Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Human Rights Watch meng-amati secara dekat perang antinarkotik dan obat-obatan terlarang di Filipina yang di--lun-curkan Presiden Rodrigo Roa Duterte sejak 1 Juli 2016. Maret 2017, Human Rights Watch merilis laporan “License to Kill: Philippine Police Killings in Duterte’s War on Drugs”, yang merinci perang yang menewaskan ribuan orang itu. “Perang narkotik di Filipina adalah bencana hak asasi manusia,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Divisi Asia Hu-man Rights Watch, dalam wawancara me-lalui surat elektronik dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, Sabtu, 10 Agustus lalu.
Bagaimana Anda melihat perang narkotik di Filipina yang terus berlanjut?
Perang narkotik di Filipina adalah ben-cana hak asasi manusia yang meng-aki-batkan lebih dari 25 ribu nyawa melayang. Paling banyak mereka yang ditembak mati polisi dalam operasi “jual-beli” palsu atau oleh orang tak dikenal yang beroperasi ber-sama-sama dengan pihak berwenang adalah yang termiskin dari yang miskin, penghuni daerah kumuh, dan “ikan teri” dari perdagangan narkotik. Presiden Duterte sedang mengejar popularitas politik dengan perang narkotik ini.
Apa masalah terbesar perang narkotik ini? Legalitas atau caranya?
Masalah terbesar adalah pembantaian orang, pembunuhan di luar hukum, yang meninggalkan mayat setiap pagi di jalan-jalan di daerah kumuh Filipina yang paling miskin. Polisi mengklaim operasi “jual-beli” mereka sah, tapi mereka mengarang cerita dan meletakkan senjata di sebelah orang yang ditembak mati seperti di film-film Hollywood.
Fakta bahwa lebih dari 20 ribu orang terbunuh oleh para vigilante yang tam-pak-nya berkoordinasi dengan pihak berwenang dan tidak ada yang ber-tang-gung jawab atas pembunuhan itu me--nun-juk-kan betapa perang narkotik Duterte ini tak sesuai dengan hukum. Perang ini telah berulang kali dikutuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pelapor Khusus PBB yang menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tidak ada pembenaran internasional untuk pertumpahan darah ini.
Filipina berpendapat perang ini untuk mengatasi masalah akut narkotik....
Masalah kecanduan narkotik harus ditangani dengan program partisipatif dan berbasis komunitas. Ada hukum inter-nasional dan praktik terbaik tentang cara menangani masalah narkotik. Tapi perang narkotik Duterte jauh dari itu semua.
Dengan keluarnya Filipina dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dapatkah badan itu terus menyelidikinya?
Segala sesuatu yang terjadi di Filipina hingga hari keluarnya mereka dari ICC masih dalam jangkauan ICC. Duterte mung-kin berpikir bahwa ia dapat luput dari pertanggungjawaban dengan me-na-rik Filipina keluar dari ICC, tapi ia sa-ngat keliru. Sejak saat ia mengambil alih kekuasaan hingga Maret 2017 itu masih dalam wilayah ICC dan sekarang sedang diselidiki secara aktif oleh jaksa ICC. Kami berharap pada akhirnya ICC akan menemukan ada kasus untuk Duterte dan orang-orangnya untuk menjawab di pengadilan dan ia akan menghadapi keadilan di tangan masyarakat internasional.
Keluarga korban masih bisa mendapatkan dukungan internasional dalam kasus ini?
Ada banyak dukungan internasional untuk keadilan di Filipina.
Apakah Filipina sendiri bisa independen dalam menyelidiki masalah ini?
Investigasi Filipina atas pembunuhan perang narkotik menjadi lelucon. Hanya ada satu kasus—tiga polisi membunuh remaja Kian Loyd delos Santos—yang pengadilannya berjalan secara efektif dan menghukum polisi pelaku pembunuhan. Satu-satunya alasan ini terjadi adalah para penyelidik mendapatkan rekaman kamera pengawas (CCTV) pembunuhan itu sebelum polisi sampai di sana dan menghancurkan barang bukti.
Tiga Tahun Perang Narkotik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo