PASAR dan toko makanan kebanjiran pembeli di Libya. Mereka terutama berbelanja kebutuhan pokok sehari-hari: gula, beras, minyak, dan bahan makanan lainnya habis diborong dari tokotoko koperasi yang disubsidi pemerintah. Kebutuhan lain macam pakaian, sepatu, dan kebutuhan sekunder tak disentuh pembeli. Lalu di Tripoli, ibu kota Libya, warganya banyak yang menukarkan uangnya ke dolar Amerika, konon untuk persiapan sewaktu-waktu harus mengungsi ke luar negeri. Inilah dampak dijatuhkannya sanksi Dewan Keamanan PBB atas Libya, Rabu pekan lalu. Libya tetap tak mau tunduk pada tuntutan Amerika, Inggris, dan Prancis. Muammar Qadhafi, sang pemimpin, berkeras tak akan menyerahkan dua warganya yang dituduh mengebom pesawat sipil Amerika, dan empat yang lain yang akan diinterogasi sehubungan dengan meledaknya pesawat sipil Prancis. Tapi inilah semangat maju tak gentarnya Libya. Dan untuk itu pemerintah Libya rupanya telah menyiapkan diri. "Kami tak bisa disamakan dengan keadaan di Irak menjelang Perang Teluk. Kami kaya minyak," kata seorang penduduk Tripoli. Tampaknya, warga Tripoli mengahadapi sanksi PBB itu dengan santai. Di tengah kota, beberapa pemuda berkumpul sambil menyanyikan lagu-lagu perdamaian diiringi petikan gitar. Tak lagi ada kemarahan terhadap kedutaan Barat, seperti ketika PBB mengumumkan sanksi tersebut sebulan lalu. Bila ada pemandangan yang berubah adalah banyaknya pita hitam di mana-mana: di ujung antena radio mobil, di kepala orang-orang dewasa maupun remaja dan anak-anak. Tapi itu bukan tanda duka cita terhadap jatuhnya sanksi, melainkan tanda dukacita untuk memperingati peristiwa pengeboman AS terhadap Tripoli dan Benghazi, 14 April enam tahun silam. Sanksi Dewan Keamanan PBB yang pertama memang tak langsung menyangkut pada kehidupan sehari-hari, yakni pemutusan hubungan udara. Rabu pekan lalu itu tiga pesawat Libyan Air Lines yang terbang ke Mesir, Tunisia, dan Italia. Sekitar dua jam kemudian ketiganya kembali mendarat di Tripoli. Radio Montecarlo yang dipancarkan di Paris memberitakan, pesawat tempur Italia menghadang pesawat Libyan Air Lines di udara, dan memaksanya kembali ke Tripoli. Hal serupa juga dilakukan pemerintah Kairo. Pesawat Libyan Air Lines yang mengangkut 227 penumpangnya ditolak melintasi udara Mesir. Tapi lain di udara, lain pula di darat. Di pintu gerbang Sallum, di perbatasan Mesir-Libya, sekitar 8.000 pekerja kasar warga Mesir dengan leluasa memasuki wilayah Libya. Tentu saja mereka leluasa di pos perbatasan itu dipasang papan bertuliskan ini: "Warga negara Mesir dan Libya tak perlu menjalani pemeriksaan paspor dan bea cukai." Sebaliknya, arus warga Libya yang masuk ke Mesir agak terhambat oleh pemeriksaan polisi Mesir. Setiap warga Libya digeledah secara teliti, termasuk truk dan angkutan lainnya. Sejak sanksi diberlakukan, pemerintah Mesir mengerahkan tim polisi keamanan tambahan untuk mencegah masuknya kelompok teroris bersenjata dari Libya. Yang dikhawatirkan, kelompok teroris itu melakukan pengeboman dan aksi teror pada sejumlah kedutaan Barat di Kairo. Tapi, sejauh tak ada yang mencurigakan, warga Libya pun bebas masuk Mesir. Ada pula pihak-pihak yang diuntungkan oleh sanksi PBB terhadap Libya itu. Sejumlah pengusaha angkutan laut di Malta, republik pulau di utara Libya, memperoleh kontrak dari pemerintah Libya. Perusahaan angkutan laut Virtu Ferries, misalnya, meneken kontrak kerja sama dengan perusahaan negara transportasi laut Libya. Isi kontrak: kerja sama dalam mengoperasikan sebuah kapal mewah berkecepatan tinggi yang berkapasitas 330 penumpang sekaligus. Sedangkan jadwal pelayaran dari Valletta, ibu kota Malta, menuju Tripoli ditingkatkan menjadi lima kali seminggu. Siapa penumpangnya? "Para diplomat asing dan karyawan perusahaan minyak asing di Libya, serta pengusaha Libya sendiri," kata seorang pengusaha angkutan laut Malta. Tak cuma di luat rezeki dari udara turun. Juga di darat. Para pengusaha bus Mesir dan Tunisia terpaksa menambah jumlah busnya karena penumpang meningkat. Malah dikabarkan tercapai kesepakatan baru antara maskapai penerbangan Mesir, Egypt Air dengan Libyan Air Lines. Dalam kesepakatan itu disebutkan, pihak Libya akan mengangkut penumpangnya yang hendak ke Mesir sampai di Tobruk, sekitar 135 km dari perbatasan Mesir. Dari sana para penumpang bisa melanjutkan perjalanan dengan bis Mesir nyaman ber-AC, menuju Sidi Barrani di Mesir, untuk selanjutnya menuju Kairo atau kota-kota lain di Mesir. Sehari setelah sanksi dijatuhkan, sekitar 250 warga asing tiba di Valleta dengan kapal feri Toletela, milik Libya. Wajah mereka tampak letih setelah menempuh perjalanan selama 12 jam dari Tripoli. "Pada mulanya memang terasa tak nyaman. Nanti, lamalama juga biasa," tutur salah seorang penumpang, warga Libya. Kebanyakan dari penumpang Toletela adalah para pekerja asing di perusahaan minyak Libya. Sebetulnya mereka enggan pulang, mengingat bayaran yang diterimanya lebih dari US$ 60.000 per tahun. Tapi orang-orang ini yakin, "Amerika tak ragu-ragu mengebom Libya, meski di situ terdapat warga Amerikanya," tutur seorang pekerja Inggris berusia 40 tahun. Pemerintah Rusia juga memulangkan 3.000 warganya, kebanyakan teknisi dan instruktur militer. Sejumlah negara Barat dan Jepang juga memerintahkan warganya untuk segera meninggalkan Libya. Sementara itu, pemerintah Libya telah mengusir enam diplomat Barat dan Jepang sebagai tindakan balasan atas diusirnya 12 wakilnya di PBB oleh pemerintah AS, Jumat pekan lalu. Kedua belas diplomat yang selama ini sebagai wakil resmi pemerintah Libya di badan internasional itu diminta meninggalkan New York, markas besar PBB, dalam waktu tiga hari. Meski belum terdengar protes dari para anggota PBB lainnya, tindakan pengusiran oleh AS itu sudah kelewatan, karena melampaui wewenang badan internasional itu. Tindakan tersebut seharusnya dilakukan oleh PBB sendiri. Belum ada komentar dari Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali, yang mestinya merasa kedaulatan badan internasional yang dipimpinnya diremehkan. Sejumlah negara di Timur Tengah menanggapi sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Libya dengan sikap antiBarat. Di Yordania, misalnya, beberapa komite proLibya menerbitkan edaran yang menyuarakan rasa solidaritas. Di Tripoli, Federasi Perwakilan Pekerja Arab yang mempunyai jaringan di 13 negara menyerukan anggotanya untuk menolak bekerja pada perusahaan penerbangan milik AS, Inggris, dan Prancis di semua lapangan udara negara Arab, mulai Senin pekan ini. Sejumlah penulis kolom di media Arab ramai-ramai menentang tindakan AS yang sewenang-wenang. "Setelah sanksi dijatuhkan hari ini, serbuan bakal datang tak berapa lama lagi," tulis harian kiri Maroko, Liberation. Sedangkan harian Al Rai, yang terbit di Amman, Yordania, memperingatkan bahwa perasaan antiBarat dikhawatirkan akan makin muncul di dunia Arab. Malah dari Kairo dikabarkan sejumlah pemimpin partai oposisi Mesir sengaja berkunjung ke Tripoli, tepat pada saat sanksi itu berlaku efektif Rabu pekan lalu, untuk menyatakan rasa solidaritasnya. "Bila Arab setuju pada sanksi atas Libya, kelak Suriah bakal kebagian sanksi juga," tulis harian Al Ahali, yang dikenal sebagai terompet kelompok oposisi Mesir. Kecaman senada juga dilontarkan oleh negara-negara Afrika. Sudan, misalnya, melalui majelis nasionalnya mengeluarkan pernyataan tak akan mematuhi keputusan Dewan Keamanan PBB. "Keputusan itu merupakan puncak kebobrokan moral yang pernah dibuat oleh sebuah lembaga internasional," tulisnya. "Negara-negara tolol saja yang mau menaati sanksi yang merupakan hasil rekayasa Barat itu," sambungnya. Irak pun mengikuti langkah Sudan. Bagaimanapun, sanksi DK PBB telah dijatuhkan. Sejumlah negara asing tengah bersiap-siap menutup kedutaannya di Tripoli, sedangkan Cina -- salah satu dari lima negara yang menentang keputusan Dewan Keamanan PBB -- tak hendak mengurangi diplomatnya di Tripoli ataupun mengusir diplomat Libya di Beijing. Hingga akhir pekan lalu, belum ada komentar dari Pemimpin Libya Muammar Qadhafi. Radio Tripoli hanya menyiarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Mayor Abdel Sallam Jalloud, orang kedua Libya. "Demi persatuan kaum muslim dan bangsa Arab, kami bersiap melawan kekuatan imperialisme," katanya. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Douglas Herd menjelaskan kepada radio BBC bahwa sanksi lalu lintas udara dan embargo penjualan senjata dan perlengkapan militer akan ditinjau lagi setelah empat bulan. Maksudnya, bila Libya tetap keras kepala, sanksi akan ditambah dengan sanksi ekonomi. Misalnya, tak tertutup kemungkinan Libya akan dilarang mengekspor minyaknya. Namun, Herd juga mengakui bahwa sanksi ekonomi itu sulit dilaksanakan, mengingat jenis minyak Libya sangat langka di dunia karena memiliki spesifikasi sangat ringan dan berkualitas tinggi. Sulitnya lagi, "Pabrik-pabrik penyulingan di Jerman, Italia, dan Spanyol hanya bisa dipakai untuk jenis minyak yang diproduksi Libya," kata Herd pada majalah mingguan Kairo Al Alam. Tahun 1990, ekspor minyak Libya ke Jerman, Italia, dan Spanyol bernilai total US$ 38 milyar. Tak cuma Libya, bila benar sanksi ekonomi dijatuhkan, ketiga negara tersebut juga akan menderita kerugian. Tapi seberapa besar kemungkinan sanksi ekonomi dijatuhkan pada Libya? Dalam perdebatan di Dewan Keamanan PBB, semula disepakati bahwa sanksi terhadap Libya lebih bersifat psikologis. Jelasnya, sanksi itu lebih ditujukan pada kepemimpinan Muammar Qadhafi. Tujuannya, agar Libya tak lagi membantu gerakan teroris di mana pun. Dalam teks lengkap keputusan Dewan Keamanan tersebut semula dikatakan, di samping Libya harus menyerahkan kedua tertuduh pengeboman, juga diharuskan menghentikan kegiatannya membantu teroris internasional dalam berbagai bentuk. Selain itu, Libya juga diminta segera mengumumkan secara tertulis tindakan nyata menentang aksi teror. Belakangan, para wakil negara Nonblok di PBB merasa kalimat-kalimat tersebut tak begitu jelas maksudnya. Sebab, seandainya Muammar Qadhafi menutup kamp latihan gerilyanya -- seandainya ini benar ada di Libya sebagaimana dituduhkan oleh Barat sebagai pusat latihan buat teroris -- itu sangat bisa diperdebatkan apakah dia sudah memenuhi permintaan sanksi atau belum. Karena itu, naskah sanksi diubah lebih kongkret, diuraikan satu per satu. Pertama, Libya diminta menyerahkan kedua tertuduh peledakan kasus Lockerbie. Kedua, Libya diminta menyerahkan alat pemantik bahan peledak yang diperkirakan dibeli dari Swiss. Ketiga, Libya diminta menyerahkan seluruh informasi kegiatan pasukan Irlandia Utara, termasuk tempat latihan, jumlah personel, dan peralatan militernya. Selain itu, ditegaskan bahwa embargo lalu lintas udara tak berlaku untuk penerbangan yang dimaksudkan untuk keperluan kemanusiaan. Misalnya untuk mengangkut para diplomat asing yang hendak meninggalkan Tripoli, untuk keperluan jemaah Islam yang akan melakukan ibadah haji, dan bagi keperluan bantuan buat korban bencana alam dan kelaparan. Dan sejauh ini pertanyaan mendasar sejak awal belum terjawab: seberapa benar tuduhan Amerika itu? Didi Prambadi (Jakarta), Dja'far Bushiri (Kairo), Asbari N.K. (Hilversum)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini