TAMPAKNYA tak ada yang untung dalam masalah Afghanistan sekarang. Menlu Uni Soviet Eduard Shevardnadze pekan lalu, keluar dari ruang perundingan dengan Menlu AS George Shult, tampak kecewa sangat. Soal Afghanistan, antara lain yang menjadi pembicaraan panjang di pertemuan itu, tak juga ditemukan jalan keluarnya. Bila Shevardnadze tak sama sekali pulang ke Moskow dengan tangan hampa, pada KTT Moskow mendatang, Afghanistan disepakati jadi masalah utama. "Masalah itu tampaknya lebih penting dibandingkan masalah perlucutan senjata dan lainnya," kata seorang staf Shevardnadze. Shultz dan Shevardnadze, sebagaimana juga perundingan di Jenewa antara wakil pemerintah Kabul dan Pakistan, tak bisa menyingkirkan ganjalan yang mereka pasang sendiri. Shultz, misalnya, tetap ngotot agar Soviet menghentikan bantuannya bagi Afghanistan, begitu tentara Soviet ditarik mundur. Shevardnadze menolak, karena perjanjian bantuan senjata ke Afghanistan merupakan bagian dari paket bantuan ekonomi. Sebaliknya, ia menuntut agar AS menghentikan bantuan senjata selekas mungkin kepada Mujahidin. Tentu saja Shultz ganti menolak. Ia tak menyebutkan sebab penolakannya. Presiden Pakistan Zia Ul Haq, pekan lalu, dalam sebuah acara di Pakistan, menekankan tetap perlunya membantu pejuang Mujahidin sebelum persoalan Afghanistan selesai. Sebab, kata Zia, kalahnya Mujahidin berarti terbuka kemungkinan rezim Najibullah yang didukung Moskow mengganggu negeri tetangga. Tapi tampaknya baik Soviet maupun Pakistan sesungguhnya ingin secepatnya menyelesaikan masalah Afghanistan. Ribuan pengungsi Afghanistan yang tinggal di Pakistan menjadi salah satu sebabnya. Itulah, menurut Reuters, yang mewawancarai seorang diplomat Pakistan di Jenewa Senin pekan lalu, pihak Soviet telah menerima pembentukan pemerintahan koalisi yang netral di Afghanistan - seperti yang diusulkan Pakistan dan selalu ditolak pihak Kabul. Ini dikatakan Soviet setelah pihak Pakistan sedikit mundur. Yakni tak menuntut pemerintahan koalisi dibentuk sebelum tentara Soviet ditarik. Melainkan sesudah tentara Soviet ditarik, boleh juga. Sementara itu, AS pun dikabarkan menghentikan pengiriman meriam antiserangan udara terbarunya kepada pejuang Mujahidin. Tindakan ini memang bukan isyarat AS untuk memuluskan jalannya perundingan Jenewa yang sudah berlangsung sejak 1982. Menurut Washington Post, langkah itu diambil pemerintah Reagan, karena sekitar 2% dari senjata yang dikirimkan AS jatuh ke tangan Iran. Sebagai gantinya, AS hanya menyediakan dana sebesar US$ 300 juta untuk membeli peralatan militer lain yang tak begitu ampuh daya perusaknya: seperti mortir dan penyapu ranjau modern. Sedangkan bagi Soviet, penarikan pasukannya dari Afghanistan agaknya didorong sikap masyarakat Soviet sendiri, yang kini merasa yakin bahwa perang Afghanistan harus ditinggalkan. Perang Afghanistan adalah perang Vietnam kedua, kata mereka. Memang. Tentara Soviet yang pulang perang kebanyakan menderita trauma. Mereka frustrasi karena tak disambut sebagaimana layaknya tentara yang telah berbakti pada nusa dan bangsa. Yang invalid, misalnya, harus memakai kursi roda model kuno dan berat, tinggal di apartemen kecil, tanpa air ledeng. Tak heran bila bekas serdadu Soviet yang disebut sebagai Afghantsi itu sering kedapatan mabuk, jadi pencandu narkotik. Belum lagi sikap para dokter yang merawat mereka tak begitu simpatik. "Siapa suruh kalian berperang ke Afghanistan?" bentak dokter-dokter Soviet bila para Afghantsi banyak tingkah. Itu semua membuat ibu-ibu Soviet kini sungguh tak bahagia bila putra mereka terpilih dikirimkan ke Afghanistan. Dan bisa dimaklumi bila sebagian besar masyarakatnya menentang perang Afghanistan. Itu semua ditambah beban anggaran buat membiayai pengiriman pasukan ke Afghanistan. Tak tersebut secara jelas biaya seorang prajurit Soviet di Afghanistan yang kini berjumlah lebih dari 115.000, tapi tentulah ini jadi beban berat bagi Moskow. Dan sebenarnya rezim Kabul sendiri mengisyaratkan perdamaian juga. Poster-poster bergambar sekelompok orang berjenggot tebal menyandang senjata berat yang saling berjabatan tangan sambil tersenyum, tertempel di seantero ibu kota Afghanistan, Kabul, dan kota besar lainnya. Poster yang merupakan propaganda pemerintah Kabul dukungan Uni Soviet ini memang mengharapkan kaum pejuang Mujahidin agar mau bergabung dalam pemerintah Afghanistan. Maka, kini masalahnya tampaknya tinggal pada pejuang Mujahidin. Sebentar lalu mereka mengancam akan menyerang instalasi militer di Kabul dan kota lainya. Tapi ancaman itu tak terwujud. Besar kemungkinan, 7 kelompok pejuang tak mencapai kata sepakat. Adakah mereka bersedia turun gunung bila tentara Soviet telah ditarik? Juga para pengungsi di Pakistan akan pulang? Dalam hal ini, jaminan keselamatan mereka yang bisa diberikan oleh Pakistan, mungkin juga AS, jadi penting. D.P. (Jakarta) & Richard Ehrilch (New Delhi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini