Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Membenahi hutan, cukup tahan ?

Luas hutan yang tersedia tak seimbang dengan jumlah kebutuhan perusahaan yang akan mengolah. sementara pemegang hph masih melanggar perjanjian karena pengawasan pemerintah lemah. (nas)

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI akhir pidatonya, ternyata Presiden Soeharto menyinggung juga tentang kemungkinan kerusakan hutan yang dilakukan secara sadar. Bila "kerusakan hutan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang telah maju dan memiliki kemampuan teknologi yang tinggi, perbuatan itu bukan saja tidak bertanggungjawab, tetapi juga tidak berperikemanusiaan karena mereka samasekali tidak memikirkan keadaan generasi yang akan datang," ujar Kepala Negara Senin lalu. Menurut Presiden, pemerintah akan mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang ada terhadap perusak hutan itu. Ucapan Kepala Negara itu disampaikannya tatkala membuka Pekan Penghijauan Nasional ke 19 yang tahun ini dipusatkan di Desa Bismar, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Itu ucapan yang banyak dinantikan setelah beberapa bulan terakhir ini masalah pengelolaan hutan di Indonesia diributkan. Yang menjadi perhatian terutama mengenai banyaknya pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang "ongkang-ongkang", tinggal menerima keuntungan dari hutan yang dikontrakkannya, serta pelanggaran yang dilakukan para pemegang HPH. Misalnya tidak memenuhi kewajiban melakukan penanaman kembali seperti yang tercantum dalam perjanjian kehutanan. Peta bumi belantara Indonesia ternyata cukup kusut. Simpang siur pernyataan yang berbeda dari berbagai pejabat ternyata hanya membuktikan kurang ada koordinasi di antara para pejabat yang menangani masalah kehutanan ini. Menurut Menteri Pertanian Soedarsono dan Menteri Pengauasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) Emil Salim, dari luas hutan di Indonesia yang 122 juta ha (64,2% dari luas daratan), 97 juta ha akan terkena tataguna hutan. Sedang 25 juta ha disediakan sebagai hutan cadangan yang tidak terjamah. Dari 97 juta ha itu, 47 juta ha diperuntukkan khusus bagi hutan lindung, 40 juta ha untuk hutan produksi dan sisa 10 juta ha untuk hutan perlindungan dan pengawetan alam. Jelas dinyatakan, luas hutan produksi -- artinya yang diusahakan atau dimanfaatkan hasilnya -- adalah 40 juta ha. Sampai akhir 1978 tercatat 382 perusahaan yang telah mendapat surat keputusan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Semuanya meliputi areal 35.887 ha dengan jumlah penanaman modal sekitar $ 1.067.451.000. Tapi selain yang telah mendapat SK HPH, tercatat masih ada 88 perusahaan yang telah mendapa persetujuan Menteri Pertanian dan Surat Izin Investasi dengan areal sekitar 8 juta ha. Lalu ada 14 perusahaan yang telah mencapai perjanjian kehutanan (forestry agreement) dengan luas areal 1,7 juta ha. Masih ada lagi. Jumlah perusahaan yang telah mendapat pencadangan areal serta yang telah mendapat persetujuan prinsip adalah 226 perusahaan dengan luas areal lebih 25 juta ha. Hingga bila dijumlahkan ada 710 perusahaan yang telah dan akan mengolah hutan seluas lebih 71 juta hektar. Sedang menurut rencana, yang disediakan untuk hutan produksi hanya 40 juta hektar. Apakah ini berarti hutan lindung atau cagar alam akan terpaksa dikorbankan untuk para pengusaha yang telah terdaftar itu? Belum lagi masih ada pengusaha hutan yang mendapat izin dari Pemda. Seperti pernah diakui Emil Salim, "jumlah pengusaha dan arealnya belum diketahui secara tepat." LAPORAN dari banyak daerah memang membenarkan, banyak areal HPH yang ternyata meliputi hutan lindung. Di Sulawesi Tengah misalnya, sebagian besar areal HPH ternyata tergolong hutan lindung. Di Riau malahan lapangan udara Simpang Tiga di Pakan Baru, dan beberapa kampung di sekitarnya ternyata dimasukkan dalam areal HPH PT Sindo Timber. Hutan suaka di Bontang, Kabupaten Kutai, Kal-Tim kabarnya rusak digilas traktor PT Silva Duta. Perusahaan Filipina yang mempunyai areal dekat suaka itu mulanya hanya minta izin membuat jalan melintas. Ternyata sambil lewat ia membabat kanan kiri. Waktu Pangeran Bernhard beberapa bulan yang lalu mengunjungi suaka ini, kegiatan Silva Duta distop sementara. Yang memang memprihatinkan adalah lemahnya pengawasan pemerintah pada para pemegang HPH. Menteri PPLH Emil Salim pernah mengakui, pemerintah sudah kewalahan menghadapi kewajiban mengawasi terpenuhinya syarat-syarat persetujuan kehutanan secara konsekuen. Sebabnya antara lain kurangnya tenaga yang trampil. Selain itu lebih dipersulit dengan adanya izin pengusahaan hutan oleh Pemda, yang kurang memperhitungkan syarat pengusahaan hutan secara teknis bertanggungjawab. Soalnya: Pemda terdorong oleh kebutuhan dana yang besar. Tampaknya kesalahan telah dimulai sejak awal, ketika sistem HPH mulai dilaksanakan. UU No. 5/196/ Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kehutanan antara lain menjelaskan: pengusahaan hutan berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan, bertujuan untuk memperoleh dan meninggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat. Tapi, seperti pernah dikatakan Emil Salim "Kita ingat, Pelita I dan II kita berusaha mendorong ekspor saja. Bagaikan ada kebakaran, kita semprot api itu aar padam. Kalau perlu kita jebol jendela yang masih utuh untuk dapat memadamkan." Yang dimaksud kebakaran adalah krisis ekonomi 1966-1967. "Terus terang waktu itu kita mengejar pengumpulan devisa, dan belum sempat memikirkan replanting," lanjut Emil Salim pada pertemuan persnya pertengahan 1979. Sekalipun sering dipermainkan pembeli, ternyata usaha pengumpulan devisa dari hutan Indonesia berhasil. Menurut catatan Bank Indonesia, nilai ekspor kayu Indonesia pada 1969 mencapai $26.015.000. Lima tahun kemudian pada 1974 menjadi $ 725.721.000. Tahun lalu $ 1.009.854.000 sedang sampai akhir Oktober tahun ini tercatat $ 1.326.985.000. Setelah minyak bumi, kayu kini menjadi barang ekspor nomor dua untuk Indonesia. Rupanya, demi pengumpulan devisa, asas kelestarian untuk sementara ditinggalkan. Dan akibatnya pula yang sekarang kita rasakan. Yang paling disayangkan, rupanya proses pemberian surat keputusan HPH waktu itu sering dilakukan tanpa penelitian yang cermat. Cukup banyak nama pejabat tinggi pemerintah pusat dan daerah ataupun keluarganya yang ternyata mendapat "jatah". HPH hinga bisa menimbulkan kesan adanya "pembagian rezeki". Menteri Pertanian Sodarsono pekan lalu mengungkapkan, sekitar 40% dari 382 pemegang HPH saat ini diketahui mengontrakkan HPH-nya pada orang lain. Ini berarti mereka hanya tinggal menikmati bagian dari hasil hutan yang dikerjakan dan diekspor pengontraknya, yang saat ini sekitar $ 6 per meter kubik kayu yang dihasilkan. Berarti pemilik HPH itu bisa mengantongi paling tidak puluhan juta rupiah per bulan dengan ongkang-ongkang saja. Banyak pengontrak ternyata adalah pengusaha asing yang bebas beroperasi dengan mengatasnamai pemilik HPH. Menurut Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) Tasin A. Natadiningrat, sampai sekarang tidak ada peraturan nlembatasi pengelolaan HPH dengan sistem kontrak atau setelah beberapa tahun suatu areal HPH harus dikerjakan sendiri oleh pemegangnya. Mungkin ini suatu hal yang dilupakan waktu menyuSun perjanjian kehutanan. Dimungkinkannya pemilik yang dengan leha-leha memperoleh untung memang dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Agak berbeda dengan data Menteri Pertanian, menurut catatan Menteri PPLH Emil Salim, dari 382 HPH yang ada, terdapat 111 HPH (29%) yang dikerjakan oleh pihak ketiga, 72 (19%) oleh perusahaan patungan dengan pemilik HPH, dan 199 HPH (52%) dikerjakan sendiri oleh pemegang HPH. Firmansyah, Ketua MPI mengakui, memang ada pemegang HPH yang hanya bermodal "relasi" dengan pejabat yang mengeluarkannya. "Tapi toh harus diingat, salah satu modal berdagang adalah relasi," ujarnya pada TEMPO. Yang paling mengagetkan adalah pengakuan Dirjen Kehutanan Soedjarwo di depan Fraksi Karya Pembangunan DPR awal Desember lalu. Menurut Soedjarwo, dari hampir 400 pemegang HPH saat ini, sebetulnya yang memenuhi syarat 100% hanya 15. Sisanya perlu dididik. Diungkapkannya juga, yang banyak gagal dan menjual sahamnya justru pengusaha pribumi dan pejabat pemerintah. Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian kehutanan yang harus ditandatangani pemegang HPH (berlaku untuk 20-tahun) sebetulnya cukup ketat. Ada peraturan Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang melarang penebangan pohon yang garis tengahnya kurang dari 50 cm dalam satu hektar hanya boleh ditebang 5 pohon per tahun. Sesudah beroperasi 7 tahun, minimal 60% dari produksi kayu harus sudah dalam bentuk diolah. Kemudian ada lagi sistem kwota ekspor dan pajak ekspor. "Peraturan pemerintah Indonesia cukup ketat untuk melindungi hutan dan memaksa pengusaha kayu membangun industri kayu dalam negeri," ujar Bob Hasan, Ketua Sealpa (Persatuan Produser Kayu Asia Tenggara) pada TEMPO. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang dalam penebangan 100% menggun.lkan teknik skidding (tractor logging) yang bisa mencegah kerusakan hutan. "Kita dapat belajar dari kesalahan Filipina dan Malaysia yang sudah memotong 30 tahun sebelum kita," lanjut Hasan. Tapi bagaimana pelaksanaan peraturan yang ketat itu dalam kenyataannya? Direktur Bina Program Ditjen Kehutanan Harris Suranggadjiwa akhir September lalu mengungkapkan, baru sedikit pengusaha HPH yang memenuhi kewajibannya. Harris memberi contoh sampai akhir 1978, dari 283 perusahaan baru 13 (5%) yang menyerahkan potret juara arealnya. Pembuatan tatabatas yang seharusnya 31.783 km panjangnya, yang sudah dilaksanakan hanya 6.100 km (20%). Sedang mengenai RKD (Rencana Kerja Duapuluh Tahun), dari 267 HPH yang sudah menyerahkan baru "puluhan". Padahal RKD ini harus diserahkan 3 tahun setelah menerima SK HPH. Mengenai RKL (Rencana Kerja Lima Tahun), tahap I tahun 1978 yang sudah menyerahkan 178 buah (50%), tahap II dari 220 HPH baru 72 (32%) dan tahap III dari 14 HPH yang menyerahkan baru 3 perusahaan (21%). Bagaimana dengan kewajiban membangun industri kayu? Sasaran produksi kayu gelondongan tahun ini 40 juta m3, 18 juta m3 di antaranya atau sekitar 45% harus diolah dalam' negeri. Sasaran ini meningkat terus, hingga pada 1975 kayu gelondongan yang harus diolah di dalam negeri mencapai 60%. Kenyataannya, sampai 1978 baru 8% kayu produksi pemegang HPH yang diolah dalam negeri. "Kita mau mendirikan saw-mill, tak ada modal," keluh Syamsul Bachri, Direktur PT Serdid & Co yang memiliki HPH seluas 47.000 ha di Sul-Sel. Kekurangan modal rupanya memang keluhan umum para pengusaha kayu pribumi. Bila membangun penggergajian saja tak mampu, apalagi membangun pabrik veneer dan plywood yang membutuhkan biaya sekurangnya Rp 12 milyar. Tal heran, bila banyak pengusaha tidak tulen seperti itu akhirnya terpaksa berpaling ke pengusaha asing. Tidak berarti semua pengusaha sulit memperoleh modal. Contoh terbaik mungkinYos Sutomo, Direktur PT Sumber Mas di Samarinda yang memiliki areal HPH lebih dari 1 juta ha di Kalimantan Timur. Sepuluhan tahun lalu kantor Sutomo masih reot. Sekarang ia memiliki pabrik plywood di Gresik dan Samarinda, juga puluhan kapal pengangkut kayu. Meskipun hukum pribumi, Sutomo sudah dianggap putra daerah. Bahkan orang sudah lupa siapa nama aslinya. Masih muda, 39 tahun, Sutomo dikenal akrab dengan pemerintah setempat. Perusahaannya diakui banyak andilnya dalam mensukseskan MTQ Nasional ke 9 di Samarinda 3 tahun yang lalu. Tahun lalu Sutomo yang baru masuk Islam mendirikan masjid indah dekat rumahnya. Tidak sembarang orang bisa bersembahyang di sana. "Pakai undangan khusus," cerita seorang karyawannya. Banyak pejabat Kal-Tim sering tampak shalat di masjid itu. Yang menggiurkan, perusahaan ini punya anggaran khusus di bidang sosial. Tahun ini misalnya dicadangkan Rp 2 milyar untuk pos ini. Sumber Mas merencanakan membuka pabrik kertas dan perkebunan tebu terbesar di Kal-Tim dalam waktu tidak lama lagi. Apa rahasia sukses Sumber Mas? Ternyata perusahaan ini memperoleh pinjaman kreit PMDN sebesar Rp 50 milyar! Tidak semua perusahaan kayu berhasil seperti Sumber Mas. Cukup banyak yang gagal, termasuk perusahaan besar hingga terpaksa dicabut HPH-nya. "Pencabutan HPH sudah merupakan hal yang rutin dan tidak dilakukan sekaligus hingga tidak perlu diumumkan," Menteri Pertanian pernah menjelaskan. HPH yang dicabut biasanya dialokasikan pada pihak lain. Yang dicabut HPH-nya misalnya, PT Dayak Besar di Kal-Tim. Juga PT Kayan River - Timber yang pernah memiliki areal 1,2 juta ha. Dari jumlah ini 900 ribu ha jatuh ke tangan Sumber Mas, sedang yang 300 ribu ha diberikan pada PT Bina Lestari yang konon milik beberapa pejabat Ditjen Kehutanan. Yang memberi harapan: kelemahan-kelemahan, terutama di bidang pengawasan, tampaknya belakangan ini mulai diperbaiki. Ditjen Kehutanan misalnya, mulai tahun ini menyelenggarakan penataran yang harus diikuti para pemegang HPH. Para pemegang HPH juga diharuskan mempekerjakan ahli reboisasi dan penanaman kembali. Pemerintah juga mengharuskan adanya "Simpanan Wajib Tanam" pada pemegang HPH. Tiap tahun dilakukan penelitian. Bila pemegang HPH itu dinilai dengan baik melaksanakan penanaman kembali, dana yang disimpan pemerintah itu boleh diambil kembali. Jika tidak, pemerintah akan mengunakannya untuk membiayai peremajaan hutan. Banyak pemerintah daerah yang ternyata juga sigap bertindak. Setelah DPRD Daerah Istimewa Aceh akhir bulan lalu dengan keras mengecam kebijaksanaan Dinas Kehutanan dalam mengelola hutan, Gubernur Madjid Ibrahim cepat bertindak. Pekan lalu dikumpulkannya para pengusaha hutan untuk diminta keterangannya. Madjid mengancam akan mengambil tindakan keras pada para pemegang HPH yang tidak beres. Kritik dari rakyat, atau wakil mereka di DPRD memang sering keras, bahkan sering emosional. Misalnya yang dinyatakan Fraksi Karya Pembangunan DPRD Riau bulan lalu. Fraksi ini mengecam dilarangnya rakyat memperoleh kebutuhannya dari hutan yang sudah di-HPH-kan. Fraksi ini menuduh "Polisi Kehutanan yang mengejar rakyat atas nama Cina dan pemerintah." Mungkin kegusaran masyarakat pada para pemegang HPH juga didorong hanyaknya laporan yang menyebutkan para pemegang HPH merusak kelestarian lingkungan dengan membabat hutan secara serampangan karena lemahnya pengawasan. Beberapa banjir besar yang belakangan ini terjadi karena itu diang gap "dosa' pemegang HPH. Ketua MPI Firmansjah mengakui, memang ada pengusaha yang tidak baik, main babat dan meninggalkan hutan dalam keadaan rusak. "Tapi punya HPH seperti punya modal. Kalau menebang seenaknya bisa modal itu habis dan pemegang HPH akan rugi sendiri," ujarnya. Betulkah sistem HPH yang mengakibatkan rusaknya hutan? Memang banyak pemegang HPH yang main babat saja, tapi menurut banyak ahli sistem perladangan yang berpindah lebih membahayakan. Tercatat 16 juta ha bekas hutan yang kini berubah menjadi padang alang-alang dan 27 juta ha yang beralih menjadi semak belukar akibat perladangan liar ini. Kerusakan 43 juta ha ini jelas sangat mengkhawatirkan. Namun harus diingat, perladangan berpindah terutama disebabkan oleh kemiskinan rakyat. Dan membicarakan kemiskinan mengingatkan lagi pada tujuan pengelolaan hutan untuk kemakmuran rakyat. Jadi apa yang salah selama ini? "HPH diberikan terlalu banyak. Tenaga untuk mengawasi sangat terbatas. Akibatnya terjadi out of control," ujar Syafii Manan, dosen Ilmu Pembinaan Hutan Institut Pertanian Bogor. "Kalau kita mau melakukan asas pengelolaan hutan yang baik, tak bisa dilakukan secara besar-besaran," sambungnya. Setelah di waktu lalu bergegas melangkah, nampaknya mulai terpikir untuk berbenah. Yang jadi pertanyaan ialah: apakah birokrasi cukup tahan untuk itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus