Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Aksi Estrada di Panggung Dunia

Penyanderaan oleh Abu Sayyaf merupakan ujian terberat selama pemerintahan Estrada. Kapan penderitaan para sandera berakhir?

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA bisa menjadi "James Bond" Filipino yang berganti wanita setiap malam dalam film Hoy Mister…, Ako Ang Misis Mo!, atau "Robin Hood" modern yang membagi-bagikan 1.000 pesos kepada rakyat jelata. Panggungnya adalah dunia. Dan itulah problem terbesar Joseph "Erap" Ejercito Estrada, bintang film Filipina yang menjadi Presiden Filipina. Erap—demikian panggilan akrabnya, yang jika dibalik ejaannya adalah "Pare", berarti "kawan"—mendapat penghargaan Famas Hall of Fame karena lima kali berturut-turut Estrada menyabet gelar aktor terbaik. Tetapi, panggung politik tentu saja bukan panggung peran, begitu dia mendapat ujian untuk membereskan masalah penyanderaan 21 orang di Pulau Basilan dan di resor Kepulauan Sipadan—kemudian dipindahkan ke Jolo—oleh kelompok militan Islam, Abu Sayyaf. Drama penyanderaan ini sudah berlangsung selama dua bulan dan Estrada sudah tiga kali mengganti negosiator, tetapi tak pernah terlihat sejumput titik terang. Pemerintah negara asal turis yang disandera sudah melancarkan protes keras atas kelambanan Estrada dalam menyelesaikan masalah sandera.

Kritik lain terhadap Estrada adalah karena penanganannya, yang menggunakan kekuatan militer, menyerang pusat-pusat kekuatan Abu Sayyaf dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Mindanao ataupun di Kepulauan Sulu. Jumat pekan silam, misalnya, tentara Filipina membuat pernyataan telah menghancurkan tiga kamp MILF. Akibatnya, puluhan korban mati—termasuk lima sandera di Basilan—jatuh dalam serangan-serangan yang tak terarah itu. Sementara itu, toh para sandera tetap tak dapat dibebaskan dan justru mendapat perlakuan yang semakin tidak manusiawi.

Masalahnya pun berkembang di luar kontrol pemerintah Filipina. Konflik yang bermula dari Filipina selatan berkembang menjadi kecurigaan antar agama Kristen dan Islam di bagian lain Filipina. Ledakan bom di bandara, pekan silam, misalnya, pada akhirnya menggiring kecurigaan massa terhadap kelompok-kelompok Islam. Citra seperti itu didukung oleh sikap Estrada yang menganggap Abu Sayyaf dan MILF telah melakukan aksi kriminal dan terorisme. "Pemerintah memang dengan mudah menjadikan kami kambing hitam," demikian pernyataan Pagragn National Movement, salah satu organisasi kemasyarakatan Islam di Manila.

Akibatnya, proses perundingan antara pemerintah Filipina, Abu Sayyaf, dan MILF menjadi semakin alot. Wakil resmi pemerintah Filipina hanya bertemu langsung dengan pemimpin Abu Sayyaf satu kali saja, sementara perundingan lainnya hanya dilakukan oleh anggota kelompok pemberontak. Singkat kata, pihak Abu Sayyaf cenderung mempersulit segala upaya yang dilakukan pemerintah Filipina, walaupun itu sekadar pengiriman dokter dan logistik untuk para sandera.

Tampaknya pihak pergerakan Islam di Mindanao sudah patah arang terhadap Estrada karena tuntutan mereka sebenarnya, yaitu mendirikan negara Islam, dianggap angin lalu. "Bila pemerintah tidak mau menghentikan serangannya, kami akan meminta bantuan internasional," kata Lanang Ali, salah satu pemimpin MILF.

Menurut kantor berita AFP, Ketua MILF, Hashim Salamat, dan Wakil Ketua, Al Haj Murad, bertemu dengan delegasi Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur, pertengahan pekan silam. Pihak OKI langsung mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintah Filipina agar tidak menggunakan kekuatan militer dalam menangani masalah Mindanao.

Mengapa Estrada, yang dikenal sebagai pamong praja yang baik dan pembela kaum miskin itu, bisa melakukan tindakan yang tidak bijaksana? "Itu karena Estrada tidak mau memahami akar konflik di Mindanao," kata Maritez D. Vitug, penulis buku tentang hubungan Islam-Kristen di Mindanao. Menurut dia, Estrada lebih memilih penyelesaian secara "macho", bukan dengan dialog. "Dia biasa memberikan deadline untuk semua masalah, tanpa melihat akar masalah dan prosesnya," tutur Maritez kepada TEMPO melalui telepon internasional. Sebelum berangkat ke Jepang, Estrada memberi batas waktu bahwa kata sepakat antara pemerintah dan pergerakan Islam di Mindanao harus tercapai sebelum 30 Juni 2000. "Kalau tidak, Kamp Abubakar (kamp MILF terbesar yang terletak di Cotabato, Mindanao, Red) akan kami hancurkan," kata Estrada mengancam.

Memang, sampai saat ini Estrada masih memiliki dukungan kuat dari masyarakat. Erap masih mendapat julukan sebagai champion of the masses karena, bagaimanapun, ia telanjur identik dengan seorang baik hati yang sukar mengatakan "tidak" kepada teman-temannya. Tetapi, gayanya menangani kasus penyanderaan ini akan menjadi batu ujian dalam pemerintahannya.

Menurut Maritez, kelas menengah dan berbagai pejabat pemerintahan tidak setuju dengan tindakan Estrada, yang bergaya bak jagoan film. "Dia itu suka action," tutur Maritez. Tampaknya harus ada yang mengingatkan sang Pare Erap bahwa masalah Mindanao bukanlah cerita James Bond melawan teroris.

Bina Bektiati (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus