DI akhir pidatonya, ternyata Presiden Soeharto menyinggung juga
tentang kemungkinan kerusakan hutan yang dilakukan secara sadar.
Bila "kerusakan hutan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang
telah maju dan memiliki kemampuan teknologi yang tinggi,
perbuatan itu bukan saja tidak bertanggungjawab, tetapi juga
tidak berperikemanusiaan karena mereka samasekali tidak
memikirkan keadaan generasi yang akan datang," ujar Kepala
Negara Senin lalu. Menurut Presiden, pemerintah akan mengambil
tindakan tegas sesuai dengan hukum yang ada terhadap perusak
hutan itu.
Ucapan Kepala Negara itu disampaikannya tatkala membuka Pekan
Penghijauan Nasional ke 19 yang tahun ini dipusatkan di Desa
Bismar, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang.
Itu ucapan yang banyak dinantikan setelah beberapa bulan
terakhir ini masalah pengelolaan hutan di Indonesia diributkan.
Yang menjadi perhatian terutama mengenai banyaknya pemegang HPH
(Hak Pengusahaan Hutan) yang "ongkang-ongkang", tinggal menerima
keuntungan dari hutan yang dikontrakkannya, serta pelanggaran
yang dilakukan para pemegang HPH. Misalnya tidak memenuhi
kewajiban melakukan penanaman kembali seperti yang tercantum
dalam perjanjian kehutanan.
Peta bumi belantara Indonesia ternyata cukup kusut. Simpang siur
pernyataan yang berbeda dari berbagai pejabat ternyata hanya
membuktikan kurang ada koordinasi di antara para pejabat yang
menangani masalah kehutanan ini.
Menurut Menteri Pertanian Soedarsono dan Menteri Pengauasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) Emil Salim, dari luas
hutan di Indonesia yang 122 juta ha (64,2% dari luas daratan),
97 juta ha akan terkena tataguna hutan. Sedang 25 juta ha
disediakan sebagai hutan cadangan yang tidak terjamah. Dari 97
juta ha itu, 47 juta ha diperuntukkan khusus bagi hutan lindung,
40 juta ha untuk hutan produksi dan sisa 10 juta ha untuk hutan
perlindungan dan pengawetan alam.
Jelas dinyatakan, luas hutan produksi -- artinya yang diusahakan
atau dimanfaatkan hasilnya -- adalah 40 juta ha. Sampai akhir
1978 tercatat 382 perusahaan yang telah mendapat surat keputusan
Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Semuanya meliputi areal 35.887 ha
dengan jumlah penanaman modal sekitar $ 1.067.451.000.
Tapi selain yang telah mendapat SK HPH, tercatat masih ada 88
perusahaan yang telah mendapa persetujuan Menteri Pertanian dan
Surat Izin Investasi dengan areal sekitar 8 juta ha. Lalu ada 14
perusahaan yang telah mencapai perjanjian kehutanan (forestry
agreement) dengan luas areal 1,7 juta ha. Masih ada lagi.
Jumlah perusahaan yang telah mendapat pencadangan areal serta
yang telah mendapat persetujuan prinsip adalah 226 perusahaan
dengan luas areal lebih 25 juta ha.
Hingga bila dijumlahkan ada 710 perusahaan yang telah dan akan
mengolah hutan seluas lebih 71 juta hektar. Sedang menurut
rencana, yang disediakan untuk hutan produksi hanya 40 juta
hektar. Apakah ini berarti hutan lindung atau cagar alam akan
terpaksa dikorbankan untuk para pengusaha yang telah terdaftar
itu? Belum lagi masih ada pengusaha hutan yang mendapat izin
dari Pemda. Seperti pernah diakui Emil Salim, "jumlah pengusaha
dan arealnya belum diketahui secara tepat."
LAPORAN dari banyak daerah memang membenarkan, banyak areal HPH
yang ternyata meliputi hutan lindung. Di Sulawesi Tengah
misalnya, sebagian besar areal HPH ternyata tergolong hutan
lindung. Di Riau malahan lapangan udara Simpang Tiga di Pakan
Baru, dan beberapa kampung di sekitarnya ternyata dimasukkan
dalam areal HPH PT Sindo Timber. Hutan suaka di Bontang,
Kabupaten Kutai, Kal-Tim kabarnya rusak digilas traktor PT Silva
Duta. Perusahaan Filipina yang mempunyai areal dekat suaka itu
mulanya hanya minta izin membuat jalan melintas. Ternyata sambil
lewat ia membabat kanan kiri. Waktu Pangeran Bernhard beberapa
bulan yang lalu mengunjungi suaka ini, kegiatan Silva Duta
distop sementara.
Yang memang memprihatinkan adalah lemahnya pengawasan pemerintah
pada para pemegang HPH. Menteri PPLH Emil Salim pernah mengakui,
pemerintah sudah kewalahan menghadapi kewajiban mengawasi
terpenuhinya syarat-syarat persetujuan kehutanan secara
konsekuen. Sebabnya antara lain kurangnya tenaga yang trampil.
Selain itu lebih dipersulit dengan adanya izin pengusahaan hutan
oleh Pemda, yang kurang memperhitungkan syarat pengusahaan hutan
secara teknis bertanggungjawab. Soalnya: Pemda terdorong oleh
kebutuhan dana yang besar.
Tampaknya kesalahan telah dimulai sejak awal, ketika sistem HPH
mulai dilaksanakan. UU No. 5/196/ Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok kehutanan antara lain menjelaskan: pengusahaan hutan
berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan,
bertujuan untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan
guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Tapi, seperti pernah dikatakan Emil Salim "Kita ingat, Pelita I
dan II kita berusaha mendorong ekspor saja. Bagaikan ada
kebakaran, kita semprot api itu aar padam. Kalau perlu kita
jebol jendela yang masih utuh untuk dapat memadamkan." Yang
dimaksud kebakaran adalah krisis ekonomi 1966-1967. "Terus
terang waktu itu kita mengejar pengumpulan devisa, dan belum
sempat memikirkan replanting," lanjut Emil Salim pada pertemuan
persnya pertengahan 1979.
Sekalipun sering dipermainkan pembeli, ternyata usaha
pengumpulan devisa dari hutan Indonesia berhasil. Menurut
catatan Bank Indonesia, nilai ekspor kayu Indonesia pada 1969
mencapai $26.015.000. Lima tahun kemudian pada 1974 menjadi $
725.721.000. Tahun lalu $ 1.009.854.000 sedang sampai akhir
Oktober tahun ini tercatat $ 1.326.985.000. Setelah minyak bumi,
kayu kini menjadi barang ekspor nomor dua untuk Indonesia.
Rupanya, demi pengumpulan devisa, asas kelestarian untuk
sementara ditinggalkan. Dan akibatnya pula yang sekarang kita
rasakan. Yang paling disayangkan, rupanya proses pemberian surat
keputusan HPH waktu itu sering dilakukan tanpa penelitian yang
cermat. Cukup banyak nama pejabat tinggi pemerintah pusat dan
daerah ataupun keluarganya yang ternyata mendapat "jatah". HPH
hinga bisa menimbulkan kesan adanya "pembagian rezeki".
Menteri Pertanian Sodarsono pekan lalu mengungkapkan, sekitar
40% dari 382 pemegang HPH saat ini diketahui mengontrakkan
HPH-nya pada orang lain. Ini berarti mereka hanya tinggal
menikmati bagian dari hasil hutan yang dikerjakan dan diekspor
pengontraknya, yang saat ini sekitar $ 6 per meter kubik kayu
yang dihasilkan. Berarti pemilik HPH itu bisa mengantongi paling
tidak puluhan juta rupiah per bulan dengan ongkang-ongkang saja.
Banyak pengontrak ternyata adalah pengusaha asing yang bebas
beroperasi dengan mengatasnamai pemilik HPH. Menurut Ketua
Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) Tasin A. Natadiningrat,
sampai sekarang tidak ada peraturan nlembatasi pengelolaan HPH
dengan sistem kontrak atau setelah beberapa tahun suatu areal
HPH harus dikerjakan sendiri oleh pemegangnya. Mungkin ini suatu
hal yang dilupakan waktu menyuSun perjanjian kehutanan.
Dimungkinkannya pemilik yang dengan leha-leha memperoleh untung
memang dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan.
Agak berbeda dengan data Menteri Pertanian, menurut catatan
Menteri PPLH Emil Salim, dari 382 HPH yang ada, terdapat 111 HPH
(29%) yang dikerjakan oleh pihak ketiga, 72 (19%) oleh
perusahaan patungan dengan pemilik HPH, dan 199 HPH (52%)
dikerjakan sendiri oleh pemegang HPH. Firmansyah, Ketua MPI
mengakui, memang ada pemegang HPH yang hanya bermodal "relasi"
dengan pejabat yang mengeluarkannya. "Tapi toh harus diingat,
salah satu modal berdagang adalah relasi," ujarnya pada TEMPO.
Yang paling mengagetkan adalah pengakuan Dirjen Kehutanan
Soedjarwo di depan Fraksi Karya Pembangunan DPR awal Desember
lalu. Menurut Soedjarwo, dari hampir 400 pemegang HPH saat
ini, sebetulnya yang memenuhi syarat 100% hanya 15. Sisanya
perlu dididik. Diungkapkannya juga, yang banyak gagal dan
menjual sahamnya justru pengusaha pribumi dan pejabat
pemerintah.
Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian kehutanan yang
harus ditandatangani pemegang HPH (berlaku untuk 20-tahun)
sebetulnya cukup ketat. Ada peraturan Tebang Pilih Indonesia
(TPI) yang melarang penebangan pohon yang garis tengahnya kurang
dari 50 cm dalam satu hektar hanya boleh ditebang 5 pohon per
tahun. Sesudah beroperasi 7 tahun, minimal 60% dari produksi
kayu harus sudah dalam bentuk diolah. Kemudian ada lagi sistem
kwota ekspor dan pajak ekspor.
"Peraturan pemerintah Indonesia cukup ketat untuk melindungi
hutan dan memaksa pengusaha kayu membangun industri kayu dalam
negeri," ujar Bob Hasan, Ketua Sealpa (Persatuan Produser Kayu
Asia Tenggara) pada TEMPO. Indonesia adalah satu-satunya negara
di Asia Tenggara yang dalam penebangan 100% menggun.lkan teknik
skidding (tractor logging) yang bisa mencegah kerusakan hutan.
"Kita dapat belajar dari kesalahan Filipina dan Malaysia yang
sudah memotong 30 tahun sebelum kita," lanjut Hasan.
Tapi bagaimana pelaksanaan peraturan yang ketat itu dalam
kenyataannya? Direktur Bina Program Ditjen Kehutanan Harris
Suranggadjiwa akhir September lalu mengungkapkan, baru sedikit
pengusaha HPH yang memenuhi kewajibannya. Harris memberi contoh
sampai akhir 1978, dari 283 perusahaan baru 13 (5%) yang
menyerahkan potret juara arealnya. Pembuatan tatabatas yang
seharusnya 31.783 km panjangnya, yang sudah dilaksanakan hanya
6.100 km (20%).
Sedang mengenai RKD (Rencana Kerja Duapuluh Tahun), dari 267 HPH
yang sudah menyerahkan baru "puluhan". Padahal RKD ini harus
diserahkan 3 tahun setelah menerima SK HPH. Mengenai RKL
(Rencana Kerja Lima Tahun), tahap I tahun 1978 yang sudah
menyerahkan 178 buah (50%), tahap II dari 220 HPH baru 72 (32%)
dan tahap III dari 14 HPH yang menyerahkan baru 3 perusahaan
(21%).
Bagaimana dengan kewajiban membangun industri kayu? Sasaran
produksi kayu gelondongan tahun ini 40 juta m3, 18 juta m3 di
antaranya atau sekitar 45% harus diolah dalam' negeri. Sasaran
ini meningkat terus, hingga pada 1975 kayu gelondongan yang
harus diolah di dalam negeri mencapai 60%. Kenyataannya, sampai
1978 baru 8% kayu produksi pemegang HPH yang diolah dalam
negeri.
"Kita mau mendirikan saw-mill, tak ada modal," keluh Syamsul
Bachri, Direktur PT Serdid & Co yang memiliki HPH seluas 47.000
ha di Sul-Sel. Kekurangan modal rupanya memang keluhan umum
para pengusaha kayu pribumi. Bila membangun penggergajian saja
tak mampu, apalagi membangun pabrik veneer dan plywood yang
membutuhkan biaya sekurangnya Rp 12 milyar. Tal heran, bila
banyak pengusaha tidak tulen seperti itu akhirnya terpaksa
berpaling ke pengusaha asing.
Tidak berarti semua pengusaha sulit memperoleh modal. Contoh
terbaik mungkinYos Sutomo, Direktur PT Sumber Mas di Samarinda
yang memiliki areal HPH lebih dari 1 juta ha di Kalimantan
Timur. Sepuluhan tahun lalu kantor Sutomo masih reot. Sekarang
ia memiliki pabrik plywood di Gresik dan Samarinda, juga puluhan
kapal pengangkut kayu.
Meskipun hukum pribumi, Sutomo sudah dianggap putra daerah.
Bahkan orang sudah lupa siapa nama aslinya. Masih muda, 39
tahun, Sutomo dikenal akrab dengan pemerintah setempat.
Perusahaannya diakui banyak andilnya dalam mensukseskan MTQ
Nasional ke 9 di Samarinda 3 tahun yang lalu. Tahun lalu Sutomo
yang baru masuk Islam mendirikan masjid indah dekat rumahnya.
Tidak sembarang orang bisa bersembahyang di sana. "Pakai
undangan khusus," cerita seorang karyawannya. Banyak pejabat
Kal-Tim sering tampak shalat di masjid itu.
Yang menggiurkan, perusahaan ini punya anggaran khusus di bidang
sosial. Tahun ini misalnya dicadangkan Rp 2 milyar untuk pos
ini. Sumber Mas merencanakan membuka pabrik kertas dan
perkebunan tebu terbesar di Kal-Tim dalam waktu tidak lama lagi.
Apa rahasia sukses Sumber Mas? Ternyata perusahaan ini
memperoleh pinjaman kreit PMDN sebesar Rp 50 milyar!
Tidak semua perusahaan kayu berhasil seperti Sumber Mas. Cukup
banyak yang gagal, termasuk perusahaan besar hingga terpaksa
dicabut HPH-nya. "Pencabutan HPH sudah merupakan hal yang rutin
dan tidak dilakukan sekaligus hingga tidak perlu diumumkan,"
Menteri Pertanian pernah menjelaskan. HPH yang dicabut biasanya
dialokasikan pada pihak lain. Yang dicabut HPH-nya misalnya, PT
Dayak Besar di Kal-Tim. Juga PT Kayan River - Timber yang pernah
memiliki areal 1,2 juta ha. Dari jumlah ini 900 ribu ha jatuh ke
tangan Sumber Mas, sedang yang 300 ribu ha diberikan pada PT
Bina Lestari yang konon milik beberapa pejabat Ditjen Kehutanan.
Yang memberi harapan: kelemahan-kelemahan, terutama di bidang
pengawasan, tampaknya belakangan ini mulai diperbaiki. Ditjen
Kehutanan misalnya, mulai tahun ini menyelenggarakan penataran
yang harus diikuti para pemegang HPH. Para pemegang HPH juga
diharuskan mempekerjakan ahli reboisasi dan penanaman kembali.
Pemerintah juga mengharuskan adanya "Simpanan Wajib Tanam" pada
pemegang HPH. Tiap tahun dilakukan penelitian. Bila pemegang HPH
itu dinilai dengan baik melaksanakan penanaman kembali, dana
yang disimpan pemerintah itu boleh diambil kembali. Jika tidak,
pemerintah akan mengunakannya untuk membiayai peremajaan hutan.
Banyak pemerintah daerah yang ternyata juga sigap bertindak.
Setelah DPRD Daerah Istimewa Aceh akhir bulan lalu dengan keras
mengecam kebijaksanaan Dinas Kehutanan dalam mengelola hutan,
Gubernur Madjid Ibrahim cepat bertindak. Pekan lalu
dikumpulkannya para pengusaha hutan untuk diminta keterangannya.
Madjid mengancam akan mengambil tindakan keras pada para
pemegang HPH yang tidak beres.
Kritik dari rakyat, atau wakil mereka di DPRD memang sering
keras, bahkan sering emosional. Misalnya yang dinyatakan Fraksi
Karya Pembangunan DPRD Riau bulan lalu. Fraksi ini mengecam
dilarangnya rakyat memperoleh kebutuhannya dari hutan yang sudah
di-HPH-kan. Fraksi ini menuduh "Polisi Kehutanan yang mengejar
rakyat atas nama Cina dan pemerintah."
Mungkin kegusaran masyarakat pada para pemegang HPH juga
didorong hanyaknya laporan yang menyebutkan para pemegang HPH
merusak kelestarian lingkungan dengan membabat hutan secara
serampangan karena lemahnya pengawasan. Beberapa banjir besar
yang belakangan ini terjadi karena itu diang gap "dosa' pemegang
HPH.
Ketua MPI Firmansjah mengakui, memang ada pengusaha yang tidak
baik, main babat dan meninggalkan hutan dalam keadaan rusak.
"Tapi punya HPH seperti punya modal. Kalau menebang seenaknya
bisa modal itu habis dan pemegang HPH akan rugi sendiri,"
ujarnya.
Betulkah sistem HPH yang mengakibatkan rusaknya hutan? Memang
banyak pemegang HPH yang main babat saja, tapi menurut banyak
ahli sistem perladangan yang berpindah lebih membahayakan.
Tercatat 16 juta ha bekas hutan yang kini berubah menjadi padang
alang-alang dan 27 juta ha yang beralih menjadi semak belukar
akibat perladangan liar ini. Kerusakan 43 juta ha ini jelas
sangat mengkhawatirkan.
Namun harus diingat, perladangan berpindah terutama disebabkan
oleh kemiskinan rakyat. Dan membicarakan kemiskinan mengingatkan
lagi pada tujuan pengelolaan hutan untuk kemakmuran rakyat.
Jadi apa yang salah selama ini? "HPH diberikan terlalu banyak.
Tenaga untuk mengawasi sangat terbatas. Akibatnya terjadi out of
control," ujar Syafii Manan, dosen Ilmu Pembinaan Hutan Institut
Pertanian Bogor. "Kalau kita mau melakukan asas pengelolaan
hutan yang baik, tak bisa dilakukan secara besar-besaran,"
sambungnya.
Setelah di waktu lalu bergegas melangkah, nampaknya mulai
terpikir untuk berbenah. Yang jadi pertanyaan ialah: apakah
birokrasi cukup tahan untuk itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini