
menghimbau PBB untuk menggunakan pasal 7 Piagam PBB tentang
sanksi ekonomi yang dikenakan kepada negara yang tindakannya
mengancam perdamaian dan keamanan dunia.
Namun Dubes Soviet di PBB, Oleh Troyanovsky, rupanya menolak
mentah-mentah usul AS itu. Sebagai anggota Dewan Keamanan Soviet
bisa menggunakan hak vetonya untuk mencegah keluarnya sanksi
ekonomi itu. "Saya kira kami akan menentangnya," kata
Troyanovsky.
Tekanan terhadap Iran tampaknya Inakin keras setelah Mahkamah
Internasional di Den Haag Sabtu lalu secara bulat menyerukan
kepada Iran agar melepaskan para sandera. Keputusan Mahkamah ini
diambil tanpa mendengarkan keterangan dari wakil Iran. Walaupun
mahkamah tak mempunyai aparat polisionil, keputusannya paling
tidak secara moral menguntungkan AS dalam menghadapi Iran.
Di Iran sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara sesama
pencetus revolusi. Bahkan Sheikh Sadeq Khalkhali, yang dikenal
paling berkuasa pada pengadilan revolusi, mempunyai pendapat
lain tentang nasib para sandera. "Tak seorang pun di antara 50
sandera itu akan dihukum mati, meskipun mereka diadili sebagai
mata-mata," kata Khalkhali. Dia yang selama ini dituduh 'hakim
pembunuh' juga mengritik penyanderaan itu.
Namun terhadap Syah Iran sikap Khalkhali masih tetap seperti
semula. Dari markas besarnya di Qom, Khalkhali sekali lagi
menegaskan bahwa suatu pasukan untuk membunuh Syah dan
pendukungnya tetap akan terus bekerja sampai mereka semua
ditemukan mati. Dia juga mengaku bertanggung jawab atas
pembunuhan terhadap keponakan Syah 2 pekan lalu. Syahriar
Mousthapha Syafik, 34 tahun, putra dari Putri Ashraf, mati
ditembak ketika sedang berjalan di sebuah jalan buntu di Villa
Dupont, Paris.
Bagaimana pun besarnya perbedaan pendapat di antara tokoh
revolusi itu, kata akhir tetap berada di tangan Ayatullah
Khomeini. Suatu semangat anti Barat merupakan bagian dari
ideologi Khomeini. Dan semangat itu masih nekad terhadap ancaman
apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini