Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pesan anonim masuk ke e-mail Glenn Greenwald pada awal Mei 2013. Si pengirim mengaku memiliki dokumen sangat penting yang hendak ia perlihatkan kepada wartawan Guardian itu. Dalam pesan tersebut juga dilampirkan petunjuk rinci dan beberapa tautan situs video cara memecah sandi rahasia agar mereka dapat berkomunikasi tanpa khawatir disadap. Greenwald tak menggubris pesan anonim itu. Ia menganggapnya ulah orang iseng. Pesan kedua pun tak dibalas.
Meski tidak diindahkan, si pengirim pesan, yang kemudian diketahui bernama Edward Snowden, tak patah semangat. Mantan ahli komputer di badan intelijen negara Amerika Serikat atau National Security Agency (NSA) itu lantas mengontak Laura Poitras, pembuat film dokumenter. Greenwald pernah menulis profil Poitras pada 2010. Itu yang membuat Snowden percaya Poitras memiliki kontak dengan Greenwald. Dugaan itu tak meleset. Berkat bantuan Poitras, akhirnya Snowden dapat berjumpa dengan Greenwald.
Kisah yang dituliskan kembali oleh Peter Maass di New York Times ini merupakan awal terungkapnya skandal penyadapan terbesar di Amerika Serikat. Tanpa banyak yang tahu, data percakapan telepon setiap warga Amerika direkam oleh NSA. Data itu berupa berapa jam seseorang melakukan pembicaraan telepon, dengan siapa mereka menelepon, bahkan isi pembicaraan dan pesan pendek yang dikirim pun dicatat. Bukan hanya itu, e-mail pribadi dan bisnis pun tak luput dari penyadapan.
Melalui undang-undang bernama USA Patriot Act (Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act), yang dibuat setelah terjadi serangan 11 September 2001, NSA memang diberi kewenangan penuh melakukan penyadapan itu. Masalahnya, ada pelanggaran privasi di sini. Hal itulah yang hendak dibongkar Snowden dengan mengontak Greenwald. Artikel pertama tentang praktek penyadapan ini muncul di Guardian terbitan 6 Juni 2013. Bocornya dokumen rahasia itu langsung membuat warga Amerika gempar.
Tepat dua tahun setelah Greenwald dan Poitras bertemu dengan Snowden dalam pertemuan rahasia di Hong Kong, Senat Amerika Serikat meloloskan rancangan undang-undang yang merevisi sekaligus membatasi praktek penyadapan oleh NSA. Namanya USA Freedom Act (Uniting and Strengthening America by Fulfilling Rights and Ending Eavesdropping, Dragnet-collection and Online Monitoring Act). Revisi dilakukan terutama pada Pasal 215 dari USA Patriot Act. Pasal ini sangat kontroversial lantaran itu tadi, NSA dibolehkan menyadap perbincangan siapa pun tanpa kecuali dan mengambil tindakan bila diperlukan.
Melalui perdebatan panjang nan alot, rancangan undang-undang pengganti yang diperkenalkan tahun lalu itu akhirnya disetujui melalui pemungutan suara. Perbandingannya 67 menerima, sedangkan 32 menolak. USA Freedom Act, yang didukung pemerintah Presiden Barack Obama, tiga pekan sebelumnya disetujui parlemen Amerika dengan perolehan suara mutlak, 338 mendukung dan 88 suara menentang, tanpa ada perdebatan panjang. Di Senat, ceritanya berbeda. Suara sempat terbelah tiga. Pertama, mereka yang ingin menghapus total program spionase ini. Kedua, ada yang ingin merevisinya dan mempertahankan beberapa pasal lainnya. Terakhir adalah yang status quo, yakni mereka yang ingin mempertahankan penuh program lama USA Patriot Act.
Seiring dengan berjalannya waktu, kubu yang ingin menghapus praktek penyadapan mencair. Mereka masuk ke salah satu dari dua kubu yang ada. Hanya, enam hari menjelang batas waktu yang ditentukan bagi Senat untuk menentukan lolos-tidaknya USA Freedom Act untuk menggantikan USA Patriot Act, arah angin belum menentu. "Saya tidak tahu apakah kami bisa mencapai 60 suara lebih atau tidak," ucap senator South Dakota, John Thune, merujuk pada angka yang dibutuhkan untuk meloloskan USA Freedom Act sebagai pengganti USA Patriot Act.
Bahkan, beberapa saat sebelum voting dilakukan di Senat, sekitar pukul 4 sore waktu setempat pada Selasa dua pekan lalu, kemungkinan disetujuinya USA Freedom Act masih tanda tanya. Pendukung status quo gencar mempengaruhi senator lain. Gerakan ini dimotori oleh pemimpin mayoritas Senat, Mitch McConnell. Ia mengajak beberapa koleganya dari Republik, partai yang menguasai kursi di Senat, secara tegas menolak rancangan itu. Menurut McConnell, demi keamanan negara, USA Patriot Act mesti dipertahankan.
McConnell beralasan USA Freedom Act tak sepenuhnya dapat melindungi privasi warga Amerika. "Malah ini bakal merusak sistem keamanan Amerika dan membuat kita lemah," katanya. Ia pun menyamakan USA Freedom Act dengan kebijakan luar negeri Obama. Menurut dia, melemahkan program antiterorisme ini adalah kesalahan besar. "Ini seperti keputusan menarik pasukan dari Irak dan Afganistan serta penutupan kamp tahanan Teluk Guantanamo," ujarnya. "Presiden sama sekali tidak berpihak pada pertahanan negara dari serangan teroris."
Pandangan McConnell itu didukung senator Florida, Marco Rubio, rekannya dari Partai Republik. Jika rancangan undang-undang itu lolos, menurut dia, itu sama saja dengan memberikan hadiah kepada para teroris. "Saya tidak mau, ketika bangun pagi, anggota Isis sudah ada di Amerika," ucapnya. Walau sejauh ini penyadapan telepon oleh NSA belum pernah terbukti ada kaitannya dengan aksi terorisme, Rubio tetap berkukuh mempertahankan program lama.
Kurang dari satu jam kemudian, giliran juru bicara parlemen, John A. Boehner, yang meminta agar anggota Senat meloloskan rancangan undang-undang tersebut. "Sangat penting untuk menjaga warga Amerika dari serangan teroris, tapi juga tak kalah penting memproteksi privasi setiap warga negara," katanya. Boehner menambahkan, USA Freedom Act tetap memberi kewenangan NSA untuk mengumpulkan data percakapan telepon tapi dengan berbagai syarat sekaligus melindungi privasi warganya. "Ini jalan tengah yang bagus."
Upaya saling mempengaruhi berlangsung hingga detik akhir menjelang pemungutan suara. Pada akhirnya, beberapa senator Partai Republik memutuskan bergabung dengan Partai Demokrat dan menolak usul McConnell itu. Sebanyak 23 senator Republik berbalik mendukung USA Freedom Act bersama 43 senator Demokrat plus satu senator independen, Angus King. Alasan mereka seragam: USA Freedom Act masih memberi ruang bagi NSA untuk mematahkan rencana aksi terorisme lewat penyadapan sekaligus melindungi privasi setiap warga Amerika.
Presiden Barack Obama, yang langsung menandatangani rancangan undang-undang itu pada malam harinya, mengatakan puas atas hasil voting tersebut. "Senat akhirnya bisa melangkah maju dengan isu sensitif ini dan melakukan reformasi legislasi." Meski begitu, Obama menyayangkan perdebatan untuk meloloskan USA Freedom Act berlangsung lama, hingga detik-detik akhir. Jika gagal, USA Patriot Act akan tetap berlaku.
Pembela hak sipil American Civil Liberties Union (ACLU) memuji Senat yang meloloskan USA Freedom Act. Jameel Jaffer, Direktur Hukum ACLU, mengatakan disetujuinya rancangan undang-undang itu merupakan "langkah besar dan indikasi bahwa warga Amerika Serikat tak ingin memberi kewenangan tak terbatas bagi badan intelijen". Hanya, Jaffer mewanti-wanti, USA Freedom Act tak sepenuhnya mengakhiri praktek penyadapan. Sebab, NSA masih bisa melakukan pengumpulan data percakapan telepon bila sudah mendapat persetujuan dari pengadilan federal.
Sambutan hangat juga datang dari Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi Amerika. Industri teknologi Amerika sudah lama ingin adanya perubahan undang-undang tersebut. Alasannya, banyak konsumen di belahan dunia lain yang enggan membeli produk bikinan Amerika lantaran takut dimata-matai. "Hasil voting ini merupakan kemenangan bagi warga dunia dan langkah maju untuk memulihkan kepercayaan terhadap pemerintah Amerika," ucap Ed Black, presiden sekaligus CEO asosiasi tersebut.
Firman Atmakusuma (The Guardian, Washington Post, Firstlook)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo