Kasus pemimpin partai Gerakan Perubahan Demokratis (Movement for Democratic Change-MDC) Zimbabwe, Morgan Tsvangirai, diserahkan dari pengadilan banding ke Mahkamah Agung, pekan lalu. Rival utama Mugabe—dari kelompok oposisi—ini dituduh menghasut rakyat menggunakan kekerasan untuk menggulingkan Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe. Dalam rapat umum MDC tahun lalu, ia memang menyerukan "tindakan kekerasan untuk menjatuhkan Mugabe".
Pemerintah menjerat Tsvangirai dengan Undang-Undang Ke- amanan dan Ketertiban (Law and Order Maintenance Act). "Peradilan ini adalah cara Mugabe mendiskualifikasi Tsvangirai dari pemilu presiden tahun depan," kata Innocent Chagonda, pengacara Tsvangirai. Tak mengherankan, keputusan pengadilan tersebut mengundang kemarahan para pendukung Mugabe. Mereka menyerang sejumlah perusahaan asing, rumah sakit internasional, bahkan berusaha merangsek kantor-kantor diplomatik. Pendukung Mugabe kecewa karena pengadilan tak segera mengirim Tsvangirai ke penjara.
Sejak gerakan oposisi yang dipelopori MDC—sejak 1998—menguat, pendukung Mugabe kian gencar melancarkan penyerangan terhadap tanah pertanian milik warga kulit putih—untuk memangkas dukungan terhadap oposisi. Negeri di kawasan selatan Afrika itu merdeka dari Inggris pada 1980. Mugabe lalu memimpin sebuah pemerintahan multiras. Namun, setelah 20 tahun lebih berkuasa, bekas pejuang itu tampaknya mulai menjadi tiran.
Dwi Arjanto dan Arif Kuswardono (BBC, CNN, The Times, DT, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini