Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG Yahudi telah dipilih untuk memimpin masyarakat muslim. Jacob Bender, dengan tubuhnya yang tipis, rambut keperakan, kata-katanya yang lirih, dan jemarinya yang sibuk menandai bulir-bulir tasbih berkepala Bintang Daud, senantiasa memiliki sesuatu bagi umat Islam Amerika Serikat.
Sore itu, Sabtu pertama pada bulan Ramadan 2017, dalam acara buka bersama--diikuti banyak penganut Yahudi, Kristen, dan Islam--di Masjdullah, Philadelphia, Pennsylvania, Amerika, ia memberikan kuliah singkat, semacam mukadimah, tentang Islam. Islam bagi mereka yang belum cukup mengenalnya.
Empat tahun menjabat Direktur Eksekutif Majelis Hubungan Amerika-Islam (CAIR) di Philadelphia, Jacob Bender berjuang melawan pelanggaran hak-hak sipil, diskriminasi di tempat kerja dan di ruang publik, serta berbagai ujaran kebencian--pendeknya melawan semua kekejian yang ditujukan kepada warga muslim. Mengingatkan kaum muslimin akan hak-haknya sebagai warga Amerika Serikat, ia juga mempromosikan hubungan baik muslim dengan nonmuslim. CAIR organisasi yang membela kepentingan warga muslim Amerika.
"Muslim di Amerika sekarang sedang mengalami serangan islamofobia. Tugas saya melawannya," Bender menegaskan. Menurut dia, Gedung Putih saat ini dikuasai kelompok kanan yang anti-Islam dan percaya teori konspirasi anti-Yahudi. "Kita mudah mengalami stres melihat situasi politik seperti ini, tapi saya tetap optimistis kita bisa melawan dengan tradisi keberagaman yang saling menghargai, kita bisa bekerja sama dan berkoalisi mengatasi kefanatikan dan pelecehan ini," katanya bersemangat.
Tentu organisasi yang berpusat di Washington, DC, itu--juga Bender sendiri--tak menyenangkan semua orang. Keduanya sangat tidak populer di kalangan organisasi Yahudi Amerika, yang meletakkan keberpihakan kepada Israel sebagai landasan segalanya. Sementara itu, "Saya mendukung hak-hak Palestina dan kritis terhadap pendudukan Israel. Saya percaya akan solusi yang adil bagi Palestina," ujarnya.
Bender, pria 50-an tahun, adalah sutradara film yang aktif mempromosikan sikap saling menghargai di antara masyarakat Yahudi, Islam, dan Kristen. Out of Cordoba (2010), film pendeknya, bercerita tentang toleransi ketika Islam berkuasa di Spanyol. Kondisi itu lantas melahirkan persahabatan dua filsuf besar Abad Pertengahan: Ibnu Rusyd yang muslim dan Musa Ibnu Maimun (Maimonides) yang Yahudi.
Berikut ini petikan wawancara Bender dengan kontributor Tempo Indah Nuritasari pada pertengahan Ramadan lalu di kantor CAIR.
Hampir empat tahun Anda memegang jabatan direktur eksekutif ini. Apa bedanya kondisi sekarang dengan saat Anda memulainya dulu?
Saya memulai pekerjaan saya di zaman pra-Trump, ketika kami masih hidup di bawah bayang-bayang 11 September, di zaman yang penuh kecurigaan. Sekarang pun kita masih mendapatkan hal itu dari pemerintah dan kelompok-kelompok islamofobia. Kami beruntung tinggal di Philadelphia, yang memiliki komunitas muslim yang sangat besar.
Dengan kondisi ini, apa kendala terbesar yang masih dihadapi CAIR kini?
Kendala terbesar tetap ketidaktahuan masyarakat umum yang kadang sampai melanggar hukum. Kadang aparat hukum pun mengabaikan hukum. Ketika mereka ke rumah-rumah orang Islam, mereka mengajak bicara tanpa surat izin. Kami selalu mengingatkan warga muslim di Philadelphia agar tidak membiarkan mereka masuk ke rumah ataupun berbicara dengan mereka. Berikan nomor (telepon) kami (CAIR) sehingga mereka terwakili dan terlindungi oleh CAIR. Sebab, jika mereka mengizinkan FBI masuk rumah, kasusnya akan berkepanjangan. Apalagi jika Anda salah bicara. Anda akan mengalami masalah.
Anda seorang Yahudi, tapi bersemangat membela orang Islam. Bisa dijelaskan?
Saya belajar tentang Islam di kampus ketika saya belajar sejarah agama di UCLA. Besar di Los Angeles, saya menemukan bahwa belajar tentang Islam dan Kristen tak mengurangi rasa cinta saya kepada agama Yahudi saya. Konsep-konsep dalam ketiga agama yang berasal dari Ibrahim--kita saling meminjam dan memberi satu sama lain.
Dalam film Anda, Out of Cordoba, sepertinya Anda terpesona oleh Andalusia, Islam Spanyol, mengapa?
Di Andalusia, ketika Islam berjaya, budaya Yahudi berkembang pesat. Hal ini tidak mungkin terjadi jika saat itu Kristen yang berkuasa, karena saat itu Kristen tidak mengizinkan adanya ekspresi budaya Yahudi untuk berkembang. Sedangkan Islam justru mendorong budaya Yahudi untuk berkembang pesat. Cordoba, seperti yang tergambar dalam film saya, adalah masyarakat yang sangat maju teknologinya saat itu di seluruh Benua Eropa selama 200 tahun. Memiliki 400 perpustakaan, lampu-lampu jalan ketika London dan Paris masih berupa kampung penuh debu.
Anda mungkin menganggap Islam di Spanyol itu salah satu contoh "Islam otentik", berbeda dengan istilah "Islam murni" yang juga Anda pakai. Bedanya?
Istilah otentik saya pakai setelah membaca lusinan buku dari para ahli Islam. The Place of Tolerance in Islam karangan Khaled Abou El Fadl dan John Esposito, misalnya, berbicara tentang pluralisme sebagai tradisi Islam, bukan impor. Sebaliknya, ekstremisme dan terorisme merupakan "barang impor" dari dunia modern. Ide membunuh orang-orang sipil sangatlah dilarang dalam Islam, dan kelompok-kelompok ekstremis modern itu melakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo