Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
0 tahun : 1 hari : 21 jam : 57 menit : 2 detik. Jam digital tiba-tiba menjadi sangat populer dan simbolis di Turki. Angka dan satuan waktu itu ditujukan untuk memperlihatkan sudah berapa lama Presiden Recep Tayyip Erdogan "menghilang" dari hadapan publik dan media massa. Sejak partai yang dibentuknya, Keadilan dan Persatuan (AKP), gagal meraup suara mayoritas dalam pemilihan umum parlemen pada Ahad pekan lalu, sang Presiden tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Turki menikmati keheningan," tulis harian oposisi Turki, Cumhuriyet. Bagi Erdogan, selama ini media massa, seperti radio dan televisi, merupakan wahana penting untuk mengingatkan rakyat Turki atas eksistensinya. Sepekan menjelang pemilu, stasiun televisi menyiarkan pidato Erdogan seperti dosis minum obat: tiga kali sehari. Namun perolehan suara AKP yang jauh dari harapan membuat Perdana Menteri Turki selama satu dekade itu puasa bicara hampir 48 jam.
Pria 61 tahun itu tentu kecewa. Dengan perolehan 258 kursi, AKP memang masih menjadi partai dengan suara terbanyak dalam pemilu, dibanding tiga partai oposisi lain. Tapi inilah pertama kalinya dalam 13 tahun terakhirpartai pengusung Erdogan itu tak dapat membentuk pemerintah sendiri. Erdogan harus memilih partai yang akan membentuk pemerintah koalisi.
Bisa saja AKP bergabung dengan partai Kurdi, atau dengan partai nasionalis, atau ketiganya serentak meninggalkan AKP untuk membentuk pemerintah sendiri. Namun kekecewaan terbesar bekas Wali Kota Istanbul ini adalah kegagalan AKP untuk mengubah konstitusi. Erdogan dan partai pengusungnya membutuhkan 367 suara di parlemen untuk mengamendemen undang-undang dasar agar posisi Presiden Turki yang merupakan jabatan simbolis menjadi kekuasaan eksekutif. Ya, mirip yang terjadi pada Vladimir Putin di Rusia.
Banyak faktor memicu "kekalahan" perdana AKP setelah berjaya menguasai politik Turki selama 13 tahun terakhir. Dan hampir semua menyalahkan Erdogan seorang. "Hasil ini dapat disimpulkan dalam satu kalimat: pemilik suara sudah muak terhadap Erdogan," ujar Ahmet Insel, pengajar di Universitas Galatasaray, Istanbul.
Sejak memegang tampuk pemerintahan sebagai perdana menteri pada 2003, pria keturunan etnis Georgia ini sejatinya berhasil membawa perekonomian dan demokrasi Turki ke jalan yang benar, dibanding pemerintah sekuler yang didukung militer. Di bawah kepemimpinan Erdogan pula kelompok minoritas, termasuk Kurdi, yang telah memberontak selama dua dekade, menikmati kebebasan lebih besar. Untuk pertama kalinya suku Kurdi di Turki boleh berbicara dan menulis dalam bahasa mereka sendiri serta membentuk partai, Rakyat Demokratik (HDP). Pada pemilu pekan lalu, partai ini berhasil menembus ambang batas bawah pemilu Turki dengan meraup 13 persen suara atau 80 kursi di parlemen.
Sebagai penganut Islam yang taat, Erdogan juga membuka pintu bagi warga Turki untuk mengekspresikan identitas Islamnya. Hal itu selama ini dinilai tabu bagi tradisi sekuler yang dibangun pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Istri Erdogan, Emine, merupakan ibu negara Turki pertama yang menggunakan kerudung, setelah penghapusan larangan menggunakan penutup kepala bagi perempuan di institusi pemerintah.
"Berkat Erdogan, banyak hal telah berubah. Kini kami memiliki kesejahteraan dan stabilitas," tutur Hafiza Aktas, penduduk Distrik Kasimpasa, Istanbul, tempat Erdogan lahir, kepada The Washington Post. Semua perubahan positif itu sempat membuat Turki menjadi kandidat kuat untuk masuk ke Uni Eropa.
Tapi perubahan yang diembuskan Erdogan di Turki berakhir sejak 2007. Undang-undang keamanan Turki yang dulu pernah digunakan untuk menangkap dirinya justru digunakan buat memberangus kelompok oposisi sekuler yang didukung militer. Sekitar 500 warga sipil dan militer ditangkap. Walaupun akhirnya sebagian besar dibebaskan, sejumlah orang anti-Erdogan sempat mendekam bertahun-tahun di bui untuk menunggu persidangan.
Setelah menjabat perdana menteri untuk periode kedua, pria yang dulu dikenal sebagai demokrat itu semakin otoriter. Dalam unjuk rasa massa yang ingin mempertahankan Taman Taksim Gezi di Istanbul pada 2013, Erdogan tak segan menggunakan kekerasan. Belasan demonstran tewas, termasuk seorang remaja yang sempat koma selama beberapa bulan.
Sejak Erdogan berubah menjadi otoriter, Turki menjadi salah satu negara yang paling tidak aman bagi wartawan. Pada 2012, sebanyak 69 wartawan dan editor dipenjara, terbanyak daripada negara lain di dunia. Sedangkan pada Oktober tahun lalu, 150 wartawan yang mengkritik Erdogan dan pemerintah tengah menunggu persidangan. Organisasi nirlaba yang berbasis di Washington, Freedom House, pun menempatkan Turki pada peringkat ke-142 dari 199 negara dalam indeks kebebasan pers.
Bahkan kritik warga terhadap Erdogan dan pemerintah melalui media sosial pun dapat berujung di terali besi. Salah satu kasus yang menyedot perhatian publik Turki dan dunia adalah tuntutan dua tahun penjara terhadap Merve Büyüksaraç, Miss Turki 2006, pada Februari lalu. Perempuan 26 tahun yang kini berprofesi sebagai desainer industri itu sempat mengunggah puisi yang selama ini digunakan aktivis untuk menyindir kepemimpinan Erdogan di akun Instagramnya. Meski kemudian menghapus unggahan tersebut, Büyüksaraç sempat mendekam di bui pada Januari lalu. "Dia hanya berpikir bahwa demokrasi adalah berhasil menang dalam pemilu," tutur Soner Cagaptay, Direktur Program Turki pada The Washington Institute for Near East Policy.
Meski Erdogan berubah drastis, mayoritas rakyat Turki masih mendukungnya. Setelah dua periode menjabat perdana menteri, pada 2011 ia terpilih menjadi presiden. Walaupun posisi ini secara tradisional di Turki hanyalah jabatan simbolis, publik Turki mafhum Erdogan tetap menguasai pemerintah dengan menempatkan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu sebagai bonekanya.
Kasus korupsi yang sempat membelit para menteri dan anak-anak mereka, pada Desember 2013, tak mampu menggoyahkan popularitas Erdogan. Alih-alih mengikuti tuntutan kroninya untuk mundur, Erdogan justru menangkap ribuan polisi, jaksa, hingga hakim yang menangani skandal korupsi tersebut. Ia berdalih penangkapan mereka merupakan bagian dari kelompokFethullah Gulen, ulama muslim Turki yang menjadi musuh utamanya.
Sebuah bangunan baru dengan 1.150 ruangan menggantikan istana kepresidenan Turki yang lama. Luas bangunan ini empat kali lipat Istana Versailles di Prancis, bahkan 30 kali lebih besar dibanding Gedung Putih. Istana baru ini senilai lebih dari setengah miliar dolar, yang dibangun dengan dana negara. Kritik atas pembangunan istana itu dianggap angin lalu. "Jika mereka ingin menghancurkannya, rebutlah kekuasaan," ucap Erdogan, pongah.
Namun, menginjak 2015, melemahnya perekonomian Turki tampaknya memiliki peran besar dalam menurunnya popularitas Erdogan. Nilai mata uang lira Turki jatuh hingga 40 persen dibanding dolar Amerika sejak 2013. Perekonomian Turki juga yang terburuk dibanding negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD. Soner Cagaptay menyebut mereka yang diuntungkan oleh kebijakan ekonomi Erdogan di masa lalu berbalik menjadi musuh akibat jatuhnya perekonomian Turki.
Para pengamat juga menyebut gaya Erdogan yang kerap mengabaikan kewajibannya sebagai presiden yang harus berada di atas semua kepentingan politik menjadi pemicu lain. Kritik bahkan datang dari dalam partainya sendiri. Sejumlah pejabat senior AKP gamang saat ia memimpin sidang kabinet di istana. Mereka juga khawatir saat menyaksikan Erdogan mengunjungi tiga kampanye massa dalam sehari menjelang pemilu.
"Cara Erdogan mengambil alih kekuasaan partai saat menjabat presiden membuat kader partai dan pemilih tidak nyaman," ujar seorang pejabat senior AKP yang menolak disebut namanya.Terbukti Erdogan harus melepas mimpi menjadi presiden pemegang kekuasaan eksekutif pertama di Turki.
Sita Planasari Aquadini (Today Zaman, The Daily Times, The Vox, Forbes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo