KABUL tak menentu. Sabtu pekan lalu para diplomat asing memenuhi bandara ibu kota Afghanistan itu, berusaha meninggalkan negeri ini. Bahkan sejumlah staf PBB yang ditugasi membentuk pemerintahan sementara pun tampak berada di bandara dan juga berniat meninggalkan Kabul. Inilah akibat kabar santer yang tampaknya segera menjadi kenyataan: masuknya mujahidin radikal pimpinan Gulbuddin Hekmatyar dari perbatasan Afghanistan-Pakistan. Yang menjadikan para diplomat mencoba menghindarkan Kabul, Hekmatyar konon sesumbar bahwa Kabul akan diporak-porandakannya jika kekuasaan tak diserahkan pada orang-orang yang sudah ia tunjuk. Tak jelas siapa saja yang ditunjuk oleh Hekmatyar, pimpinan kelompok Hezb-i-Islami itu. Yang pasti, kelompok mujahidin moderat, Jamiat-i-Islami, yang diketuai oleh Ahmad Syah Massoud, yang menguasai daerah utara, adalah saingan Hekmatyar. Jika saja Ahmad masuk Kabul dari utara, dan dari tenggara masuk Hekmatyar, kemungkinan meledak pertempuran sangit sangat besar. Inilah akibat jatuhnya Najibullah, boneka Moskow terakhir di negeri yang telah dilanda perang saudara selama 13 tahun ini. Kamis pekan lalu dengan resmi ia menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden Afghanistan. Lalu ia berusaha meninggalkan Kabul. Malang, bandara telah dikuasai oleh pasukan mujahidin dan tentara Afghanistan yang menentang Najibullah. Melihat pasukan yang berada di bandara, jadi tak jelas benar apakah Najibullah mengundurkan diri atau dijatuhkan dengan sengaja. Menurut kantor berita Associated Press, koalisi antara pemberontak mujahidin moderat dan korps perwira tentara Afghanistanlah yang telah melakukan kudeta. Adanya koalisi inilah, antara lain, yang membuka jalan bagi sejumlah intelijen rezim Kabul menjadi agen ganda, memberikan infoinfo penting pada para pejuang Islam. Salah satu hasil nyatanya adalah jatuhnya sebuah benteng di kota di tenggara Kabul beberapa lama lalu, salah satu benteng andalan Najibullah. Tapi jatuhnya Najibullah belum menjamin lahirnya perdamaian di Afghanistan. Sudah sejak awal para pengamat menduga, sejauh masih ada musuh bersama, yakni Najibullah, para mujahidin yang terdiri dari berbagai faksi itu masih bisa saling tenggang. Tapi, begitu pemerintah Najibullah jatuh, suatu pertempuran antarmujahidin memperebutkan kekuasaan sangat mungkin meledak. Dalam dua tahun terakhir ini sering sekali terjadi bentrokan antara kelompok Hekmatyar dan Ahmad Massoud, dua kelompok terkuat di antara faksifaksi mujahidin, dan banyak membawa korban jiwa. Sementara itu, belum jelas benar apa yang terjadi atas diri Najibullah. Sampai akhir pekan lalu dikabarkan ia berada dalam tahanan. Tapi ada juga dugaan ia berada di bawah perlindungan wakil PBB di Afghanistan, Benon Sevan. Perkiraan tersebut didasarkan pada kuatnya penjagaan di bagian Kota Kabul tempat utusan PBB itu berkantor. Para pengawal yang terdiri dari anggota tentara yang masih setia pada "orde lama" tak mengizinkan siapa pun masuk ke wilayah itu. Apa pun yang terjadi atas dirinya, kini tampaknya Najibullah benar-benar sendirian. Proses kesendirian itu dimulai dengan penarikan mundur pasukan Soviet dari Afghanistan tak lama setelah Gorbachev berkuasa. Hal itu makin terasa ketika Uni Soviet menghentikan semua bantuan ekonomi dan militer kepada rezim Najibullah, dan mencapai puncaknya ketika Uni Soviet bubar, akhir tahun lalu. Tragisnya, begitu ia jatuh pekan lalu, segera saja orang meninggalkannya. Bahkan Abdul Wakil, menteri luar negeri yang menjadi tangan kanannya, tak cuma meninggalkannya, juga mengutuknya. Berpidato di muka kamera televisi Wakil menuduh Najibullah sebagai "diktator paling dibenci" dan hanya menjadi "pengganjal proses perdamaian". Ia kemudian menjanjikan kedatangan perdamaian dengan segera. Lalu Ghulam Farooq Yakubi, kepala dinas rahasia Afghanistan yang disebut Khad, pun meninggalkannya, meski dengan cara lain: sehari setelah Najibullah meletakkan jabatan, ia bunuh diri. Padahal, dulu Najibullah Ahmadzi, yang kini berusia 44 tahun, adalah seorang politikus yang lihai dan alot. Pemikirannya dibentuk oleh dua dunia yang saling berlawanan. Masa anak-anaknya sebagai putra seorang kepala suku di Provinsi Paktia dekat perbatasan dengan Pakistan, ditempa dengan pendidikan tradisional. Tapi kemudian ia menolak Islam dan menyatakan dirinya seorang komunis, tahun 1965, ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Kabul. Setelah itu kedudukannya naik dengan cepat. Pada 1973 monarki Afghanistan dirontokkan dan negeri itu menganut sistem republik. Pada tahun 1975 Najibullah, yang baru menyelesaikan pendidikan dokternya, masuk menjadi tentara. Setahun kemudian ia keluar dari dinas militer dan bekerja secara penuh untuk Partai Komunis Afghanistan. Dua tahun kemudian ia sudah duduk di Komite Sentral. Di situlah bakat kepemimpinannya dan keahliannya berorganisasi kelihatan. Di samping itu, kekagumannya terhadap Moskow juga makin tebal. Setelah kudeta kaum komunis pada 1978, ia ditempatkan di Teheran sebagai duta besar. Uni Soviet kemudian melancarkan invasi, tahun 1979, dan menempatkan mentornya, Babrak Kamal, di kursi kepresidenan. Najibullah kemudian diangkat sebagai kepala dinas rahasia. Selama tujuh tahun rezim Babrak selalu diganggu oleh pemberontakan muslim dan faksionalisme di dalam pemerintahannya sendiri. Ketika itulah Najibullah dikenal sebagai pejabat yang efisien. Pada tahun 1986 Soviet, yang tak puas dengan penampilan Babrak Kamal, mencampakkannya dan mengangkat Najibullah untuk menggantikannya. Mula-mula taktik Najibullah mengembangkan "kerukunan nasional" untuk melawan mujahidin tampak berhasil. Setelah Uni Soviet menarik tentaranya, 1988, ia menambah siasatnya dengan cara tak terlalu menonjolkan warna merahnya. Ia pun mendekati para pemimpin suku dan menjanjikan pemerintahan baru dengan melibatkan semua suku. Ketika itu hampir saja Najibullah berhasil membalikkan pandangan rakyat terhadap mujahidin. Tersebar kabar angin, pasukan mujahidin sewenang-wenang terhadap mereka yang tak meninggalkan Kabul bergabung dengan mereka. Kabar ini sempat memobilisasikan warga Kabul, terutama untuk membela Najibullah dan tentaranya dari gempuran mujahidin. Tapi tanpa bantuan keuangan dari Moskow, sedangkan kaum Mujahidin makin kuat karena bantuan keuangan, senjata, dan dukungan diplomatik dari hampir semua negara Barat, Pakistan, dan negara-negara Islam. Rupanya, di sisi lain terjadi pembelotan dalam pasukan Najibullah sendiri. bahkan, seperti sudah disinggung, beberapa intelijen memerankan agen ganda. Pelanpelan popularitas pemerintahan Najibullah surut. Sampai akhirnya, melihat tulang pungungnya, yakni militer, yang hanya setengah-setengah mendukungnya, ia lalu memutuskan diri untuk mundur. Sampai akhir pekan lalu masih belum jelas siapa yang sekarang berkuasa di Kabul. Ada perkiraan empat orang jenderal telah melakukan kudeta -- Mohammed Nabi Azimi, Babha Kahan, Asif Dilawar, dan Abdul Mohmin. Keempat jenderal itu, konon, dianggap tokoh "bersih" oleh para gerilyawan muslim yang menentang rezim Kabul. Mereka adalah perwira tinggi yang tak "tercemar" oleh ideologi kaum Marxis yang melakukan kudeta pada 1978 -- kudeta yang menyulut perang saudara yang kejam yang terus berkobar hingga pekan lalu. Menurut sumber Partai Watan (Tanah Air) -- partai yang tadinya dipimpin oleh Najibullah -- keempat jenderal itu mengadakan kerja sama diam-diam dengan Ahmad Syah Massoud. Belum jelas benar apa yang akan dilakukan oleh koalisi longgar itu. Ada yang mengatakan mereka akan bertindak sebagai pemerintah sementara sampai administrasi sementara yang disponsori oleh PBB terbentuk. Tapi, ada dugaan, Ahmad Massoud akan menempuh jalan sendiri. Bila yang kedua yang terjadi, nasib Najibullah -- dan juga nasib Afghanistan -- tampaknya akan semakin tak menentu: tak cepatnya terbentuk pemerintahan sementara yang melibatkan PBB dan mujahidin akan memancing pertempuran perebutan kekuasaan. Situasi yang sewaktu-waktu bisa meledak jadi perang antarmujahidin itulah yang kini mencemaskan dunia internasional. Amerika dan negara-negara Barat sangat khawatir, pergolakan yang terus-menerus di Afghanistan akan mengganggu stabilitas nasional di Pakistan yang sejak dua tahun terakhir ini makin goyah. Juga dikhawatirkan pergolakan itu akhirnya merambat ke negara-negara Asia Tengah, yang kini sedang menata diri setelah Uni Soviet tak ada lagi. Keadaan itulah oleh sementara pengamat ditafsirkan akan adanya campur tangan Amerika di Afghanistan. "Kami tak ingin melihat suatu Afghanistan yang mengganggu kestabilan Pakistan dan Asia Tengah," kata seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri Amerika kepada surat kabar New York Times baru-baru ini. Dan ini tampaknya akan menjadi peluang bagi AS untuk mendukung pemerintahan Islam di Afghanistan yang moderat. Amerika tentu tak suka bila yang naik di Afghanistan adalah pemerintahan yang proIran, misalnya. Itu pula yang dikhawatirkan oleh negara-negara Arab. Yakni, pergolakan di Afghanistan yang tak ada hentinya akan memperkuat pengaruh Iran dan paham fundamentalis. Mungkin saja kekhawatiran itu beralasan. Iran secara geografis dekat dengan Afghanistan. Dan kini negeri mullah ini dikabarkan sedang membangun angkatan bersenjatanya. Kekuatan yang dipunyai Iran kini merupakan modal untuk ikut mempengaruhi pemerintahan Afghanistan yang akan terbentuk. Suara yang paling terdengar akhir pekan lalu, ketika dikabarkan kelompok mujahidin pimpinan Hekmatyar mulai bergerak ke Kabul, adalah suara Presiden Iran Hashemi Rafsanjani, agar sesama muslim sama-sama menahan diri. Apa salahnya bila Iranlah yang bisa mencegah Afghanistan menjadi "Kamboja baru"? Namun, apakah Mujahidin yang merasa sudah mengantongi kemenangan akan mengikuti imbauan Barat, Timur Tengah, Pakistan, dan Iran adalah masalah lain. Pertama, yang segera akan terjadi tentulah pembalasan dendam terhadap bekas-bekas aparat pemerintah Najibullah, yang dulu dengan dukungan Soviet membunuhi Mujahidin. Problemnya lagi, PBB yang menawarkan diri sebagai perantara demi terciptanya perdamaian sekarang cukup sibuk. Badan dunia itu sedang terlibat dalam proses yang sama di Kamboja, Yugoslavia, Timur Tengah, dan Afrika. Mampukah ia menyediakan sumber daya manusia untuk terjun di Afghanistan, membentuk suatu organisasi yang akan menggantikan pemerintah Najibullah? Celakanya lagi, ketakutan di Kabul lebih berperan daripada missi PBB. Seperti sudah disebutkan, akhir pekan lalu banyak pejabat PBB di Kabul yang ikut bersiap keluar dari kota yang dikabarkan akan jadi ajang pertempuran sengit itu. Dan bila pertempuran benar meletus, itu memang tragedi yang terjadi di mana pun juga, tak peduli apakah yang bertempur itu sesama muslim, ataukah sesama Kristen seperti di Yugoslavia, atau antara muslim dan Kristen seperti di Nagorno-Karabakh: adalah orang-orang sipil yang tak bersalah yang banyak jadi korban. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini