Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ambisi Beruang Merah di Suriah

Meningkatkan kehadirannya di Suriah, Rusia diduga ingin menancapkan pengaruh di Timur Tengah. Amerika Serikat waswas.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANK modern T-90, empat pesawat tempur Su-27, empat helikopter pengangkut pasukan Hip, dan empat helikopter tempur Hind tiba di pangkalan udara Latakia, Suriah, Jumat dua pekan lalu. Sebelumnya, lebih dari 20 pesawat angkut Condor membawa senjata dan perlengkapan lain milik Rusia ke sana selama 10 hari terakhir.

Surat kabar The New York Times melaporkan bukan hanya itu yang tiba dan dibongkar di pangkalan udara yang sama. Pada awal September ini, Rusia juga mengangkut komponen rumah temporer ke kantong kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad itu. Rumah-rumah ini mampu menampung sekitar 1.500 personel militer. Stasiun kendali lalu lintas udara portabel, tim pengembangan militer, dan pasokan logistik pun dikirim. Laporan Reuters menyebutkan Rusia bahkan berencana memasok 200 ribu ton elpiji per tahun ke Suriah lewat pelabuhan Kerch di Crimea, wilayah yang dianeksasi dari Ukraina.

Seolah-olah menguatkan bukti bahwa Rusia meningkatkan kehadirannya di Suriah, para prajurit Rusia mengunggah foto-foto di akun pribadi mereka di media sosial. Dari data yang disertakan, terindikasikan mereka sudah ada di Suriah bahkan sejak April.

Meski menolak blakblakan soal pengiriman pasukan ke Suriah, Rusia tak menutupi itu. "Kami telah memasok senjata dan peralatan militer ke Suriah sejak dulu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria V. Zakharova. Menurut dia, itu dilakukan sesuai dengan kontrak dan ketentuan hukum internasional.

Melihat langkah Rusia, wajar Amerika Serikat waswas. Ketika pesawat tempur pertama Rusia tiba di Suriah, pemerintah Presiden Barack Obama segera menghubungi Moskow. Pada Jumat dua pekan lalu, Menteri Pertahanan Ashton B. Carter membuka dialog dengan Menteri Pertahanan Rusia Sergei K. Shoigu. Niatnya mencegah bentrokan pasukan Amerika dan Rusia di lapangan. Amerika juga berharap Rusia memainkan peran konstruktif dalam menyelesaikan perang saudara yang sudah berlangsung empat tahun dan merenggut 250 ribu jiwa serta membuat setengah dari 23 juta penduduk Suriah meninggalkan rumah mereka.

Juru bicara Pentagon, Peter Cook, menerangkan, Shoigu berdalih bahwa langkah militer Rusia di Suriah adalah bentuk pertahanan alami. Dialog Carter-Shoigu membuahkan hasil: mereka menyepakati digelarnya pembicaraan antarmiliter tentang mekanisme menghindari bentrokan di Suriah. Sebelumnya, Zakharova menanggapi kritik terhadap eskalasi Rusia di Suriah dengan berkata, "Kami tak bisa mengerti histeria anti-Rusia dalam hal ini." Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengklaim negaranya tak hanya mengirim kekuatan militer, tapi juga bantuan kemanusiaan.

Beragam spekulasi berkembang soal motif Negeri Beruang Merah meningkatkan keterlibatannya di Suriah. Pertama, seperti ditulis Foreign Policy, Rusia ingin melepaskan diri dari sanksi internasional akibat pencaplokan Crimea. Caranya dengan memimpin upaya memerangi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Karena itulah, beberapa pekan terakhir, Presiden Vladimir Putin kerap mengajak negara-negara di dunia memperluas koalisi melawan ISIS. Jika Putin berhasil meyakinkan dunia bahwa negaranya berperan vital dalam memerangi ISIS, komunitas internasional diharap bisa melupakan pelanggaran Rusia di Crimea.

Dugaan kedua, Rusia memiliki kepentingan strategis, budaya, dan ekonomi di Suriah. Rezim Assad adalah sekutu terbesar Rusia di dunia Arab selama lebih dari 40 tahun karena Suriah menjadi titik penyebaran pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah. Di masa Perang Dingin, puluhan ribu warga Rusia pindah ke Suriah dan, sebaliknya, banyak elite Suriah belajar di sekolah-sekolah utama Rusia. Pernikahan antara orang Suriah dan Rusia pun ketika itu banyak terjadi.

Saat pemberontakan Suriah pecah pada 2011, diperkirakan ada sekitar 100 ribu orang Rusia tinggal di Suriah. Jauh sebelumnya, Rusia telah menjadi pemasok senjata ke Suriah. Perusahaan Rusia dilaporkan berinvestasi US$ 20 miliar di sana. Melepas dukungan bagi Assad berarti meninggalkan investasi itu.

Spekulasi ketiga, Rusia terjun ke Suriah karena tak ingin kehilangan basis militer terkuat Rusia di luar negeri, yaitu pusat pemasok angkatan laut di pelabuhan Tartus. Baru-baru ini Putin mengumumkan rencana ekspansi besar-besaran armada kapal Laut Hitam Rusia. Untuk tujuan ini, Rusia menganggap Suriah strategis karena berbatasan dengan Turki, Irak, Yordania, Libanon, dan Israel. Menjaga basis di Tartus berarti peluang memperkuat pengaruh Rusia di wilayah Mediterania.

Selain perkiraan motif-motif itu, Putin diduga ingin mengembalikan kedudukan Rusia sebagai kekuatan besar oposisi Barat. "Rusia ingin mencoba mengubah dinamika keamanan di Timur Tengah dan menunjukkan dukungan terhadap sekutunya semaksimal mungkin," ujar James F. Jeffrey, mantan Duta Besar Amerika di Irak dan Turki, seperti dilansir The New York Times.

Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry mengatakan Rusia menganggap diri punya tujuan politik yang sama dengan Amerika di Suriah. "Transisi politik menuju Suriah yang stabil, utuh, bersatu, dan sekuler," katanya. Masalahnya, Amerika dan Rusia berselisih tentang posisi Assad dalam hal ini. Amerika ingin Assad yang dianggap represif berhenti berkuasa, sedangkan Rusia sebaliknya. "Itu yang harus kami bicarakan," ujar Kerry.

Di dalam negeri, klaim Putin bahwa dia menggandeng Assad untuk memerangi terorisme menuai dukungan masyarakat. Penerimaan ini tak lepas dari dalih Putin yang sama dengan ketika merebut Crimea: melindungi minoritas Rusia di luar negeri.

Jajak pendapat yang dilakukan Levada Center, lembaga riset independen Rusia, menunjukkan popularitas Putin pertengahan tahun ini naik hingga 80 persen, tertinggi sejak aneksasi Crimea pada Maret 2014. Sebelumnya, pada 2000, isu perang terhadap terorisme pula yang melejitkan Putin menuju kekuasaan. Pada September 1999, Moskow dan beberapa kota lain diguncang rangkaian serangan bom. Ketika itu Putin segera menuduh apa yang disebutnya teroris Republik Chechnya dan Kaukasus Utara.

Putin mungkin optimistis melihat fakta itu. Tapi hal sebaliknya bisa juga terjadi. Mengutip Foreign Policy, langkah Putin di Suriah bukan tak mungkin justru menjadi bumerang bagi Rusia. Alih-alih berhasil sedikit memanfaatkan situasi, Rusia bisa terseret dalam perang lebih besar. Ketika saat itu tiba, sulit bagi Rusia untuk membagi kekuatannya antara konflik dengan Ukraina dan konflik di Suriah, apalagi masih harus memelihara pasukannya di wilayah pasca-Soviet. Rusia diduga bakal mengulangi kesalahan Uni Soviet bersekutu dengan Afganistan dalam perang pada 1979-1989. Aliansi ini kalah melawan mujahidin yang dibeking Amerika.

Atmi Pertiwi (Foreign Policy, The New York Times, Reuters, Daily Star)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus