Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Adu Boikot Dua Seteru Lama

Jepang dan Korea Selatan bersengketa lagi soal kerja paksa di zaman penjajahan. Barang-barang asal Negeri Sakura menjadi sasaran boikot.

24 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penjagaan di kantor Kedutaan Besar Korea Selatan di Tokyo, Juni 2015./ Reuters/Toru Hanai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deretan spanduk dan poster bertulisan Boikot Jepang masih tampak di sejumlah sudut Kota Seoul, Korea Selatan, Selasa, 20 Agustus lalu. Spanduk yang mengusung pesan kampanye anti-Jepang itu tidak hanya terpasang di jalan-jalan utama dan supermarket. “Hari ini saya melihat poster serupa di dalam bus kota,” kata Kang Myung-hwa, warga Seoul, kepada kontributor Tempo, Seulki Lee.

Menurut Kang, poster yang dibuat dan dipasang serikat transportasi umum Seoul itu berbunyi Kita tidak membeli produk Jepang. Kita tidak akan bepergian ke Jepang”. “Saya melihat tidak hanya di Seoul, tapi juga di daerah kecil di Provinsi Kyungsangbukdo,” ujar petugas medis berusia 30-an tahun itu.

Hubungan Korea Selatan dan Jepang kembali memanas setelah Mahkamah Agung Korea Selatan tahun lalu me-me-rin-tahkan Mitsubishi, Nippon Steel, dan Sumitomo Metal memberikan kompensasi kepada 14 orang Korea Selatan yang dijadikan pekerja paksa selama penjajahan Jepang di Semenanjung Korea hingga Perang Dunia II. Putusan ini keluar setelah 14 orang itu menggugat perusahaan-pe-ru-sahaan Jepang tersebut beberapa ta-hun lalu. Sebagian penggugat, yang sudah renta, kini telah wafat.

Pemerintah Jepang menolak putusan itu. Menurut mereka, perjanjian Jepang dan Korea Selatan pada 1965 telah me--nye-lesaikan semua utang era kolonial. Lewat perjanjian itu, Jepang menormalkan hu--bungan diplomatik dengan Korea. Pe-me-rintah Perdana Menteri Jepang Abe Shinzo  bahkan tengah mempertimbangkan membawa perselisihan ini ke pengadilan internasional.

Menteri perdagangan kedua negara pernah mencoba meredakan ketegangan lewat sebuah pertemuan di Tokyo pada per-tengahan Juli lalu. Tapi negosiasi ber-akhir buntu. Pejabat Jepang mengatakan kepada delegasi Korea bahwa sistem kontrol per-dagangan mereka rentan. Inilah yang membuat Jepang memperketat ekspor ke Korea. Seoul membantah alasan itu.

Jepang kemudian membatasi ekspor fluo-rinated polyimide, photoresists, dan hidrogen fluorida ke Korea. Bahan-bahan kimia berteknologi tinggi itu vital bagi industri semikonduktor Korea. Perusahaan seperti Samsung menggunakannya un-tuk membuat chip komputer dan layar elek-tronik. Sebulan kemudian, Tokyo bahkan menghapus Negeri Ginseng dari “daftar putih” negara yang diutamakan dalam per-dagangan bilateral.

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyebut langkah Jepang itu sembrono, egoistis, destruktif, dan membuka kembali “luka lama” hubungan dua negara. “Jika Jepang sengaja menyerang ekonomi kita, Jepang juga akan menanggung kerusakan yang signifikan,” kata Moon. Pemerintah Korea membalasnya dengan rencana meng-hapus Jepang dari daftar negara mitra dagang pada September nanti.

Di Seoul, sebanyak 682 kelompok, ke--banyakan serikat pekerja, menggelar unjuk rasa memprotes pembatasan ekspor semi-konduktor itu di dekat Kedutaan Besar Jepang, 3 Agustus lalu. Ribuan de--mons-tran, yang umumnya paruh baya, me--neriakkan yel-yel “Kami tak akan pernah pergi ke Jepang!”, “Kami tidak akan mem-beli (produk) Jepang!”, “Ini gerakan kemerdekaan kedua kami!”.

Masyarakat Korea memboikot produk Jepang sejak awal Juli lalu. Makanan, pakaian, bir, hingga paket wisata menjadi sasaran mereka. Oh You-jin, karyawati swasta, mendapati toko-toko di sekitar tem-pat tinggalnya telah berhenti men-jual bir dan makanan ringan bikinan Jepang. Sejumlah toko serba ada bahkan membubuhkan keterangan bahwa barang yang dijual bukan produksi Negeri Sakura.

Jauh sebelum aksi boikot terhadap produk Jepang merebak di Korea Selatan, Oh menggandrungi barang-barang bikinan negeri tetangga itu. “Produk mereka ta-han lama dan nyaman digunakan,” ujar-nya. Tapi perempuan 30 tahun ini mulai menghindari produk Jepang sejak bencana nuklir Fukushima pada 2011 dan kini sepenuhnya mencari alternatif barang konsumsi dari negara lain setelah aksi boikot meluas.

Oh, misalnya, telah mencoret toko retail MUJI, merek kosmetik, hingga barang keperluan produksi Jepang untuk kucing peliharaannya dari daftar belanja rutin. “Saya terus mempelajari berbagai merek Jepang dan produk yang berafiliasi dengan kelompok pro-Jepang sehingga dapat menghindarinya,” ucapnya.

Kang Myung-hwa mengaku berhenti mengkonsumsi bir Jepang dan bir Eropa yang berafiliasi dengan Jepang serta mem-batalkan rencana pelesiran dan berkemah bersama temannya ke Shizuoka, kota kecil di barat daya Tokyo. Mengenai barang keperluan sehari-hari, dia kini mengacu pada situs www.nojapan.kr untuk mencari alternatif merek dan produk pengganti.

Produk budaya Jepang tidak luput ter-kena imbasnya. Penayangan film anime terbaru Doraemon yang populer, Dora-emon: Nobita’s Chronicle of the Moon Exploration, misalnya, yang rencananya di-ta-yangkan perdana di Korea pada 14 Agus-tus lalu, telah ditunda tanpa batas waktu.

Doraemon adalah seri animasi dari ko-mik karangan Fujiko F. Fujio yang ber-kisah mengenai robot kucing dari abad ke-22 yang punya kantong ajaib dan Nobita yang selalu dirundung masalah. Waralaba manga, anime, dan merchandise Jepang ini bernilai jutaan dolar dan populer di banyak negara Asia, termasuk Indonesia. “Dengan pertimbangan kondisi sosial dan sentimen publik, penayangan film Doraemon ditunda,” kata seorang pelaku industri film Korea Selatan, seperti dilansir Korea Bizwire.

Butt Detective: The Movie juga kena getahnya. Film animasi tentang seorang detektif kocak ini panen ulasan negatif setelah dirilis pada 11 Juli lalu. Kampanye boikot yang kini gencar di dunia maya membuat jumlah penontonnya jeblok. “Ba-nyak yang mengatakan orang Korea tidak boleh menonton film Jepang,” tulis surat kabar Hankyoreh.

Bahkan 7-Eleven, yang notabene per---u-sa-haan asal Amerika Serikat, ikut menjadi korban lantaran banyak orang Korea me-ngira toko retail itu punya Jepang. “Aksi boikot telah membuat bisnis saya merugi. Sejauh ini saya masih bisa bertahan, tapi produk tertentu tidak laku, seperti bir dan minuman beralkohol dari Jepang,” ujar Lee Sang-joon, pemilik salah satu gerai 7-Eleven di Seoul.

Aksi boikot itu meluas. Di Seoul, se--jum-lah stasiun pengisian bahan bakar menolak mengisi bahan bakar mobil-mobil bikinan Jepang. “Setiap melihat mobil Jepang saya seperti melihat ‘bendera Jepang’,” kata seorang pengelola stasiun pengisian bahan bakar, seperti diberitakan Korea Times. Beberapa bengkel mobil bahkan juga bersepakat tidak melayani perbaikan untuk kendaraan produksi Negeri Sakura.

Kampanye “boikot Jepang” ini langsung terasa dampaknya. Layanan Bea dan Cukai Korea (KCS) mencatat impor barang-barang konsumsi dari Jepang turun 13,8 persen pada Juli lalu dibanding tahun sebelumnya. Pembelian bir, sake, alat tulis, mainan, se-peda motor, dan kosmetik merosot tajam. “Impor bir Jepang turun 98,8 persen selama 10 hari pertama Agustus dibanding periode yang sama tahun lalu,” tulis KCS.

Seperti ribuan warga Korea Selatan lain, Oh You-jin belum berencana mengakhiri aksi boikotnya. “Jepang tidak pernah benar-benar meminta maaf atas kerja pak-sa dan perbudakan seksual oleh mili-ter-nya,” ujarnya kepada Tempo. Kang Myung-hwa optimistis perlawanan lewat boikot ini bakal awet. “Saya menyaksikan hampir setiap warga negara menunjukkan sentimen anti-Jepang.”

MAHARDIKA SATRIA HADI, SEULKI LEE (KOREA SELATAN), (ASIA NIKKEI, BUSINESS INSIDER, REUTERS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus