APRIL agaknya bulan keberuntungan bagi penerbitan pers. Dalam dua minggu pertama April ini, tiga majalah baru diluncurkan ke pasar. Ketiganya: Potensi, Economic & Business Review Indonesia, dan Forum Keadilan. Dua majalah yang disebut pertama memfokuskan isi pada masalah ekonomi dan bisnis, sementara Forum Keadilan menyajikan berita-berita khusus hukum dan masalah-masalah demokrasi dalam kehidupan. Dari tiga itu, cuma Forum Keadilan yang masih perlu meraba pasar. Dua majalah lainnya sudah mempunyai sasaran jelas: kalangan bisnis. Soal pangsa pasar, Pemimpin Redaksi Forum Keadilan, Karni Ilyas, S.H., sudah mengantungi perhitungan. Sasaran pertama Forum adalah orang-orang yang akrab dengan dunia hukum: penegak hukum, praktisi hukum, dan mahasiswa fakultas hukum. Selain itu, kata Karni, para pengamat hukum dan pemerhati masalah demokrasi yang umumnya berasal dari golongan terpelajar, kelas menengah ke atas di perkotaan. "Pangsa ini cukup potensial," ucap Karni, yang sebelumnya adalah redaktur pelaksana kompartemen hukum majalah TEMPO. Melihat kalkulasi di atas kertas, Karni optimistis berita yang ditawarkannya akan mendapat sambutan luas. "Sasaran kami paling tidak bisa meraih tiras 50 ribu eksemplar," katanya. Ia tak berani meramalkan kapan angka itu bisa tercapai. Untuk edisi pertama -- yang terbit pekan lalu -- Forum terbit dengan 50 ribu eksemplar. Forum dengan manajemen baru ini diterbitkan oleh Yayasan Keadilan, bekerja sama dengan PT Grafiti Pers -- penerbit majalah TEMPO. Menurut Fikri Jufri, Direktur PT Grafiti Pers, pihaknya mengalokasikan dana Rp 800 juta untuk Forum. Tak cuma itu, Grafiti juga memberi bantuan tenaga redaksional dan manajemen. Yusril Djalinus, redaktur eksekutif TEMPO, ditunjuk untuk menduduki posisi wakil pemimpin umum. Hendrix K. Hidayat, kepala periklanan TEMPO, akan menangani pemasaran Forum. Forum bukan majalah baru. Majalah ini lahir tiga tahun lalu dengan masa terbit sebulan sekali. Namun, sampai kesepakatan kerja sama dengan dengan Grafiti Pers dicapai setahun lalu, kemunculannya di pasar agak tersendat. Penyebabnya, selain soal keuangan, manajemen dan penataan keredaksian. Karni mengaku tak mau terantuk dua kali. Karena itu, ia bersama Yusril menyusun formasi baru dengan merekrut dua puluh wartawan muda. Selain itu, ditetapkan standar baru bagi gaya penulisan, kelayakan topik, dan perwajahan. Penyajian berita, misalnya, terlihat lebih ngepop dan berusaha tidak terjebak pada istilah-istilah teknis ilmu hukum. Sedangkan gambar sampulnya menjadi lebih seronok. Apakah perubahan itu menjamin sukses pasar? Masih perlu diuji di lapangan. Terlepas apakah usaha itu akan berhasil atau tidak, banyak kalangan hukum menaruh harapan pada Forum. "Saya berharap kupasan hukumnya lebih gamblang dibanding surat kabar umum, agar bisa dijadikan referensi," kata Hakim Agung Bismar Siregar. Bismar memberi saran, "Supaya menarik, ungkapkan persoalan hukum dengan bahasa jurnalistik yang menyentuh." Ketua Asosiasi Advokat Indonesia, Gani Djemat, percaya Forum akan mendapat tempat di kalangan masayarakat. Karena, "Informasi hukum sudah menjadi kebutuhan masyarakat kita. Kelahiran Forum sekarang ini sangat pas," katanya kepada Yoyok dari TEMPO. Majalah itu akan bisa bertahan, katanya, asal cara pengupasan persoalannya dilakukan sungguh-sungguh dan ditulis dalam bahasa populer. Sebab, kalau tidak, ia khawatir nasibnya akan seperti pendahulunya, majalah Hukum dan Pembangunan. Majalah Hukum dan Pembangunan memang lahir jauh sebelum Forum, diterbitkan Fakultas Hukum UI 21 tahun lalu, dengan mengkhususkan diri pada persoalan hukum dan masyarakat. Gaya bahasanya kaku, sarat dengan istilah teknis ilmu hukum. Berat bagi orang awam untuk mencernanya. "Jangankan orang awam, dosen dan mahasiswa fakultas hukum saja kadang-kadang masih merasa berat," tutur Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Erman Radjagukguk, tentang majalah itu. Ia menduga, karena isinya terlalu berat, oplah Hukum dan Pembangunan yang diterbitkan fakultasnya tak bergeser dari angka 3.500 eksemplar. Bagaimana dengan Forum? Soal ini Erman sebagai ilmuwan hukum berharap, Forum bisa tampil sebagai pelopor dalam mengulas persoalan-persoalan yang muncul akibat kekosongan hukum nasional. Dicontohkannya, dalam bidang hukum ekonomi, kita jauh tertinggal dengan perkembangan ekonomi kita yang pesat. Sementara itu, dari Yogyakarta, dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Ichlasul Amal, berharap Forum bisa menjadi ajang dialog mereka yang bergerak di bidang hukum yang legalistik dengan orang yang memperhatikan perubahan-perubahan dalam proses pembangunan. "Akan bagus kalau isinya bisa menawarkan gagasan-gagasan alternatif. Setiap orang ingin mengetahui pikiran baru," katanya. Kata Amal, di beberapa negara lain majalah sejenis itu ada juga. Ia menyebutkan dua yang terkenal, Alternative (terbitan Amerika) dan Political Alternative (terbitan Australia). Majalah-majalah tersebut, katanya, menampilkan pikiran-pikiran dalam demokrasi dan menampung gagasan-gagasan baru di bidang hukum dan masalah kemasyarakatan. "Majalah itu cukup berwibawa. Hampir semua pejabat pengambil keputusan membacanya karena ingin mengetahui kemauan masyarakat yang ditulis di situ," kata Amal. Bila Forum mampu menjadi jembatan semacam itu, bukan cuma pangsa pasarnya yang menjadi jelas, tapi juga kedudukannya dalam konstelasi demokrasi kita. Aries Margono, Taufik Alwie, M. Faried Cahyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini