KAYU hitam (ebony) termasuk langka di dunia. Di Indonesia hanya
terdapat di Sulawesi, terutama di wilayah tengah, tenggala dan
selatan. Di pasaran internasional harganya tinggi. Dalam bentuk
gelondongan pernah mencapai $ 900 per ton, sedang kayu hitam
gergajian waktu ini sampai 2.300 per ton dibanding sekitar $
120 per m3 saat ini untuk kayu jenis lain seperti meranti.
Tidak heran, pacuan untuk mereguk untung dari bisnis kayu hitam
tergolong yang paling sengit. Dan melibatkan banyak orang,
mulai buruh penebang sampai banyak pejabat.
Luas hutan di Sulawesi Tengah 4.616.436 ha yang berarti 67,9%
dari luas provinsi ini. Yang ditetapkan sebagai hutan produksi
3.588.276 ha. Sampai Desember 1979, daerah seluas ini sudah
dibagi oleh 30 perusahaan. Baru 16 perusahaan yang surat
keputusan !IPHnya keluar. Sisanya belum memenuhi persyaratan,
misalnya belum mengadakan survai untuk menentukan rencana kerja
tahunan (RKT) atau membayar luran Hasil Pengusahaan Hutan
(IHPH).
Sistem HPH di Sul-Teng baru dimulai 1973. "Sebelumnya semua
hanya mengantongi izin penebangan," kata Hamdan Harudji, Kepala
Seksi Pengusahaan Hutan Dinas Kehutanan Sul-Teng pada TEMPO.
Pernah tercatat 85 perusahaan yang mendapat izin penebangan ini.
Berlaku untuk setahun sejak 1972 jatah penebangan semua
perusahaan ini cuma 68.240 ton.
Entah bagaimana pengawasannya, setelah izin habis waktunya,
catatan di Bank Indonesia Palu menunjukkan kayu hitam yang
diekspor mencapai 75.718 ton. Pastilah telah terjadi penebangan
liar -- karena waktu itu larangan ekspor kayu gelondongan belum
ada.
Untuk mencegah pembabaan hutan, Gubernur Sul-Teng -- waktu itu
Tambunan -- sejak 7 Juni 1973 melarang penebangan liar. Maka
penertiban pun mulai dilakukan. Antara lain ditetapkan,
perusahaan yang pernah punya izin penebangan hanya boleh
menurunkan kayu hitam ke pantai dan tidak boleh lagi menebang.
Tapi belantara Sulawesi ternyata sulit diawasi. "Dengan aparat
sedikit mengawasi hutan demikian luas, mau bilang apa," seorang
petugas Dinas Kehutanan Sul-Teng berdalih. Dan penebangan liar
pun berlanjut terus.
Syahdan, DPRD Sul-Teng pun bergerak. Disahkannya Perda no.
5/197 yang antara lain menetapkan: kayu penebangan melebihi
jumlah izin yang liberikan bisa disita Pemda Pelakunya bisa
dihukum penjara 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 75.000.
Peraturan daerah ini ternyata tak punya gigi. Setahun, dua tahun
Perda terus berlaku, tanpa ada orang dihukum atau kayu disita.
Sementara itu kayu hitam pun terus bergelimpangan rebah di
hutan. Malah kemudian Pemda mengalah pada perusahaan penebangan
yang secara formal sudah almarhum itu. Mereka diberi keringanan
hasil penebangan liarnya boleh diekspor atau diantarpulaukan
dengan syarat membayar apa yang disebut "selisih harga".
Besarnya semula Rp 6.000 per ton, kemudian dinaikkan Rp 10.000.
Belakangan inipun dinaikkan menjadi Rp 25.000 per ton. Tapi
nyatanya penebangan liar -- yang tidak lagi liar karena toh
membayar selisih harga -- melaju terus.
Ketika sistem HPH mulai muncul di provinsi ini, terjadi beberapa
sengketa. Di satu pihak pemegang HPH, di lain pihak perusahaan
penebangan yang mengaku masih punya kayu sisa tebangan di hutan
yang kini jadi hak pemegang HPH Misalnya konflik antara PT Sinar
Alam dan PT Sinar Kaili (pemegang HPH), yang memuncak dengan
bentrokan berdarah antara buruh kedua perusahaan itu akhir
Agustus lalu. Dua karyawan Sinar Alam luka parah dan 3 traktor
mereka dirusak. Juga sengketa antara PT Sinar Alam dan PT Batu
Marupa yang mengundang turun tangannya opstib Pusat.
Mengapa penertiban tidak bisa jalan Menurut sumber TEMPO,
banyak perusahaan penebangan yang menjadi milik bapak-bapak
pejabat dari Jakarta'. Selain itu ternyata banyak perusahaan
penebangan yang dimiliki instansi pemerintah yang berdalih
mencari dana bagi "kesejahteraan karyawan ".
Yang tercatat punya stok dari hasil penebangan liar di antaranya
PT Sindo milik Koperasi Departemen Dalam Negeri, Perusahaan
Daerah Perhutanda milik Pemda Sul-Teng. Juga Primkopad Distrik
Militer 1306, Koperasi Karyawan Kantor Gubernur Sul-Teng
KORPRI Unit Kantor Gubernur Sul-Teng, Primkopak Komres 1907 dan
Primkopad 711 Raksatama.
Masuknya sistem HPH di Sul-Teng telah pula mengubah wajah daerah
ini. Banyak desa yang kini dihiasi dengan pos penjagaan. Pos ini
didirikan pemgang HPH untuk mencegah rakyat menebang kayu di
arealnya. Sering kayu untuk ramuan rumah yang ditebang penduduk
setempat disita -- hingga timbul protes.
Rakyat setempat juga mengeluh karena banyak jalan yang rusak
akibat sering dilewati traktor dan truk bermuatan kayu. Kalau
ditegur, pengemudinya menjawab perusahaan mereka telah membayar
iuran pembangunan jalan pada pemerintah pusat dan daerah.
KEMELUT kayu hitam juga terjadi di Sulawesi Selatan. Keluarnya
surat keputusan Menteri Perdagangan 3 Mei 1979 yang melarang
ekspor kayu hitam dalam bentuk gelondongan membuat banyak
pengusaha kelabakan. Beberapa pengusaha terpaksa menghentikan
ekspornya. Tapi bisnis kayu hitam ternyata tetap ramai.
Luwu, Wajo dan Sidenreng Rappang adalah penghasil utama kayu
hitam di Sulawesi Selatan. Siwa, Wajo, dikenal sebagai pusat
penampungan kayu yang diselundupkan dari Sulawesi Tenggara
dengan perahu bermotor.
Menurut penelitian, kayu hitam di Sul-Sel belum banyak yang
memenuhi persyaratan Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang membatasi
penebangan kayu hanya yang bergaris tengah 60 cm. Paling banter
umumnya kayu hitam di Sul-Sel bergaris tengah 40 cm. Hingga
merajalelalah penebangan liar dan pencurian kayu. Yang konon
didalangi para pengusaha kayu juga.
CARANYA: mereka memberikan uang panjar pada penduduk setempat
untuk menebang kayu. Kemudian keluhan dilayangkan pada Pemda
perihal penebangan liar dan pencurian kayu. Perhitungan mereka,
jika Pemda kelak menyita kayu hasil tebangan liar dan pencurian
itu. akhirnya toh akan jatuh ke tangan mereka lewat pelelangan.
Benarkah ini? "Memang betul. Tapi itu perbuatan pengusaha yang
tidak punya HPH," ujar Syamsul Bachri Syamsuddin, Direktur PT
Serdid, yang mempunyai HPH di Wotu Luwu.
Ribut-ribut itu mendorong Pemda Sul-Sel turun tangan. Tanggal
26 Juni lalu Gubernur Andi Oddang mengundang sekitar 20
pengusaha kayu pemegang HPH, PKS (Perjanjian Kerjasamd Dinas
Kehutanan Provinsi Sul-Sel dengan pengusaha perkayuan), pemilik
penggergajian kayu dan eksportir.
Ditegaskan oleh Gubernur, bukan hanya kayu hitam yang akan
ditertibkan, tapi juga administrasi dan aparat yang melaksanakan
penertiban.
Achmad Natsir, Kepala Biro Perekonomian Kantor Gubernur Sul-Sel
sempat membeberkan kelakuan sementara pengusaha perkayuan dalam
pertemuan itu. Pelanggaran yang dilakukan para pengusaha itu
menurut Natsir berupa menadah dan membeli kayu hitam hasil
tebangan liar di seputar hutan, lalu membawanya ke Ujungpandang.
Bermacam cara yang digunakan untuk menyelundupkan kayu itu. Ada
yang menggunakan mobil tangki atau truk tertutup. "Bahkan ada
pengusaha yang menyewa anggota pramuka yang bernyanyi-nyanyi di
atas truk berisi kayu untuk mengelabui petugas," ungkap Natsir.
Banyak penduduk Palopo Siwa dan Sidrap yang membenarkan cerita
Natsir. Bukan saja pramuka, bahkan sering anak-anak sekolah
dimanfaatkan untuk menyelundup kayu dengan truk seakan-akan
mereka pergi bertamasya. Menurut Andi Oddang, sasaran
penertiban adalah: untuk kelestarian alam, tegaknya hukum di
sektor kehutanan dan tegaknya wibawa pemerintah dan disiplin
para aparat kehutanan dan penunjang lainnya. Sebab bukan rahasia
lagi banyak pejabat yang bukan saja memberi an'gin,
melegalisasikan dan mendorong adanya penebangan liar, malah
cukup banyak yang terjun langsung dalam bisnis ini. Akibatnya,
berbareng dengan heboh kayu hitam di Sul-Sel ini, terjadi mutasi
besar-besaran di Dinas Kehutanan provinsi ini.
Tim yang kemudian dibentuk Pemda mengadakan inventarisasi kayu
hitam yang diduga hasil tebangan liar dan pencurian. Menurut
catatan tim, ada 25.195 penggal kayu hitam tebangan liar atau
12.722 m3. Yang memenuhi persyaratan kualitas ekspor hanya 1.533
kubik. Menurut laporan Pemda pada DPRD, pungutan yang diterima
dari "pemutihan" penebangan liar itu Rp 67 juta.
Ini diragukan kalangan DPRD. "Kami mengkonstantasi adanya
manipulasi jumlah, harga, kubikasi dan pemilikan," ucap H.
Benyamin, Ketua Komisi C DPRD Sul-Sel. Menurut taksiran
komisinya, pungutan itu seharusnya bisa mencapai Rp 460 juta.
DPRD kini masih menunggu penjelasan terperincl Pemda.
Tugas tim berakhir 31 Agustus 1979 dan secara institusional
dilanjutkan lewat pengawasan dan koordinasi Gubernur dan para
bupati. Tapi kenyataannya penyelundupan kayu hitam dengan gencar
terus berlangsung. Rupanya sikap lunak Pemda yang tidak menyita
hasil tebangan liar malah merangsang penyelundupan ini. Ketua
Umum Kadin SulSel, Sjafoeddin, tak setuju kalau ditempuh cara
penyitaan. "Karena itu bukan salah rakyat penebang di
pedalaman," katanya.
"Saya sanggup menyediakan kayu hitam berapa saja asal
pembayarannya tunai," ujar seorang makelar kayu di salah satu
hotel Ujungpandang pada TEMPO. Harganya mulai Rp 20.000 per
penggal untuk yang bergaristengah 1520 cm sampai Rp 65.000 untuk
yang bergaris tengah 40 cm ke atas. Soal izin? "Itu tidak
menjadi masalah. Petugas sudah kendur pengawasannya. Mereka
lebih memperhatikan pemasukan Ipeda," sahutnya.
Menurut seorang makelar lain, soal pemeriksaan di jembatan
timbang menjadi urusan supir. "Cukup memberikan salam tempel Rp
2.000 untuk jembatan timbang Maccopa Maros dan Rp 3.000 untuk
jembatan timbang Tana Batue, Bone," tuturnya.
Mengapa penebangan liar sulit di atasi? Petugas sangat langka.
"Bayangkan saja, untuk mengawasi hutan seluas 1.337.127 hektar
hanya ada beberapa petugas. Kendaraan juga tidak ada, padahal
lokasi hutan berjauhan," kata seorang petugas Dinas Kehutanan
Sul-Sel menjelaskan.
Belum lagi kemungkinan bahaya amukan dari rakyat. Tak kalah
pentin adalah sebab ini "Di belakang penebangan liar itu kan
biasa, ada orang besar," ujar si petugas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini