Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supriadi Rustad terpaksa membatalkan niatnya pulang ke Semarang pada Jumat dua pekan lalu. Soalnya, Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi ini mendengar kabar bahwa esok harinya akan berlangsung acara wisuda ilegal di kompleks Universitas Terbuka, Pondok Cabe, Tangerang Selatan.
Supriadi lantas mengontak Rektor Universitas Terbuka Tian Belawati. Sang Rektor menerangkan bahwa Universitas Terbuka bukan penyelenggara wisuda. Penyelenggara hanya menyewa tempat untuk perhelatan mereka. Ternyata lembaga penggelar wisuda sudah lama diintai tim Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kepada Tian, Supriadi meminta disiapkan kamar di Wisma Universitas Terbuka, tempat "panitia wisuda" menginap. Supriadi hendak mengawasi gerak-gerik mereka dari dekat. "Saya tak mau kecolongan lagi," ujar Supriadi ketika menceritakan lagi peristiwa itu, Selasa pekan lalu.
Pada pagi hari pelaksanaan wisuda, Supriadi membaur dengan menyamar sebagai juru foto. Kepada panitia, ia bertanya-tanya seputar pelaksanaan wisuda. Sejumlah peserta wisuda pun dia ajak bicara. Ternyata banyak peserta yang tak bisa menjelaskan mereka pernah kuliah apa, berapa lama, dan berapa jumlah satuan kredit semester yang mereka ambil.
Begitu punya amunisi lengkap, Supriadi langsung "menyergap" pemangku acara, Alimudin Al-Murtala, dari Yayasan Aldiana Nusantara. Alimudin pun tak bisa berkelit. Ia mengakui wisuda yang digelar yayasannya itu tanpa setahu Kementerian. Ujungnya, Alimudin membubarkan acara yang dihadiri 1.000-an peserta itu. "Saya ancam, saya yang bubarkan atau dia," ujar Supriadi.
Sejak Mei lalu, Kementerian Riset menabuh genderang perang melawan perguruan tinggi yang melakukan praktek ilegal, seperti menjual gelar dan menyelenggarakan wisuda tanpa kuliah. Kementerian pun mengeluarkan ancaman: perguruan tinggi yang melanggar, selain dicabut izinnya, akan dipidanakan.
University of Berkley, penyelenggara kuliah online yang belakangan diduga mengeluarkan 150 ijazah bodong, menjadi sasaran pertama razia Kementerian. Adapun Yayasan Aldiana dan ratusan lembaga lain masuk daftar penyelidikan.
Berdiri sejak 1999, Yayasan Aldiana Nusantara, yang berkantor di kawasan Ciputat, menaungi empat perguruan tinggi. Keempatnya adalah Sekolah Tinggi Teknologi Telematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ganesha, serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa.
Pembubaran wisuda tanpa izin pada Sabtu dua pekan lalu berawal dari penyelidikan atas STKIP Suluh Bangsa oleh Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah III. Menurut Ketua Kopertis Wilayah III Illah Sailah, pihaknya semula mencurigai Suluh Bangsa yang jarang sekali menyerahkan laporan administrasi sejak berdiri pada 2002.
Suluh Bangsa seharusnya rutin melaporkan kegiatan perkuliahan, kurikulum, dan daftar mahasiswa mereka. Laporan itu, menurut Illah, diperlukan untuk mengukur sehat-tidaknya suatu lembaga pendidikan tinggi. Faktanya, sejak 2002 hingga 2015, Suluh Bangsa hanya tiga kali menyerahkan laporan. "Itu pun banyak kejanggalannya," kata Illah.
Salah satu kejanggalan adalah perbedaan jumlah mahasiswa yang mereka laporkan. Pada laporan 2013, Suluh Bangsa menyebutkan jumlah mahasiswa mereka pada semester pertama tahun 2009 sebanyak 359 orang. Sedangkan pada laporan 2014, Suluh Bangsa menyebutkan jumlah mahasiswa pada periode yang sama sebanyak 613 orang. "Mereka pun tak mencantumkan jumlah mahasiswa yang lulus dan yang nonaktif. Itu aneh," ujar Illah.
Keanehan lain ada pada kurikulum Suluh Bangsa. Sekolah tinggi ini mewajibkan mahasiswanya magang selama setahun pada semester VII dan VIII. Lazimnya, pada semester akhir itu mahasiswa harus menyusun skripsi. "Kalau magangnya 12 bulan, kapan mereka membuat skripsi? Itu kan syarat kelulusan," kata Illah.
Sejumlah kejanggalan itulah yang mendorong Kopertis III menonaktifkan Suluh Bangsa sejak Februari 2015. Dengan status itu, Suluh Bangsa masih boleh menggelar perkuliahan tapi tak boleh melaksanakan wisuda. "Kami beri tenggat hingga Januari 2016," ujar Illah.
Sejak Mei 2015, bukan hanya Kopertis III yang mengawasi Suluh Bangsa. Tim evaluasi yang dibentuk Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir pun turun tangan. Sejak itulah berbagai dugaan pelanggaran oleh Yayasan Aldiana Nusantara—induk Suluh Bangsa—terkuak.
Menurut ketua tim evaluasi, Supriadi, laporan yang banyak masuk menyebutkan Yayasan Aldiana membuat program belajar "kelas jauh" di berbagai wilayah, seperti Jawa Barat, Papua, dan Ambon. Namun di kelas-kelas jauh tersebut tak ada kegiatan perkuliahan. Supriadi menduga program kelas jauh itu hanya untuk menyamarkan praktek "jual-beli" ijazah. "Kami menemukan indikasi jual-beli ijazah seharga Rp 15 juta. Tapi perlu diselidiki lebih lanjut," ujar Supriadi.
Nah, mereka yang "lulus" kelas jauh itu kemudian dibawa ke Jakarta untuk diwisuda. Agar tak mudah dilacak Kementerian, menurut Supriadi, Yayasan Aldiana memakai beragam modus untuk menyamarkan wisuda. Salah satunya, untuk menghindari penggerebekan, Yayasan Alidana menyebut acara wisuda mereka sebagai acara yudisium kelulusan.
Mereka mencoba "trik yudisium" itu dua pekan lalu. Ketika wisuda hendak dibubarkan, panitia berdalih bahwa mereka hanya menggelar yudisium. "Padahal jelas-jelas peserta memakai toga dan akan ada pemindahan kuncir," ujar Supriadi.
Ketua Yayasan Aldiana Nusantara, Alimudin Al-Murtala, membantah tuduhan melakukan wisuda ilegal. Ia mengaku sudah tiga kali menggelar wisuda besar-besaran tanpa ada yang mempermasalahkan. "Kenapa yang dulu-dulu tidak dipersoalkan?" kata Alimudin, Senin pekan lalu.
Di kampus-kampus Yayasan Aldiana Nusantara, insiden pembubaran wisuda dua pekan lalu tampaknya menyisakan ketidakpastian. Meski sebagian mahasiswa masuk seperti biasa, dosen mereka kebanyakan absen. "Dosennya enggak ada semua. Kuliah kosong," kata Ahmad Irfanda, mahasiswa semester III Jurusan Teknik Informatika STT Telematika.
Meski tertangkap basah menggelar wisuda tanpa izin, Yayasan Aldiana masih diberi kesempatan memperbaiki diri. Kementerian meminta pengurus yayasan menandatangani tiga butir pernyataan. Isinya, mereka tak akan memberikan ijazah kepada peserta wisuda, mengembalikan uang para wisudawan, dan tidak mengulangi hal serupa. Jika Yayasan Aldiana melanggar lagi, Kementerian baru akan mencabut izin operasi perguruan tinggi yang mereka kelola.
Sejauh ini, Kementerian Riset belum menunjukkan tanda-tanda akan membawa Yayasan Aldiana ke jalur pidana. "Biar Pak Menteri yang memutuskan," kata Supriadi.
Sekretaris Yayasan Aldiana Nusantara, Ramadani, mengatakan kelewatan apabila yayasannya kelak sampai dipidanakan. "Saya akui kami melakukan beberapa kesalahan administratif, tapi itu sedang kami perbaiki," ujar Ramdani, yang menyatakan siap menghadapi segala upaya hukum Kementerian.
Istman M.P., Danang Firmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo