Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"Hadiah natal" dari Ayatullah ?

Syah reza pahlevi mendapat suaka di panama. reaksi mahasiswa di taheran makin keras. sementara as berdiplomasi untuk menjatuhkan sanksi ekonomi. nato mendukung tapi us menentang.(ln)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Carter seolah mengharapkan "hadiah Natal" dari Teheran, terutama setelah Syah Mohammad Reza Pahlevi bersama keluarganya akhirnya meninggalkan AS. Posisi Iran memang makin terpojok, namun belum kelihatan tanda-tanda bahwa harapan Carter itu akan dikabulkannya. Tampaknya penyanderaan 50 orang Amerika di Teheran belum akan berakhir pada hari Natal nanti. Bahkan begitu Syah bersama keluarganya tiba di pulau Contadora, Panama, Sabtu pekan lalu, reaksi mahasiswa Iran makin keras. Dalam 2 pernyataan yang secara berturut-turut disiarkan Minggu lalu, mahasiswa Teheran tetap mengecam sikap AS. "Syah memang sengaja disuruh meninggalkan AS," kata mereka. Dan mereka sekali lagi mengancam bahwa para sandera akan segera diadili. Sebelum berangkat Syah yang kelihatan pucat dan masih lelah itu sempat bertemu dengan wartawan di rumah kediaman Dubes Panama di AS, Gabriel LewisGalindo.Tampak dia berusaha untuk senyum, dan tak banyak kata yang diucapkannya kecuali, "saya bahagia dan gembira bisa menetap di sana," ujarnya. Melalui siaran teve, Presiden Aristedes Royo mengatakan Panama telah memberikan suaka kepada Syah Iran "sebagai sumbangan bagi penyelesaian krisis dunia yang ditimbulkannya. " Pada tingkat pertama keluarnya Syah dari AS akan memojokkan Iran dalam opini dunia. Apalagi 15 negara anggota NATO telah menyatakan dukungan kepada AS dalam menghadapi konflik dengan Iran. Dalam sebuah pernyataan, para anggota NATO itu mengutuk perbuatan mahasiswa Iran yang menyandera orang Amerika itu. "Itu adalah pelanggaran keji terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia," kata mereka. Pernyataan ini rupanya menggembirakan AS, suatu hasil perlawatan Menlu AS, Cyrus Vance ke Eropa. Bahkan Pemerintah Jepang untuk pertama kalinya -- setelah masa penyanderaan memasuki minggu ke-8 - ikut menyerukan supaya para sandera dibebaskan secepat mungkin. Dalam suatu jumpa pers pekan lalu, PM Masayoshi Ohira mengatakan bahwa penyanderaan dengan alasan apapun merupakan pelanggaran hukum internasional, dan dari segi kemanusiaan itu tak dapat diterima. Sasaran Diplomasi Jepang mengumumkan pula pengurangan pembelian minyaknya dari Iran. Tindakan Jepang yang diduga akibat tekanan AS itu, terasa aneh, apalagi selama ini Jepang dikenal sebagai pembeli minyak yang paling 'rakus'. Sejak AS menghentikan impor minyak dari Iran, Jepang telah membeli 20 juta barrel dengan harga premium dari Iran. Dengan tindakan Jepang ini, Iran mungkin akan mulai merasakan semacam 'embargo' terhadap perekonomiannya. Embargo terhadap Iran itu merupakan sasaran diplomasi AS. AS juga sudah menghimbau PBB untuk menggunakan pasal 7 Piagam PBB tentang sanksi ekonomi yang dikenakan kepada negara yang tindakannya mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Namun Dubes Soviet di PBB, Oleh Troyanovsky, rupanya menolak mentah-mentah usul AS itu. Sebagai anggota Dewan Keamanan Soviet bisa menggunakan hak vetonya untuk mencegah keluarnya sanksi ekonomi itu. "Saya kira kami akan menentangnya," kata Troyanovsky. Tekanan terhadap Iran tampaknya Inakin keras setelah Mahkamah Internasional di Den Haag Sabtu lalu secara bulat menyerukan kepada Iran agar melepaskan para sandera. Keputusan Mahkamah ini diambil tanpa mendengarkan keterangan dari wakil Iran. Walaupun mahkamah tak mempunyai aparat polisionil, keputusannya paling tidak secara moral menguntungkan AS dalam menghadapi Iran. Di Iran sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara sesama pencetus revolusi. Bahkan Sheikh Sadeq Khalkhali, yang dikenal paling berkuasa pada pengadilan revolusi, mempunyai pendapat lain tentang nasib para sandera. "Tak seorang pun di antara 50 sandera itu akan dihukum mati, meskipun mereka diadili sebagai mata-mata," kata Khalkhali. Dia yang selama ini dituduh 'hakim pembunuh' juga mengritik penyanderaan itu. Namun terhadap Syah Iran sikap Khalkhali masih tetap seperti semula. Dari markas besarnya di Qom, Khalkhali sekali lagi menegaskan bahwa suatu pasukan untuk membunuh Syah dan pendukungnya tetap akan terus bekerja sampai mereka semua ditemukan mati. Dia juga mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap keponakan Syah 2 pekan lalu. Syahriar Mousthapha Syafik, 34 tahun, putra dari Putri Ashraf, mati ditembak ketika sedang berjalan di sebuah jalan buntu di Villa Dupont, Paris. Bagaimana pun besarnya perbedaan pendapat di antara tokoh revolusi itu, kata akhir tetap berada di tangan Ayatullah Khomeini. Suatu semangat anti Barat merupakan bagian dari ideologi Khomeini. Dan semangat itu masih nekad terhadap ancaman apa pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus