Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soati baru saja mengeluarkan sepeda motor matic dari rumahnya selepas azan asar, Ahad dua pekan lalu. Dia hendak membayar tagihan listrik melalui seorang tetangga. Sayup-sayup, Soati mendengar orang meminta tolong dari gang di kiri Jalan Masjid Al-Baidho, tak jauh dari rumahnya di Sudimara, Ciledug, Tangerang.
Soati pun membelokkan kendaraan ke arah sumber suara. Betapa kagetnya dia ketika melihat tubuh Muhamad Rizki, 17 tahun, tengkurap di depan pintu sebuah warung. "Lehernya penuh darah," kata Soati, 36 tahun, ketika menceritakan lagi kejadian itu, Selasa pekan lalu.
Setelah Soati tiba, tetangga lain mulai berdatangan. Rupanya, mereka mendengar rintihan Rizki, yang juga terluka di perutnya. Namun tak ada seorang pun yang berani menyentuh tubuh remaja kelas II sekolah menengah atas itu.
Soati berinisiatif menjemput ketua rukun tetangga di wilayah itu, Muhammad Amirudin. Pak RT yang pernah menjadi guru mengaji itu Rizki menanyakan siapa yang melukainya. Meski terluka parah, ketika itu Rizki masih bisa berbicara. "Dia bilang badannya tinggi besar dan hitam," kata Amir. Rizki pun meminta Amir memeriksa kondisi adiknya, Putri Mariska Sakina, di rumah kontrakan yang menyatu dengan warung.
Amir terkejut ketika melihat jasad Putri telungkup di ruang tengah yang biasa dijadikan tempat tidur. Sehelai handuk setengah badan, berwarna kuning kecokelatan, membalut tubuhnya. Luka sayatan menganga di leher bocah 13 tahun itu. Darah pun berceceran di lantai sekeliling jasad gadis kelas I sekolah menengah pertama itu.
Setengah meter dari tubuh Putri, Amir melihat sebilah pisau dapur tergeletak. Namun pisau bergagang kayu itu tampak bersih dari lumuran darah. "Saya segera melapor polisi," kata Amir. Tanpa menunggu kehadiran polisi, tetangga melarikan Rizki ke Rumah Sakit Bhakti Asih, Ciledug.
Sebelum kejadian itu, sejumlah tetangga melihat Rizki menjalankan salat zuhur berjemaah di Masjid Al-Baidho. "Ketika pamit, dia sempat bersalaman," kata Mauladi, muazin masjid.
Selain Rizki, tak ada yang menyaksikan peristiwa di rumah satu pintu itu. Padahal gang menuju rumah tergolong padat. Di mulut gang berjejer warung makan, tempat pangkas rambut, dan kios servis alat elektronik.
Suryanto, penjaga kios servis alat elektronik, mengatakan siang itu kios banyak yang tutup. Jalanan pun sepi. Tempat kerja Suryanto memang buka. Tapi, dari kios itu, Suryanto tak bisa melihat langsung ke rumah Rizki.
Adapun orang tua Putri, Mas Riwan dan Rahmawati, baru tiba di rumah kontrakan pada malam harinya. Siangnya mereka pergi mencari kambing untuk syukuran kelahiran anak lelaki Mutia—putri pertama Rahmawati.
Riwan dan Rahmawati panik ketika melihat orang berkumpul di depan rumahnya. Rahmawati langsung pingsan begitu tahu putri bungsunya tewas. "Saya tak punya musuh, apalagi pesaing usaha. Saya cuma pekerja rendahan," kata Riwan terbata-bata.
Sehari-hari Riwan bekerja sebagai sopir Kopaja. Adapun Rahmawati berdagang sayuran di warung depan rumah ukuran 3 x 5 meter yang mereka kontrak sejak sepuluh tahun lalu itu. "Putri yang biasa membantu ibunya berdagang," ujar Amir.
Menurut cerita tetangga, selama ini tak ada yang aneh dengan keluarga Riwan. Sebagai pendatang, mereka akrab dengan tetangga sekitar rumah. "Mereka aktif di kegiatan lingkungan dan rajin ke masjid," kata Yahyah, seorang tetangga.
Hingga akhir pekan lalu, polisi belum dapat menguak pelaku dan motif pembunuhan Putri. Polisi mencoba mengorek informasi dari Rizki, satu-satunya saksi kunci. Ketika siuman, Rizki mengaku kepada polisi diserang karena menolong adiknya. "Dia menyebut pelakunya satu orang," ucap Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Ciledug Inspektur Dua Apendi.
Polisi belum bisa menggali keterangan lebih detail karena sejak itu Rizki kembali tak sadarkan diri. "Pembunuhan ini misterius karena terjadi di dalam rumah tanpa saksi lain," kata Apendi.
Yuliawati, Joniansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo