Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hitamnya kayu hitam

Masalah penebangan kayu hitam di sulawesi semakin rumit. penertiban tak bisa jalan karena banyak perusahaan penebangan milik pejabat dari jakarta.(nas)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAYU hitam (ebony) termasuk langka di dunia. Di Indonesia hanya terdapat di Sulawesi, terutama di wilayah tengah, tenggala dan selatan. Di pasaran internasional harganya tinggi. Dalam bentuk gelondongan pernah mencapai $ 900 per ton, sedang kayu hitam gergajian waktu ini sampai 2.300 per ton dibanding sekitar $ 120 per m3 saat ini untuk kayu jenis lain seperti meranti. Tidak heran, pacuan untuk mereguk untung dari bisnis kayu hitam tergolong yang paling sengit. Dan melibatkan banyak orang, mulai buruh penebang sampai banyak pejabat. Luas hutan di Sulawesi Tengah 4.616.436 ha yang berarti 67,9% dari luas provinsi ini. Yang ditetapkan sebagai hutan produksi 3.588.276 ha. Sampai Desember 1979, daerah seluas ini sudah dibagi oleh 30 perusahaan. Baru 16 perusahaan yang surat keputusan !IPHnya keluar. Sisanya belum memenuhi persyaratan, misalnya belum mengadakan survai untuk menentukan rencana kerja tahunan (RKT) atau membayar luran Hasil Pengusahaan Hutan (IHPH). Sistem HPH di Sul-Teng baru dimulai 1973. "Sebelumnya semua hanya mengantongi izin penebangan," kata Hamdan Harudji, Kepala Seksi Pengusahaan Hutan Dinas Kehutanan Sul-Teng pada TEMPO. Pernah tercatat 85 perusahaan yang mendapat izin penebangan ini. Berlaku untuk setahun sejak 1972 jatah penebangan semua perusahaan ini cuma 68.240 ton. Entah bagaimana pengawasannya, setelah izin habis waktunya, catatan di Bank Indonesia Palu menunjukkan kayu hitam yang diekspor mencapai 75.718 ton. Pastilah telah terjadi penebangan liar -- karena waktu itu larangan ekspor kayu gelondongan belum ada. Untuk mencegah pembabaan hutan, Gubernur Sul-Teng -- waktu itu Tambunan -- sejak 7 Juni 1973 melarang penebangan liar. Maka penertiban pun mulai dilakukan. Antara lain ditetapkan, perusahaan yang pernah punya izin penebangan hanya boleh menurunkan kayu hitam ke pantai dan tidak boleh lagi menebang. Tapi belantara Sulawesi ternyata sulit diawasi. "Dengan aparat sedikit mengawasi hutan demikian luas, mau bilang apa," seorang petugas Dinas Kehutanan Sul-Teng berdalih. Dan penebangan liar pun berlanjut terus. Syahdan, DPRD Sul-Teng pun bergerak. Disahkannya Perda no. 5/197 yang antara lain menetapkan: kayu penebangan melebihi jumlah izin yang liberikan bisa disita Pemda Pelakunya bisa dihukum penjara 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 75.000. Peraturan daerah ini ternyata tak punya gigi. Setahun, dua tahun Perda terus berlaku, tanpa ada orang dihukum atau kayu disita. Sementara itu kayu hitam pun terus bergelimpangan rebah di hutan. Malah kemudian Pemda mengalah pada perusahaan penebangan yang secara formal sudah almarhum itu. Mereka diberi keringanan hasil penebangan liarnya boleh diekspor atau diantarpulaukan dengan syarat membayar apa yang disebut "selisih harga". Besarnya semula Rp 6.000 per ton, kemudian dinaikkan Rp 10.000. Belakangan inipun dinaikkan menjadi Rp 25.000 per ton. Tapi nyatanya penebangan liar -- yang tidak lagi liar karena toh membayar selisih harga -- melaju terus. Ketika sistem HPH mulai muncul di provinsi ini, terjadi beberapa sengketa. Di satu pihak pemegang HPH, di lain pihak perusahaan penebangan yang mengaku masih punya kayu sisa tebangan di hutan yang kini jadi hak pemegang HPH Misalnya konflik antara PT Sinar Alam dan PT Sinar Kaili (pemegang HPH), yang memuncak dengan bentrokan berdarah antara buruh kedua perusahaan itu akhir Agustus lalu. Dua karyawan Sinar Alam luka parah dan 3 traktor mereka dirusak. Juga sengketa antara PT Sinar Alam dan PT Batu Marupa yang mengundang turun tangannya opstib Pusat. Mengapa penertiban tidak bisa jalan Menurut sumber TEMPO, banyak perusahaan penebangan yang menjadi milik bapak-bapak pejabat dari Jakarta'. Selain itu ternyata banyak perusahaan penebangan yang dimiliki instansi pemerintah yang berdalih mencari dana bagi "kesejahteraan karyawan ". Yang tercatat punya stok dari hasil penebangan liar di antaranya PT Sindo milik Koperasi Departemen Dalam Negeri, Perusahaan Daerah Perhutanda milik Pemda Sul-Teng. Juga Primkopad Distrik Militer 1306, Koperasi Karyawan Kantor Gubernur Sul-Teng KORPRI Unit Kantor Gubernur Sul-Teng, Primkopak Komres 1907 dan Primkopad 711 Raksatama. Masuknya sistem HPH di Sul-Teng telah pula mengubah wajah daerah ini. Banyak desa yang kini dihiasi dengan pos penjagaan. Pos ini didirikan pemgang HPH untuk mencegah rakyat menebang kayu di arealnya. Sering kayu untuk ramuan rumah yang ditebang penduduk setempat disita -- hingga timbul protes. Rakyat setempat juga mengeluh karena banyak jalan yang rusak akibat sering dilewati traktor dan truk bermuatan kayu. Kalau ditegur, pengemudinya menjawab perusahaan mereka telah membayar iuran pembangunan jalan pada pemerintah pusat dan daerah. KEMELUT kayu hitam juga terjadi di Sulawesi Selatan. Keluarnya surat keputusan Menteri Perdagangan 3 Mei 1979 yang melarang ekspor kayu hitam dalam bentuk gelondongan membuat banyak pengusaha kelabakan. Beberapa pengusaha terpaksa menghentikan ekspornya. Tapi bisnis kayu hitam ternyata tetap ramai. Luwu, Wajo dan Sidenreng Rappang adalah penghasil utama kayu hitam di Sulawesi Selatan. Siwa, Wajo, dikenal sebagai pusat penampungan kayu yang diselundupkan dari Sulawesi Tenggara dengan perahu bermotor. Menurut penelitian, kayu hitam di Sul-Sel belum banyak yang memenuhi persyaratan Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang membatasi penebangan kayu hanya yang bergaris tengah 60 cm. Paling banter umumnya kayu hitam di Sul-Sel bergaris tengah 40 cm. Hingga merajalelalah penebangan liar dan pencurian kayu. Yang konon didalangi para pengusaha kayu juga. CARANYA: mereka memberikan uang panjar pada penduduk setempat untuk menebang kayu. Kemudian keluhan dilayangkan pada Pemda perihal penebangan liar dan pencurian kayu. Perhitungan mereka, jika Pemda kelak menyita kayu hasil tebangan liar dan pencurian itu. akhirnya toh akan jatuh ke tangan mereka lewat pelelangan. Benarkah ini? "Memang betul. Tapi itu perbuatan pengusaha yang tidak punya HPH," ujar Syamsul Bachri Syamsuddin, Direktur PT Serdid, yang mempunyai HPH di Wotu Luwu. Ribut-ribut itu mendorong Pemda Sul-Sel turun tangan. Tanggal 26 Juni lalu Gubernur Andi Oddang mengundang sekitar 20 pengusaha kayu pemegang HPH, PKS (Perjanjian Kerjasamd Dinas Kehutanan Provinsi Sul-Sel dengan pengusaha perkayuan), pemilik penggergajian kayu dan eksportir. Ditegaskan oleh Gubernur, bukan hanya kayu hitam yang akan ditertibkan, tapi juga administrasi dan aparat yang melaksanakan penertiban. Achmad Natsir, Kepala Biro Perekonomian Kantor Gubernur Sul-Sel sempat membeberkan kelakuan sementara pengusaha perkayuan dalam pertemuan itu. Pelanggaran yang dilakukan para pengusaha itu menurut Natsir berupa menadah dan membeli kayu hitam hasil tebangan liar di seputar hutan, lalu membawanya ke Ujungpandang. Bermacam cara yang digunakan untuk menyelundupkan kayu itu. Ada yang menggunakan mobil tangki atau truk tertutup. "Bahkan ada pengusaha yang menyewa anggota pramuka yang bernyanyi-nyanyi di atas truk berisi kayu untuk mengelabui petugas," ungkap Natsir. Banyak penduduk Palopo Siwa dan Sidrap yang membenarkan cerita Natsir. Bukan saja pramuka, bahkan sering anak-anak sekolah dimanfaatkan untuk menyelundup kayu dengan truk seakan-akan mereka pergi bertamasya. Menurut Andi Oddang, sasaran penertiban adalah: untuk kelestarian alam, tegaknya hukum di sektor kehutanan dan tegaknya wibawa pemerintah dan disiplin para aparat kehutanan dan penunjang lainnya. Sebab bukan rahasia lagi banyak pejabat yang bukan saja memberi an'gin, melegalisasikan dan mendorong adanya penebangan liar, malah cukup banyak yang terjun langsung dalam bisnis ini. Akibatnya, berbareng dengan heboh kayu hitam di Sul-Sel ini, terjadi mutasi besar-besaran di Dinas Kehutanan provinsi ini. Tim yang kemudian dibentuk Pemda mengadakan inventarisasi kayu hitam yang diduga hasil tebangan liar dan pencurian. Menurut catatan tim, ada 25.195 penggal kayu hitam tebangan liar atau 12.722 m3. Yang memenuhi persyaratan kualitas ekspor hanya 1.533 kubik. Menurut laporan Pemda pada DPRD, pungutan yang diterima dari "pemutihan" penebangan liar itu Rp 67 juta. Ini diragukan kalangan DPRD. "Kami mengkonstantasi adanya manipulasi jumlah, harga, kubikasi dan pemilikan," ucap H. Benyamin, Ketua Komisi C DPRD Sul-Sel. Menurut taksiran komisinya, pungutan itu seharusnya bisa mencapai Rp 460 juta. DPRD kini masih menunggu penjelasan terperincl Pemda. Tugas tim berakhir 31 Agustus 1979 dan secara institusional dilanjutkan lewat pengawasan dan koordinasi Gubernur dan para bupati. Tapi kenyataannya penyelundupan kayu hitam dengan gencar terus berlangsung. Rupanya sikap lunak Pemda yang tidak menyita hasil tebangan liar malah merangsang penyelundupan ini. Ketua Umum Kadin SulSel, Sjafoeddin, tak setuju kalau ditempuh cara penyitaan. "Karena itu bukan salah rakyat penebang di pedalaman," katanya. "Saya sanggup menyediakan kayu hitam berapa saja asal pembayarannya tunai," ujar seorang makelar kayu di salah satu hotel Ujungpandang pada TEMPO. Harganya mulai Rp 20.000 per penggal untuk yang bergaristengah 1520 cm sampai Rp 65.000 untuk yang bergaris tengah 40 cm ke atas. Soal izin? "Itu tidak menjadi masalah. Petugas sudah kendur pengawasannya. Mereka lebih memperhatikan pemasukan Ipeda," sahutnya. Menurut seorang makelar lain, soal pemeriksaan di jembatan timbang menjadi urusan supir. "Cukup memberikan salam tempel Rp 2.000 untuk jembatan timbang Maccopa Maros dan Rp 3.000 untuk jembatan timbang Tana Batue, Bone," tuturnya. Mengapa penebangan liar sulit di atasi? Petugas sangat langka. "Bayangkan saja, untuk mengawasi hutan seluas 1.337.127 hektar hanya ada beberapa petugas. Kendaraan juga tidak ada, padahal lokasi hutan berjauhan," kata seorang petugas Dinas Kehutanan Sul-Sel menjelaskan. Belum lagi kemungkinan bahaya amukan dari rakyat. Tak kalah pentin adalah sebab ini "Di belakang penebangan liar itu kan biasa, ada orang besar," ujar si petugas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus