Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perseteruan Gus Dur dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versus Komisi Pemilihan Umum (KPU) kian hari kian panas. Pangkal ihwalnya adalah Surat Keputusan KPU No. 26 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pencalonan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Di situ diatur antara lain soal syarat "mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden/wakil presiden".
Persyaratan ini secara eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945 lalu diulangi lagi dalam UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Untuk menjabarkan keharusan konstitusional ini, sesuai dengan kewenangan yang ada padanya, KPU bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara medis membuat standardisasi operasional. Gus Dur protes karena persyaratan tersebut dinilai diskriminatif terhadap dirinya, yang punya masalah penglihatan.
Lalu Gus Dur memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, UU No. 23 Tahun 2003, yang menjadi dasar KPU dalam mengambil keputusan, dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut, karena UU No. 23 Tahun 2003 sama sekali tidak bersilangan dengan konstitusi.
Gus Dur selanjutnya ke Mahkamah Agung (MA) untuk memohon judicial review atas SK KPU No. 26 Tahun 2004 tersebut, karena dinilai bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2003. MA juga tidak mengabulkan permohonan itu.
Tapi Gus Dur tak menyerah. Ia lalu berangkat ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa. Mekanisme ini memang sah dalam undang-undang karena Panwaslu bisa menyelesaikan sebuah soal yang dimasalahkan oleh beberapa pihak dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa. Keputusan Panwaslu tersebut bersifat final dan mengikat.
Pertanyaan yuridisnya, apakah ikhtiar Gus Dur ke Panwaslu itu tepat. Menurut saya, tidak. Masalahnya, mekanisme penyelesaian "sengketa" adalah alternatif penyelesaian soal selain penyelesaian yang menggunakan mekanisme proses pengadilan (due process). Mekanisme alternatif seperti ini penting, mengingat penyelesaian persoalan melalui proses pengadilan acap kali memakan waktu dan biaya yang besar. Dalam hukum internasional, analogi dengan kasus seperti ini adalah mediasi atau arbitrase. Artinya, mekanisme penyelesaian sengketa adalah ikhtiar untuk menyelesaikan soal agar proses pengadilan yang panjang dan berliku-liku itu bisa dihindari.
Nah, setelah due process terlewati, secara logika penyelesaian lewat mekanisme Panwaslu tak perlu lagi. PKB-Gus Dur telah menerima keputusan penolakan permohonan dari kedua lembaga yudisial tertinggi kita: Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Artinya, kedua lembaga tertinggi hukum kita itu secara hukum telah mendatangkan kepastian dan kekuatan hukum tetap, sehingga ikhtiar Gus Dur untuk membawa kasusnya ke Panwaslu jadi tidak relevan.
Ada dugaan setelah ini Gus Dur akan membawa kasus itu ke peradilan tata usaha negara. Menurut saya, sebetulnya secara yuridis kasus ini bukan yurisdiksi lembaga peradilan tata usaha negara. Sebab, keputusan KPU bukanlah keputusan administrasi negara, tetapi keputusan yang mengandung muatan politis. Sedangkan lembaga peradilan administrasi negara hanya memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus yang menjadi keputusan lembaga tata usaha negara. Simpul kata, Gus Dur pun akan ditolak sekiranya ia membawa kasus ini ke peradilan tata usaha negara.
Persoalannya, apakah KPU subyektif terhadap Gus Dur? Apakah KPU diperalat untuk menggagalkan Abdurrahman sebagai calon presiden? Tidak. KPU hanya ingin memberikan kepastian dalam bentuk operasional, mandat dan perintah konstitusi mengenai mampu tidaknya seseorang secara rohani dan jasmani menjadi pengemudi bangsa. KPU sama sekali tidak pernah berniat membuat suatu kebijakan hanya lantaran perhitungan individual.
KPU perlu membuat standardisasi bersama IDI karena asosiasi inilah yang memiliki kompetensi menentukan mampu tidaknya seseorang secara rohani dan jasmani menjalankan tugas sebagai presiden atau wakil presiden. Para dokter yang dilibatkan oleh IDI adalah orang yang memiliki kompetensi keilmuan, pengalaman, dan peng-akuan publik. Dalam konteks ini keputusan KPU adalah keputusan institusional, bukan keinginan orang per orang.
Ada lagi orang yang berpendapat bahwa penilaian mampu secara rohani?yang menyertai syarat kemampuan jasmani?bukan yurisdiksi IDI tetapi lembaga ulama. Biarlah para ulama yang menentukan apakah seseorang, termasuk Gus Dur, mampu secara rohani.
Pendapat ini, meski tidak dilarang, terasa naif. Untaian kalimat mampu secara rohani dan jasmani dalam perintah konstitusi tidak ada kaitannya dengan tingkat kemampuan spiritualitas dan ketakwaan seseorang. Kata "rohani" dalam konstitusi dipasangkan dengan jasmani untuk membentuk pengertian, secara semantik, tentang kemampuan fisik dan psikologis, dan bukan kemampuan keimanan. Dalam konstitusi persyaratan keimanan sudah diatur dalam frase "seorang calon presiden dan wakil presiden haruslah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa".
Dengan cara pandang seperti ini, persoalan Gus Dur seyogianya tidak perlu dipandang sebagai soal hidup atau matinya demokrasi di negeri ini. Persoalan ini semata-mata adalah persoalan keinginan KPU untuk memberikan kepastian operasional perintah konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo