Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YERUSALEM - Ketika Amerika Serikat menutup Konsulat Yerusalem kemarin, mereka tidak hanya mengakhiri misi diplomatik yang telah berusia 175 tahun. Langkah ini juga merupakan penurunan besar lainnya dalam hubungan pemerintahan Presiden Donald Trump dengan Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konsulat Jenderal di Yerusalem adalah kantor perwakilan de facto pemerintah Amerika untuk Otoritas Palestina. Misi diplomatik ini pertama kali didirikan pada 1844 dan bertempat di wilayah Kota Tua Yerusalem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah megah berlantai tiga, dengan jendela-jendela melengkung dan dinding-dinding yang diselubungi bugenvil, itu adalah tempat tinggal utusan tidak resmi untuk Palestina serta menjadi tuan rumah bagi tamu-tamu Palestina dan warga Palestina Amerika.
Sejak pertengahan 1990-an, Konsulat Jenderal telah melayani misi diplomatik Amerika yang berurusan langsung dengan pemerintahan Palestina, sementara kedutaan bekerja sama dengan Israel. Para pejabat Amerika menganggap dinamika ini memberikan simetri diplomatik di tengah upaya perdamaian Israel-Palestina.
Namun mulai kemarin semua berubah. Konsulat ini statusnya diturunkan menjadi Unit Urusan Palestina dan akan bergabung dengan Kedutaan Besar Amerika yang baru untuk Israel. Konsul Jenderal Karen Sasahara, yang telah menjabat duta besar tidak resmi untuk Palestina, meninggalkan Yerusalem dan tidak akan digantikan.
Duta Besar Amerika untuk Israel, David Friedman pendukung permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat akan mengawasi hubungan diplomatik dengan Palestina dan Israel.
"Secara historis posisi Washington menegaskan keduanya tidak boleh digabungkan," kata Ed Abington, mantan Konsul Jenderal Amerika di Yerusalem, kepada NPR, akhir pekan lalu. "Sekarang mereka bergabung. Kemampuan Amerika untuk berurusan dengan Palestina sudah sangat rusak."
Meski wakil juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Robert Palladino, seperti dilansir Reuters, kemarin mengklaim bahwa merger ini tidak mengubah kebijakan Amerika tentang Yerusalem, Tepi Barat, ataupun Jalur Gaza, banyak pihak sulit mempercayainya.
Lara Friedman mantan pejabat layanan luar negeri Amerika di Yerusalem dan Presiden Foundation for Middle East Peace menyebut penutupan Konsulat Palestina sebagai "perubahan besar-besaran" dalam kebijakan Amerika.
"Pada titik ini Amerika mengatakan kepada Palestina dan dunia bahwa kami melihat Palestina sebagai minoritas dan bagian dari hubungan dengan Israel," ujar perempuan yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan sang duta besar itu.
Protes atas penutupan konsulat ini juga muncul dalam pemerintahan Amerika. Seorang pejabat mengatakan kepada NPR bahwa setidaknya satu telegram mengenai perbedaan pendapat yang menentang penutupan konsulat telah dikirim ke pejabat senior di Washington. Departemen Luar Negeri Amerika menggunakan praktik ini dalam kasus yang jarang terjadi untuk diam-diam memprotes keputusan kebijakan utama.
Scott Lasensky, penasihat Duta Besar Amerika untuk Israel di bawah pemerintahan Obama, mengakui bahwa keberadaan konsulat jenderal dan kedutaan yang bekerja secara terpisah menyebabkan ketidakefisienan dan garis kewenangan yang berbelit-belit. "Namun merger ini menghancurkan posisi Washington sebagai mediator Israel-Palestina dan advokasi untuk solusi dua negara."
Bagi Palestina, langkah ini merupakan pukulan terakhir dari pemerintahan Trump yang sangat pro-Israel. Tahun lalu, Amerika memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem, mendukung klaim Israel atas kota itu meski menuai kritik internasional. Sebab, Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka.
Otoritas Palestina kemudian memutus hubungan dengan para pejabat Amerika sebagai protes. Gedung Putih membalas dengan menutup kantor diplomatik Palestina di Washington serta memotong ratusan juta dolar dana bantuan kemanusiaan dan pembangunan untuk Palestina.
"Keputusan ini adalah paku terakhir di peti mati Amerika sebagai pembuat perdamaian di Timur Tengah," tutur Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Saeb Erekat, Ahad lalu. NPR | REUTERS | THE TIMES OF ISRAEL | SITA PLANASARI AQUADINI
Kebijakan Trump yang Merusak
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo