Kajidin termenung di atas perahunya yang mengambang di Muara Kali Adem, Muara Karang, Jakarta Utara. Angin siang dan riak lembut ombak membuat perahunya bergoyang pelan. Pria 40 tahun itu terdiam memandang gunungan sampah yang mengalir pelan terseret arus sungai. Ia ingat betul, arus sampah begini tak pernah disaksikannya masuk Teluk Jakarta, nun 30 tahun lalu.
Ketika itu ia berumur 10 tahun dan baru kelas lima sekolah dasar. Bersama ayahnya yang juga nelayan, Kajidin kerap diajak mengarungi ombak Laut Jawa di Teluk Jakarta ini untuk mencari udang. Saat perahu melintas, ?Udang dan ikan berlompatan masuk ke perahu,? kenang Kajidin. Setiap berlayar, paling sedikit satu kuintal (100 kilogram) udang mereka bawa pulang. ?Saat ini boro-boro, satu kilo aja susah,? ujarnya.
Kajidin yakin, laut yang tercemarlah penyebab ikan, udang, cumi, atau kepiting enggan mampir ke teluk ini. Dalam radius 5 mil laut, isi teluk penuh ?sampah dan limbah melulu,? ujar Kajidin. Maka, ia tak kaget menyaksikan matinya ribuan ikan di Pantai Ancol dan Pantai Dadap pada awal Mei ini. ?Itu puncak pencemaran di Teluk Jakarta,? katanya.
Satu hari usai terbantainya ribuan ikan itu, Kementerian Lingkungan Hidup menerjunkan tim. Tiga hari kemudian, tim peneliti dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) ikut turun. Pada minggu yang sama, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menggandeng Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) datang ke Teluk Jakarta.
Hasil penelitian itu diumumkan Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel Makarim, pekan lalu. Dari pengamatan foto udara, pengambilan sampel air laut dan ikan yang mati, juga wawancara dengan nelayan setempat, Nabiel menyimpulkan penyebab matinya ikan-ikan ini adalah meledaknya populasi fitoplankton beracun. Nelayan lokal menyebutnya oyang-oyang, dan ilmu pengetahuan menamainya pasang merah alias red tide. Ledakan itu mestinya tak terjadi jika laut tak terlalu tercemar. Tapi, karena limbah yang mengalir begitu banyak, fitoplankton pun berpesta-pora dan berkembang biak melebihi normal.
Temuan ini persis kesimpulan Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Laboratorium PKSPL IPB juga menemukan beberapa jenis fitoplankton beracun di perairan dan pada insang ikan yang mati. Menurut Profesor Tridoyo Kusumastanto, Kepala PKSPL IPB, jenis algae beracun yang ia temukan adalah Peridinium Sp., Gymnodinium Sp., Protoperidinium Sp., Prorocentrum Sp., dan Dinophysis caudata.
Makhluk berukuran sel nan mini ini bisa membunuh ikan karena aktivitasnya. Pada malam hari, fitoplankton menyerap oksigen dari perairan. Kalau jumlahnya cuma satu-dua biji memang tak masalah. Yang terjadi justru jumlahnya luar biasa banyak. Nelayan Muara Angke, Mukhtar, 42 tahun, menuturkan bahwa pada malam sebelum ikan-ikan ini mati berbarengan, perairan Teluk Jakarta berubah memerah. ?Airnya bahkan hangat, biarpun malam hari,? tambahnya.
Armada fitoplankton yang sedang pesta menghisap oksigen ini membuat biota laut lain tak kebagian. ?Kadar oksigen jadi nol. Padahal, agar ikan bisa hidup, perlu minimal dua miligram oksigen per liter air,? ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Rohmin Dakhuri. Fitoplankton ini juga menebar racunnya ke perairan, membuat penyumbatan pada insang ikan. Jadilah ikan-ikan ini tak bisa bernapas.
Kasus serangan pasang merah ini mirip dengan yang terjadi di Hong Kong pada April 1988. Saat itu 1.500 ton ikan, alias separuh jumlah produksi negara itu, mati dan terbuang dengan membawa kerugian tak kurang dari US$ 10,3 juta (lebih dari Rp 92,7 miliar). Pasang merah pula yang mendera Teluk Kota Panama, Florida, Amerika Serikat, pada Oktober 2000. Lebih dari seratus ekor hiu meregang nyawa, menebar bau busuk di sepanjang perairan.
Yang paling baru, minggu lalu, Cina juga menjadi korban. Pertumbuhan fitoplankton membengkak meliputi areal seluas 20 ribu kilometer persegi di wilayah Provinsi Zhejiang, Cina bagian timur. Peristiwa ini tercatat merupakan fenomena pasang merah terbesar yang pernah terjadi selama bertahun-tahun.
Blooming algae ini, menurut Nabiel, akibat berlimpahnya nutrisi bagi pertumbuhan fitoplankton, yakni nitrogen (N) dan fosfat (P). Dua bahan kimia ini, ditambah kondisi suhu air laut dan maraknya sinar matahari, merangsang pertumbuhan fitoplankton menjadi berlipat-lipat (lihat infografis). Data di BPLHD DKI Jakarta sendiri memperlihatkan hal ini.
Menurut Kepala BPLHD DKI Jakarta, Kosasih Wirahadikusumah, uji laboratorium terhadap air laut dan ikan yang mati memperlihatkan kandungan amoniak (NH3) di Pantai Ancol mencapai 1,06 miligram per liter, di sekitar Pantai Karnaval 0,57 mg/l, di belakang rumah makan siap saji McDonald?s 0,48 mg/l, dan di Putri Duyung 1,06 mg/l. Padahal ambang amoniak untuk biota laut hanya 0,03 mg/l.
Temuan Kosasih tak hanya itu. Di Pantai Karnaval dan sekitar restoran McDonald?s, BPLHD menemukan kandungan fenol 0,010 mg/l dan merkuri 0,056 mg/l. Padahal kadar fenol dan merkuri yang diperkenankan cuma 0,002 mg/l.
Dua tahun lalu, Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Utara (KIRJU) mengukur kadar pencemaran air laut di kawasan Teluk Jakarta. Hasil pengujian di laboratorium Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memperlihatkan kadar seng (Zn) 0,02 mg/l, tembaga (Cu) 0,02 mg/l, dan timbel (Pb) 0,03 mg/l, di atas ambang yang dibolehkan.
Padahal, menurut Zaenal Arifin, peneliti P2O LIPI, pencemaran logam berat yang sudah berlangsung lama ini menurunkan kualitas perairan. Ia menyebut rusaknya padang lamun (rumput laut), hancurnya terumbu karang, hingga penurunan keanekaragaman jenis ikan, dari 44 jenis pada 1979 menjadi 21 jenis pada tahun 2003. Kondisi perairan yang sudah begini berat, masih dihajar blooming fitoplankton, membuat ikan-ikan tak punya pilihan lain selain kelenger.
Biang keladi pencemaran Teluk Jakarta adalah aliran 13 sungai yang membawa timbunan logam berat dan limbah beracun. Menurut Rohmin, daratan menyumbang 85 persen limbah ke perairan. Sisanya, menurut Zaenal, bersumber dari pertumbuhan kawasan pantai dan kegiatan pelabuhan, doking, juga pengerukan pasir laut. Berlomba-lombalah aneka kotoran ini masuk teluk. Ia pun jadi tempat pembuangan akhir lebih dari 20 juta penduduk Jabodetabek dan 2.000 lebih industri. ?Kalau tetap begitu, tempat ini akan jadi comberan penampungan limbah,? kata Rohmin.
Biar tak jadi comberan raksasa, menurut Nabiel, masalah limbah ke Teluk Jakarta harus diselesaikan dari darat. Nabiel sendiri akan menggalang kerja sama dengan Departemen Perindustrian untuk membuat aturan soal kandungan fosfat dalam deterjen. Kelak Nabiel berharap agar rumah tangga meminimalkan limbah hingga mengolah sendiri sampah organiknya. Nabiel juga merekomendasikan pemantauan ketat terhadap industri yang melempar limbahnya ke perairan.
Sementara itu, Rohmin menyarankan dilakukan pengolahan air sungai sebelum masuk ke laut. Sehingga air sungai yang tercemar tak lagi bebas mengguyur. Di atas itu semua, Tridoyo berpesan agar ?pemerintah mampu bertindak tegas terhadap perusahaan yang jelas-jelas membuang limbahnya ke sungai dan laut?.
Agus Hidayat, Deffan Purnama (Bogor), Ramidi (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini