Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kejatuhan sang banteng

Kejatuhan presiden Afghanistan Najibullah diharapkan membuat rakyat dapat menghirup udara perdamaian. tapi, Afghanistan yang mengalami kehancuran sosial-ekonomi membutuhkan bantuan pihak luar.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Kejatuhan sang banteng
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PENGUNDURAN diri Presiden Afghanistan Najibullah -- ia kemudian dikabarkan meminta perlindungan di kantor perwakilan PBB di Kabul -- pada Kamis, 16 April 1992 lalu, sebenarnya tidak begitu mengejutkan. Yang mengejutkan, justru mengapa ia baru jatuh sesudah tiga tahun ditinggalkan Moskow, yang selama ini menjadi penopang utama bagi kekuasaannya. Sewaktu pasukan Soviet ditarik mundur dari Afghanistan (1989), banyak pengamat yang meramalkan, nasib rezim Najib tidak akan bertahan lebih dari dua bulan. Ternyata, ia masih sanggup bertahan hingga saat kejatuhannya itu. Salah satu sebabnya, tidak lain dari ketidakpaduan kelompok-kelompok Mujahidin antiMarxis dan masih cukup kuatnya persatuan di tubuh militer. Namun, dalam perkembangannya, runtuhnya Uni Soviet secara perlahan tapi pasti menggerogoti keutuhan di tubuh militer pendukung Najib. Karena, sejak campur tangan Soviet di Afghanistan pada 1979, baik dari segi ekonomi, politik, maupun militer, Kabul sepenuhnya bergantung pada Moskow. Sehingga, tatkala Soviet ambruk pada akhir 1991, rezim Najib bagaikan anak ayam kehilangan induk. Sementara itu, tekanan terhadap Najib agar menjalankan reformasi politik di negaranya -- sebagaimana telah terjadi di negara-negara Komunis lainnya -- terus dilancarkan dari segala penjuru, baik dari Barat maupun Dunia Islam. Dalam waktu hampir bersamaan, terjadi disersi besar-besaran di tubuh militer. Tapi Najib, yang oleh pendukungnya dijuluki Sang Banteng karena tubuhnya yang kekar (konon ia pecandu berbagai macam jenis olahraga), masih berusaha untuk tidak jatuh secara tak terhormat. Pada September 1991, misalnya, ia menyatakan kesediaannya untuk tidak dilibatkan dalam suatu pemerintahan peralihan yang akan menjamin transfer kekuasaan secara damai. Bulan lalu, Najib berjanji untuk meletakkan jabatannya pada akhir April ini, yang memberikan jalan bagi terbentuknya Dewan Pemerintahan Sementara yang disponsori PBB. Dewan beranggotakan lima belas orang inilah yang diharapkan mengambil alih kendali kekuasaan begitu Najib mundur. Sayangnya, tidak seluruh faksi Mujahidin terwakili di dalam dewan ini. Proses peralihan kekuasaan seperti yang diharapkan Najib memang tidak terjadi. Gempuran pihak Mujahidin yang konon mendapat bala bantuan ratusan tentara pembelot, semakin menjepit Kabul dan memaksa Najib untuk mundur lebih cepat dari yang diinginkannya. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana Afghanistan pasca-Najib? Benarkah jatuhnya Najib dengan sendirinya akan mengakhiri penderitaan rakyat Afghan akibat 13 tahun perang saudara? Jurubicara kelompok Mujahidin yang berpangkalan di Peshawar (Pakistan), Najibulah Lafraie, yang juga doktor ilmu politik dari Universitas Hawaii, baru-baru ini mengatakan, "Semakin cepat rezim Najib jatuh semakin cepat pula rakyat Afghan akan menghirup udara perdamaian". Optimisme Lafraie (yang disertasi doktornya tentang Revolusi Islam Iran) jelas sangat berlebihan. Mengapa? Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, kendati sudah sama-sama berjuang melawan rezim Marxis di Kabul selama tiga belas tahun, kaum Mujahidin belum juga berhasil menggalang persatuan dan kesatuan. Artinya, ketika ada musuh bersama pun mereka sulit bersatu, apalagi jika musuh bersama itu sudah tidak ada. Dengan kata lain, jatuhnya Najib justru semakin mengendorkan perekat persatuan dan kesatuan di tubuh Mujahidin. Seperti diketahui, perbedaan pendapat di tubuh Mujahidin antara -- sebut saja -- kelompok "moderat" dan "garis keras" tidak hanya pada masalah strategi militer dalam menghadapi Najib, yang tidak jarang mengakibatkan saling baku hantam di antara sesama Mujahidin, tapi juga pada masalah bagaimana bentuk negara dan sistem politik Afghanistan yang dicita-citakan sesudah runtuhnya rezim Marxis. Kelompok "moderat" pimpinan Sibaghatullah Mujahiddidi yang juga "Presiden" AIG (Afghanistan Interim Government) -- aliansi tujuh kelompok Mujahidin yang berbasis di Pakistan -- misalnya, menghendaki berdirinya pemerintahan demokrasi "sekuler" yang bersahabat dengan Barat. Sebaliknya, kelompok "garis keras" pimpinan Gulbuddin Hekmatyar yang, antara lain, juga didukung sebagian besar kelompok Mujahidin faksi Syi'ah pro-Iran, mencita-citakan tegaknya sebuah Rpublik Islam ala Iran yang cenderung anti-Barat. Kedua, di samping perbedaan di antara sesama Mujahidin, yang juga belum menjamin bakal terciptanya perdamaian di Afghanistan pascaNajib adalah, kemungkinan tampilnya kembali kalangan militer yang selama ini berlindung di belakang Najib tapi sebenarnya mempunyai vested interest sendiri. Mereka yang umumnya terdiri dari para perwira menengah ke atas ini hampir pasti tidak menghendaki nasibnya "ditentukan" kaum revolusioner, sebagaimana yang telah dialami para perwira pendukung bekas Shah di Iran sesudah revolusi 1979. Ketiga, kemungkinan adanya campur tangan pihak Barat, khususnya AS, yang jelas tidak menginginkan berdirinya suatu pemerintahan Mujahidin yang netral, apalagi yang pro-Iran dan anti-Barat. Bagaimanapun, "faktor Iran" dalam masalah Afghanistan tidak bisa diabaikan begitu saja. Selain Teheran mendukung faksi-faksi Syi'ah di tubuh Mujahidin, di Iran juga terdapat sekitar dua juta pengungsi Afghan. Pada masa lalu, Iran dan Afghanistan pun dikenal sebagai "sepupu kultural" ("cultural cousins"). Afghanistan yang mengalami kehancuran infrastruktur sosial-ekonomi akibat perang berkepanjangan sudah tentu sangat membutuhkan uluran tangan pihak luar. Dan, untuk saat ini, hanya Barat dan para sekutunya di Dunia Arab yang bisa membantu mengatasi masalah ekonomi Afghanistan. Padahal, bantuan ekonomi merupakan sarana paling empuk untuk memaksakan kepentingan politik. Apalagi, di tengah ketidakadilan sistem internasional dewasa ini. Jadi, tampaknya jalan masih panjang bagi rakyat Afghan untuk dapat menghirup udara perdamaian, kendati Sang Banteng sudah roboh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus