Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETANI itu muslim. Dia bermukim di sebuah desa di Qaraqash, Hotan, daerah setingkat kabupaten di Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang. Tapi Ramadan tahun ini dia tak dapat berpuasa. Seorang kader Partai Komunis Cina tinggal di rumahnya sejak sebelum bulan puasa untuk mengawasi ibadahnya.
"Para kader itu ada di sini selama 15 hari dan terus-menerus mengatakan kepada kami agar tidak berpuasa. Mustahil bagi kami untuk berpuasa dan beribadah," ujar pria Uighur yang meminta namanya tak diumumkan itu kepada Radio Free Asia, pertengahan Juni lalu.
Larangan berpuasa adalah kebijakan terbaru pemerintah Cina untuk menekan muslim Uighur di Xinjiang. Selama Ramadan, para kader dan petugas keamanan berpatroli di desa-desa di Hotan. "Inspeksi dilakukan selama sahur. Bila ada rumah yang lampunya menyala, kami periksa. Begitulah cara kami melakukan patroli dan inspeksi," kata seorang polisi di Kota Hotan, yang juga enggan disebut namanya.
"Para kader tinggal di rumah-rumah petani sekarang--satu kader di setiap rumah," ucap seorang petugas. "Pertama, mereka memastikan tak ada ibadah agama. Kedua, mereka mengamati (keluarga itu)." Para kader itu kemudian melaporkan hasil pengamatannya ke atasannya.
Tak ada penjelasan atau bantahan resmi dari pemerintah Cina mengenai kebijakan yang melanggar kebebasan beragama bagi muslim Uighur ini. Bantahan tak langsung hanya terselip dalam sebuah berita pendek di People's Daily Online, media pemerintah Cina, mengenai demonstrasi di depan Kedutaan Cina di Turki pada akhir pekan awal Juni lalu. Menurut media itu, protes tersebut terjadi karena berita media Barat yang keliru tentang larangan beribadah dan berpuasa selama bulan suci Ramadan bagi muslim Uighur di Xinjiang. "Kedutaan Cina menegaskan bahwa berita itu sama sekali tidak benar," demikian laporan media tersebut.
Ruang gerak muslim Uighur sekarang makin dipersempit. Biro Industri dan Perdagangan Aksu, Bay, "kabupaten" lain di Xinjiang, mengeluarkan Keputusan Mengenai Pemeliharaan Stabilitas Xinjiang Selama Ramadan. Keputusan itu diterbitkan setelah sejumlah rapat yang digelar Komite Partai Komunis Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang.
Isinya menyatakan bahwa pemerintah menerapkan sejumlah aturan untuk memastikan kedamaian sosial dan harmoni selama Bulan Suci. Pemerintah, kata Biro, akan memperkuat kepemimpinan, kontrol, dan inspeksi di daerah itu serta "memperluas cakupan propaganda dengan fokus pada pencegahan".
Biro, yang sebenarnya bertugas mengatur perdagangan dan izin alkohol, juga memerintahkan pendirian sejumlah pos keamanan malam. Pos sementara "untuk memastikan semua kendaraan, orang, serta hal-hal mencurigakan diperiksa dan dicatat". Para kader partai juga wajib berjaga bergantian selama 24 jam, memeriksa tas serta menginterogasi dan mencatat semua pendatang.
Adapun para pelajar di Qaraqash, menurut Biro, akan dikumpulkan pada setiap Jumat untuk "belajar bersama, menonton film merah (propaganda komunis), dan berolahraga" buat "memperkaya kehidupan sosial mereka selama liburan".
Seorang pejabat setempat menyatakan para guru, pegawai negeri, dan karyawan di sektor jasa dilarang berpuasa selama Ramadan. Restoran-restoran juga diperintahkan buka seperti biasa. "Jika ada yang tak patuh, mereka akan mendapat masalah," kata pejabat itu.
Pemerintah Cina telah mengambil banyak kebijakan untuk mengendalikan penduduk muslim Uighur di Xinjiang, seperti mewajibkan semua penjaga toko, termasuk yang muslim, menjual minuman beralkohol, yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Maret lalu, pemerintah Xinjiang melarang berbagai bentuk ekspresi keagamaan, termasuk menumbuhkan janggut panjang dan memakai hijab di ruang publik. Pemerintah juga mengeluarkan Daftar Nama Minoritas Etnis Terlarang yang berisi nama yang tak boleh dipakai oleh anak-anak yang lahir di daerah itu, seperti nama Muhammad, Arafat, Jihad, Mujahid, Madinah, dan Mekkah.
"Kebijakan Cina makin keras," ujar Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia, kelompok yang mendukung hak menentukan nasib sendiri untuk Xinjiang. "Orang Uighur harus berhati-hati jika ingin memberi nama anaknya yang mereka suka dan pada saat yang sama menghindari hukuman dari pemerintah."
Sophie Richardson, Direktur Human Rights Watch Cina, menilai memilih nama untuk bayi seharusnya sebuah diskusi yang pribadi dan menyenangkan. "(Daftar nama terlarang) ini adalah pembatasan absurd mutakhir yang diterapkan pemerintah Cina terhadap masyarakat Xinjiang," katanya.
Pemerintah Cina menyatakan larangan ini sebagai bagian dari usaha untuk menekan gairah keagamaan di Xinjiang. Uighur adalah suku minoritas di Cina, tapi di Xinjiang terdapat 10 juta orang Uighur, yang kebanyakan muslim, dan menjadi suku mayoritas di sana. Pemerintah menimbang Xinjiang sebagai lahan subur bagi ekstremisme Islam, kekerasan, dan gagasan separatis. Tapi banyak orang Uighur menganggap pembatasan pemerintah terhadap kebebasan beragama dan berbicara justru menaikkan suhu politik daerah itu.
Pemerintah Cina bahkan mengumpulkan sampel kode genetik deoxyribonucleic acid (DNA) dari penduduk Xinjiang, termasuk yang bukan tersangka kriminal. September tahun lalu, menurut Human Rights Watch, polisi Xinjiang membeli peralatan uji DNA senilai hampir US$ 12 juta. Alat itu dapat memeriksa 10 ribu sampel DNA per hari. Namun pendataan DNA bukan hal baru di sana. Tahun lalu, polisi meminta beberapa penduduk memberikan sampel DNA bila ingin membuat paspor.
"Pengumpulan DNA massal oleh polisi Cina yang berkuasa tanpa perlindungan pribadi atau hukum adalah badai penindasan," ucap Sophie Richardson kepada Newsweek, pertengahan Juni lalu. "Cina sedang menjalankan sistem Orwelliannya ke tingkat genetika."
Setelah serangan teroris ke World Trade Center, Amerika Serikat, pada 11 September 2001, pemerintah Cina menyatakan Gerakan Islami Turkistan Timur (ETIM) sebagai ancaman teroris domestik penting dengan jangkauan internasional. ETIM adalah organisasi teroris yang menuntut pendirian negara muslim merdeka untuk Uighur di Xinjiang.
Serangan pertama ETIM yang menggegerkan dunia adalah peledakan sejumlah bom di Kuqa, Xinjiang, pada 10 Agustus 2008. Bom itu meledak di sebuah kantor polisi, sebuah bank, sebuah pusat belanja, dan sejumlah gedung pemerintah. Dua orang meninggal dan beberapa lainnya mengalami cedera dalam serangan ini. Insiden terjadi di tengah Olimpiade Musim Panas yang sedang berlangsung di Beijing, sekitar 4.000 kilometer dari Kuqa.
Seperti Al-Qaidah, ETIM menjadi gerakan fundamentalis Islam. Pemimpinnya dahulu, Hasan Mahsum, mengenal Usamah bin Ladin dan melatih para milisi Uighur di pegunungan Tora Bora, Afganistan. Beberapa milisi ini akhirnya ditangkap tentara Amerika Serikat dan mendekam di penjara Guantanamo.
Kedamaian di Xinjiang pecah ketika kerusuhan antara suku Uighur dan Han, suku mayoritas di Cina, meledak di Urumqi, ibu kota Xinjiang, pada 2009. Hampir 200 orang hilang dalam kerusuhan itu. Pemerintah memutus akses Internet selama berbulan-bulan setelah kerusuhan dan melarang wartawan masuk ke sana. Sejak itu, pemerintah membatasi kegiatan keagamaan di sana, seperti puasa, sembahyang, pengajian, dan penggunaan hijab.
New America, lembaga penelitian di Washington, DC, meneliti data 4.000 milisi yang masuk kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) antara pertengahan 2013 dan pertengahan 2014. Analisis mereka mengungkapkan bahwa sekurang-kurangnya 114 orang Uighur berada di antara para milisi itu. Mereka juga mencatat bahwa para milisi Uighur miskin, tak terlatih, dan tak berpendidikan. Namun seorang peneliti dari Foreign Policy Journal ragu terhadap analisis itu karena, menurut dia, rata-rata orang Uighur punya keahlian setingkat pekerja bangunan.
Masalahnya, "Pemerintah Cina mengaburkan perbedaan antara ETIM, milisi Uighur yang lain, dan pejuang hak-hak asasi manusia Uighur yang anti-kekerasan," tulis J. Todd Reed dan Diana Raschke dalam buku mereka, The ETIM: China's Islamic Militants and the Global Terrorist Threat (2010). Beijing, kata mereka, menyebut aktivis pro-demokrasi dan Falun Gong dalam napas yang sama dengan Uighur dan menghubungkan kemerdekaan Turkistan Timur dengan separatisme Tibet dan Taiwan. ETIM kini mengubah namanya menjadi Partai Islam Turkistan.
James Leibold, ahli masalah suku Cina di La Trobe University, Australia, menilai berbagai kebijakan terhadap kaum Uighur itu sebagai bagian kecenderungan lebih luas dalam penegakan aturan pemerintah di kawasan tersebut. "Dengan membuat regulasi yang luas di kawasan itu, rezim baru Xinjiang, Chen Quanguo, mencoba memperkuat kendali (Partai Komunis)," ujarnya. "Dalam prosesnya, bagaimanapun, banyak aspek dari budaya dan agama Uighur sekarang dianggap 'abnormal' dan 'manifestasi' dari ekstremisme, sehingga pantas dipidana."
Leibold mengingatkan bahwa pemaksaan norma-norma umum Cina terhadap Uighur justru akan meningkatkan ketidaknyamanan mereka. Hal ini, kata dia, malah mengabaikan usaha pemerintah untuk membangun kohesi sosial dan masyarakat yang stabil di Xinjiang.
Kurniawan (South China Morning Post, The New York Times, Newsweek)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo